Istri Sah

1201 Kata
“Hahaha kau terkejut?” tanya seseorang di seberang telepon. Dea geram melihat cahaya merah menempel di dress putih miliknya. “Gila, apa maksudmu berbuat seperti ini?” tanya Dea menggebu-gebu. Bagaimana bisa di hari pernikahannya diberi bidikan senapan yang mengerikan. Detak jantungnya bekerja dengan cepat. “Hahaha...” orang itu tertawa dengan lepas, nampaknya ia kesenangan melihat Dea yang emosi. “Kau tertawa di atas penderitaan orang?!” Dea mengehela nafasnya dengan kasar, beberapa hari ini ada banyak hal yang tidak terduga. Namun, hari ini lebih gila lagi. “Ekhemm...” deham orang itu setelah puas menertawakan wanita yang ditelponnya. “Apa kau puas?” tanya Dea. “Tentu saja aku puas. Besok lusa temui aku di lokasi yang sudah aku bagikan di pesan itu.” Ting! Ada sebuah pesan masuk ke ponsel Dea. Dan itu adalah share location yang baru saja diberitahukan. Wanita itu memutar bola matanya, merasa jengah merespon orang yang tidak jelas. “Pukul 15.00 WIB, kita harus bertemu secepatnya. Ini sangat penting,” jelas sosok itu. “Aku menolak. Bye.” Dea langsung memutuskan sambungan teleponnya. Ia benar-benar kesal sudah dipermainkan oleh orang yang tidak di kenal. Infra merah yang sebelumnya berada di dadanya kini telah menghilang. Entah ke mana, sepertinya seseorang itu tidak membidiknya lagi. Dea mengambil nafas dengan lega. PYARRR!!! tiba-tiba kaca di belakangnya pecah. Dea langsung merundukkan kepalanya, ingatan tragis yang ia alami sebelumnya muncul kembali. “Hahh... hahh... hahhh...” napasnya tersenggal-senggal. Ia merasa tak ada oksigen yang bisa masuk ke dalam rongga hidungnya. “Dea!” seru Aiden yang langsung berlari ke balkon. Lelaki itu segera membopong Dea masuk. Semua orang terlihat panik, kecuali Wijaya dan Kusuma. “Aku bawa Dea ke tempat aman terlebih dahulu Pa,” izin Aiden pada Kusuma. Ayah Aiden mengangguk dan langsung mengeluarkan pistol dari balik jasnya. Begitu pula Wijaya. Keadaan Dea benar-benar kacau, ia kini tak sadarkan diri. Semua orang yang berada di ballroom sangat panik. Beberapa penjaga yang telah disiapkan sudah dalam mode waspada. Aiden dan beberapa penjaga berlari ke kamar yang telah disewa. Ada Lusi dan Rita di depan pintu kamar. “Ayo masuk,” ucap Lusi, Mama mertua Aiden. Semua orang masuk, semua tampak tenang. Mereka telah memprediksi ini akan terjadi, sehingga sudah ada plaining untuk menghadapinya. Di sisi lain, Wijaya dan Kusuma dalam posisi waspada. Ini semua menyangkut keluarga mereka, terutama Dea dan Aiden. Menjadi anak emas di masing-masing keluarga, membuat semua orang harus melindungi mereka. “Jangan lengah Pak,” perintah Wijaya. “Baik. Namun, aku tidak pernah memakai pistol seperti ini,” keluh Kusuma. “Tenang, ada saya. Kalau ada musuh mendekat langsung tembak saja, entah sesuai bidikan atau melesat tidak masalah,” tutur Wijaya menenangkan besannya. Mereka berjaga hingga 20 menit kemudian. Ting! Notifikasi ponsel Wijaya berbunyi, menandakan ada pesan masuk. [Sudah saya bereskan Pak.] Tulis pesan itu. “Ekhemm...” deham Wijaya. “Semua sudah beres, kalian boleh pergi sekarang,” perintahnya. Satu persatu orang keluar dari ballroom. Meninggalkan Wijaya dan Kusuma. “Benarkah sudah beres?” tanya Kusuma. “Sudah, kita ke anak-anak dulu. Putri saya bisa-bisa kambuh karena insiden ini,” ucap Wijaya yang langsung berjalan cepat menuju kamar Aiden dan Dea. Kusuma mengikuti langkah kaki pria itu dengan tergesa-gesa. Rita dan Lisa kini sedang menemani Dea yang tak sadarkan diri. Sedangkan Aiden sibuk dengan ponsel miliknya. “Bagaimana keadaan putriku?” tanya Wijaya dengan napas terengah-engah. Ia berlari cukup jauh utuk menjangkau kamar ini. Lusi sontak menoleh ke arah suaminya, “Tidak sadarkan diri. Sepertinya dia terlalu kaget.” Wijaya mendekati Dea, ia menatap putrinya dengan iba. Ada rasa bersalah menyebar di hatinya. Ia sangat menyesali membiarkan Dea pergi ke balkon. “Ugh...” keluh Dea yang mulai sadar. “Sayang,” panggil Wijaya dan langsung mendudukkan putrinya agar sadar dan tidak tertidur lagi. “Ayah, apa yang terjadi?” tanya Dea kebingungan. “Tidak ada, semua sudah aman. Kamu tidak terluka kan?” Wijaya mengelus rambut putrinya dengan lembut. Dea meneliti sekujur tubuhnya,“ Tidak ada.” “Syukurlah.” Wijaya nampak lega. Setelah keadaan dirasa aman, semua orang keluar dari kamar pengantin. Meninggalkan Dea dan Aiden dalam satu ruangan. Sedari tadi Aiden hanya sibuk pada dirinya sendiri, begitu pula Dea. Mereka bersikap cuek satu sama lain seperti orang asing. Keesokan harinya mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Kini Dea dan orangtuanya harus berpisah karena ia harus ikut suaminya. “Hati-hati ya Sayang, jangan lupa memberi kabar Mama sama Ayah,” nasihat Lusi pada putri sulungnya. Dea hanya menganggukkan kepalanya, dengan berlinang air mata ia memeluk orangtuanya. Wijaya sudah nangis sesenggukan melepas anak perempuan kesayangannya. “Dea pergi dulu ya Ayah,” pamit Dea pada ayahnya. Wijaya hanya menganggukkan kepalanya, melepaskan kepergian putri tercintanya terasa sangat berat. Dea tersenyum kepada orangtuanya, lantas ia masuk ke dalam mobil. Kedua orangtuanya melambaikan tangan mengiringi melajunya mobil yang semakin jauh. Tanpa terasa buliran air mata Dea jatuh. Srobb... Srobb... hidungnya penuh dengan ingus karena menahan air mata agar tidak keluar. Aiden memberikan tisu pada istrinya tanpa mengatakan sepatah katapun. Rasanya sangat berat hidup tanpa orangtua, apalagi Dea belum siap berumah tangga. Butuh beberapa jam untuk melakukan perjalanan menuju rumah mereka. Kini Dea sudah berada di kamar pribadinya, sendirian. Aiden meminta untuk pisah ranjang sehingga mereka berada di kamar yang berbeda meski pun satu lantai yang sama. Drrttt... drtttt... getaran ponsel Dea membuatnya terbangun. Ia langsung mencari sumber getaran di sekitar tubuhnya. “Hallo?” sapanya dengan suara serak. “Apa kau baru saja bangun tidur?” tanya seseorang di seberang telepon. Dea mengucek-ucek matanya, ia merasa sangat silau karena diterpa sinar matahari. “Ya, ada perlu apa?” tanya Dea dalam keadaan belum sepenuhnya sadar. “Aku sudah mengatakan kemarin lusa, kita akan bertemu di tempat yang sudah aku bagikan,” jelas orang itu. Mata Dea terbelalak, ia sangat terkejut mendengar penjelasannya. “Ya Tuhan! Kau benar-benar seperti peneror m***m. Aku tidak mengenalmu, tolong berhenti hubungi aku!” tegas Dea yang langsung mematikan ponsel miliknya. Ia benar-benar merasa terganggu dengan panggilan telepon itu. “Apa yang akan terjadi setelah ini?” batin Dea. Ia mengingat kejadian saat pernikahannya. Setelah memutuskan telepon itu, tiba-tiba ada sebuah tembakan dan menyebabkan kaca balkon pecah. Tubuh wanita itu merinding, dengan cepat Dea langsung keluar dari kamarnya. Berlari menuju ruang makan. “Hahh... hahh... hahh....” Berusaha mengatur napasnya supaya lebih stabil, Dea tak menyadari jika ada Aiden yang memperhatikannya. “Are you okay?” tanya lelaki itu dengan alis yang tertaut, ia merasa aneh dengan tingkah istrinya. “Ahh! I’m okay, no problem. Take your time,” jawabnya. Dia langsung melangkahkan kakinya menuju kursi makan. Posisinya sedikit jauh dari tempat duduk Aiden. Perempuan itu berusaha bersikap tenang dan anggun. Lelaki itu hanya memperhatikan Dea dari kejauhan. Dan kembali bersikap acuh. Dea masih sibuk mengatur ritme jantungnya yang tidak karuan. Bik Asih, kepala pelayan di rumah Aiden dengan perhatian menyiapkan makanan untuk Nyonyanya. “Terimakasih Bik Asih,” ujar Dea. “Sama-sama Nyonya,” jawab Asih dengan kepala yang menunduk hormat. Perempuan itu memakan sarapannya dengan lahap, tiba-tiba terdengar suara dari mulut Aiden. “Aku akan pulang larut malam karena harus dinner dengan Wendy, jadi kamu di rumah saja. Jangan kemana-mana,” perintah Aiden. “Aku tidak mendengarnya,” tolak Dea.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN