Gua Telarang!

1100 Kata
Aretha memekik keras dengan air mata yang berjatuhan. Anshell terus melakukanya dengan kasar. Kedua telapak tangan yang tadinya bergerak lembut kini semakin keras sampai Aretha tak tahan lagi. Bibirnya pun kini bengkak karena Anshell terus melumatnya dengan kasar. Pria bertubuh jangkung itu merobek lingerie hitam yang kenaikan lalu dibuang dengan sebarang, tak luput dengan tatapan pria itu yang mendadak berubah menyeramkan bila Aretha mengaduh sakit atau merengek meminta berhenti. “Aku mohon padamu. Aku merelakan tubuhku ini, tapi tolong jangan bermain kasar, perlahanlah,” kata Aretha dengan tatapan nanar tak luput air matanya pun berjatuhan. Bukan kelembutan seperti awal pria itu membungkamnya dengan bibir seksinya, tetapi lambat laun permainan nya berubah kasar. Manik mata biru sapphire itu menajam. Anshell marah dan tidak terima bentuk protes yang telah diperingatkan pada wanita yang berada dibawahnya. Jantungnya berpacu cepat dengan d**a yang sudah menggebu-gebu. Anshell teringat sesuatu yang menyakitkan di dalam hatinya, bayangan foto-foto mesra begitu juga video tadi sore, membuat dirinya semakin marah. Anshell tak terima dengan perlakuan Lalisanya, tak bisa melampiaskan pada Lalisa, kini hanya wanita inilah yang menjadi sasaran kemarahannya padahal wanita ini sama sekali tidak bersalah dan juga tidak tahu apa-apa. ‘Kamu menolak lamaranku untuk kesekian kalinya. Kenapa?’ ‘Karena aku tidak mencintaimu, Anshell. Rasa sayangku padamu bukan berarti aku mencintaimu. Tidak sama sekali, aku hanya menganggapmu sahabat tidak lebih jadi tolong maafkan aku.’ Lagi lagi pernyataan Lalisa yang terekam jelas di otaknya membuatnya marah. “Ahh, sakit…. Tuan. Please berhentilah memukulku,” serunya keras. Meski pria itu memukul pantatnya, tetap saja pukulan keras itu membuatnya kesakitan. ‘Aku harus melepaskannya. Ya, dengan cara melecehkan wanita yang dibeli Andreas. Aku akan melampiaskan rasa sakit hati ini. Aku akan puas, gerutu Anshell di dalam hati. “Ahhh… sakit, sakit. Please…” Mohon Aretha seraya menutupi bibirnya dengan sebelah tangannya. Darah segar pun mengalir berjatuhan dan menetes di sprei putih karena Anshell mengigitnya dengan keras. “Aku sudah mengingatkanmu. Jangan merengek. Kau harus memuaskan aku, Aretha. Kau harus membuatku lupa dengan dia—kau harus—” “Haaaah…. Ans—” jerit Aretha. Derai air mata pun semakin deras turun. Dia tak sanggup lagi menahan rasa sakit di bagian bawahnya. Pria itu mengeluarkan adiknya dan menekan paksa untuk masuk ke goa terlarangnya. Anshell membekap bibir Aretha dengan sebelah tangannya setelah menghimpit tubuh kuru situ dan kembali menuntun adiknya untuk mencicipi surga dunia yang sama sekali belum pernah dia rasakan seumur hidupnya. “Aku mohon, pelanlah. Ini sakit, Tuan. Please, sa-kit.” “Rilekslah Aretha, semakin kamu tegang adikku kesulitan masuk!” decaknya, marah. “Pelanlah maka aku tidak akan tegang seperti ini!” jawab Aretha lirih, seraya mengiris kesakitan. “Tahan, Aretha!” amuk Anshell lagi. Aretha menahan rasa sakit itu, namun Anshell mengerang keras dan melepaskan sang adik yang sudah tegang-tegangnya namun masih kesulitan untuk memasuki gua yang terlarang itu. Aretha buru-buru berdiri dan berlari menuju pintu ketika Anshell mencari sesuatu di laci nakas. Sialnya, pintu terkunci dan pria itu menariknya hingga tubuhnya terbentur nakas dan terjatuh di lantai dingin. “Kabur, hmm?” “Tolong lepaskan aku, Tuan… aku mohon, lepaskan aku.” Lagi lagi Aretha memohon pada pria di depannya untuk tidak memutuskan gairahnya. Sungguh ini sangat sakit dan Aretha tidak mau. “Ck! Lepaskan! Setelah saudaraku membelimu dengan mahal. Naiklah ke atas tempat tidur atau mau aku seret kamu?” Aretha berikan gelengan dan benar saja pria itu menarik dan mendorongnya keras hingga tubuh kuru situ terhempas di ranjang king size. Dia lekas bangun dari merangkak duduk menyender headboard. Namun, Anshell yang sudah di puncak gairah pun tak ingin melepaskan wanita itu. Dia pun menarik kaki Aretha dan kembali menghimpitnya. “Aku akan pelan dan tolong kamu jangan tegang, itu akan membuatmu semakin kesakitan,” katanya terdengar dingin. Sang adik yang sudah mandi pelican pun mendorong keras hingga sedikit lagi hendak berhasil menembus benteng pertahanan. Sialnya, lagi lagi selalu ada penghalang. Suara deringan khusus mengalihkan fokus Anshell. Pria itu bangun dari atas tempat tidur dan menunda sejenak kegiatan panasnya. “Lalisa?” gumam Anshell seraya menggeser tombol hijau kesamping. Lalu menempelkan benda pipih itu ke telinganya. “Ya, Lis?” Aretha buru-buru mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya, namun Anshell melemparkan lingerie sobek itu pada Aretha untuk lekas dipakai lagi. “Baiklah. Aku akan datang,” ucap Anshell. Dia berbalik badan dan menatap wanita itu sejenak. Tak ingin membuat Lalisanya menunggu, Anshell pun menarik paksa tangan Aretha untuk ikut bersamanya. “Kita mau kemana, Tuan?” “Kau ikut aku,” tegasnya. Pria itu melemparkan jasnya untuk di pakai oleh wanita yang setengah polos dengan pakaian haram yang robek dan menariknya keluar dari dalam kamar tersebut. Aretha mengikut dan berjalan lambat di belakang Anshell. Demi apa, bagian bawahnya begitu sakit dan perih yang entah Aretha berpikir di dalam hati seraya menatap punggung lebar Anshell. ‘Apa pria itu sudah melakukanya dan kini aku sudah tidak suci lagi?’ batinnya. “Ras. Gue bawa si jallang ini ke apartemen gue!” kata Anshell dengan wajah datarnya. Darren menyipitkan kedua matanya, bukannya setelah Anshell puas dia bisa menikmati wanita itu juga? “Loh, kok pulang, Shell? Cepet banget lu kikuk-kikuknya?” balas Andreas cepat. Anshell menatap sejenak pandangan di sampingnya. “Kenapa tidak puas-puasin diatas Shell?? “Tentu tidak, karena aku tidak ingin berbagi dengan siapapun malam ini.” Pandangan Anshell sekilas menoleh ke samping di mana Aretha menunduk. “Aku ingin menikmati wanita jallang ini sendirian dan tidak dipakai ramai-ramai seperti dia,” tunjuk Anshell dengan dagunya. Pernyataan Anshell sontak membuat semua orang yang mendengar pun terkejut. Sejak kapan Anshell jadi kecanduan seperti ini? “Duluan semua,” ucap Anshell pamit pada kelima teman-temannya dan menarik lengan Aretha untuk mengikuti kemana dia akan membawanya. Aretha menatap nanar pada Bebby, dan wanita itu pun ikut menatap bak dua wanita itu berkomunikasi lewat mata. “Jaga dirimu baik-baik,” gumam Beby dengan Bahasa bibir. Aretha mengangguk paham lalu menundukan wajahnya dan kembali menangis, meski dia baru saja bertemu dengan Beby di rumah ini, tetapi melihat wanita itu di gilir bak piala oleh pria kaya raya yang tak punya hati, dia pun ikut sedih. ‘Ya Tuhan, bagaimana nasibku setelah ini? Tolong hambamu ini agar pria ini masih berbaik hati melepaskan aku, amin,’ gumam Aretha seraya berdoa. “Bisa cepat nggak sih, kamu jalan hah?” bentak Anshell. Aretha mempercepat jalannya dengan wajah yang kembali meringis, semua pria yang baru dia kenal malam ini begitu jahat padanya, apalagi pria di depannya ini yang menarik paksa tanpa memberikan alas kaki padanya begitu juga jas yang kenaikan diambil lagi hingga Aretha mau tak mau berjalan menuju parkiran mobil dengan pakaian haram yang robek.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN