2

977 Kata
“Misi, Kak. Sebelum saya injek lagi kaki Kakak,” tutur Rasa tidak takut, dengan sorot mata yang sedikit mengancam. Cowok itu tersenyum. “Injek aja.” “Tar, ngerdusnya nanti dulu. Semua Maba diminta turun ke lapangan sama Pak Handoko.” Teguran Raga yang menggema, seketika berhasil menginterupsi keduanya. Hingga setelahnya, Cowok Milkita itu langsung minggir dan memberi Rasa jalan tanpa bisa membantah apa-apa seperti sebelumnya. “Lo, mah, ganggu aja, Ga,” keluh Cowok Milkita itu yang samar-samar Rasa dengar di belakang. Yang dijawab oleh Raga sekenanya, “Ya, lagian lo ngerdus mulu 24 jam nonstop.” “Tapi yang ini beda,” elak Cowok Milkita itu lagi, yang membuat Rasa berdecih dengan gelengan kepala, tidak habis pikir.   *** “Ciyee, yang sekarang udah jadi anak kampus!” Seperti biasa, di jam-jam segini⸻sekitar pukul 7 malam⸻kalau sedang luang dan tidak ada kerjaan, Rissa pasti menyempatkan diri untuk mampir ke kamar adiknya hanya untuk mencibir adiknya, Rasa. Mengganggu Rasa yang biasanya sedang belajar atau membaca buku. Dan sekarang, layaknya sedang berada di kamar sendiri, wanita yang usianya terpaut 5 tahun lebih tua dari Rasa itu dengan seenaknya merebahkan diri di atas ranjang, dan berguling tengkurap menghadap ke arah meja belajar Rasi dengan kedua tangan menopang dagu. “Ada yang ganteng nggak di kampus?” “Apaan, sih, Kak! Ganggu aja, keluar, gih.” Walau kelihatannya cuek, diam-diam Rasa teringat akan Cowok Milkita yang sampai detik ini tidak ia ketahui namanya. “Misi, Kak. Sebelum saya injek lagi kaki Kakak,” tutur Rasa tidak takut, dengan sorot mata yang sedikit mengancam. Cowok itu tersenyum. “Injek aja.” “Tar, ngerdusnya nanti dulu. Semua Maba diminta turun ke lapangan sama Pak Handoko.” Teguran Raga yang menggema, seketika berhasil menginterupsi keduanya. Hingga setelahnya, Cowok Milkita itu langsung minggir dan memberi Rasa jalan tanpa bisa membantah apa-apa seperti sebelumnya. “Lo, mah, ganggu aja, Ga,” keluh Cowok Milkita itu yang samar-samar Rasa dengar di belakang. Yang dijawab oleh Raga sekenanya, “Ya, lagian lo ngerdus mulu 24 jam nonstop.” “Tapi yang ini beda,” elak Cowok Milkita itu lagi, yang membuat Rasa berdecih dengan gelengan kepala, tidak habis pikir. “Ah, tau, ah!” gumam Rasa tanpa sadar, sewot sendiri. Di sisi lain Rissa mengerutkan dahinya. “Kenapa, sih, kamu Dek?” “Nggak apa-apa. Udah, deh, Kak Rissa keluar aja dari kamarku, nggak usah ganggu!” “Halah, jangan-jangan kamu punya pacar, nih, dikampus. Makanya nggak mau diganggu, ya kan?” goda Rissa pada Rasa yang sudah menjadi kebiasaan. “Coba sini Kakak liat ponselnya.” Belum sempat Rissa mengambil ponselnya yang tergeletak, Rasa sudah menyambarnya lebih dulu. “Nggak jelas, nih, Kak Rissa!” “Mana coba sini Kakak liat. Kalau nggak ada apa-apa harusnya nggak masalah dong Kakak pinjem sebentar. Pasti ada apa-apa kan?” Secepat kilat, tangan Rissa bergerak mengambil alih ponsel itu dari tangan Rasa. “Kak Rissa rese!” kesal Rasa. “Awas aja, besok-besok aku ganti passwordnya!” Rissa tertawa, kemudian membuka layar kunci setelah memasukkan pin yang merupakan tanggal kelahiran Rasa. “Kepo amat jadi orang. Udah tahu nggak ada apa-apanya!” “Masa?” Tok tok tok! “Ada yang ketuk pintu, tuh. Bukain dulu sana.” Sesaat Rissa menengok jam digital di ujung layar ponsel Rasa. Pukul 22.39, siapa yang bertamu semalam ini? “Yaudah, Kakak buka pintu dulu, ya, kamu tunggu di sini.” “Eh tunggu, ponselku jangan dibawa, Kak!” Mengejar ponselnya yang dibawa Rissa, kaki Rasa refleks mengikuti langkah Rissa menuju pintu utama rumahnya, walau semata-mata demi mengejar benda pipih itu. Bahkan Rasa mengejar sampai Rissa membukakan pintu untuk tamu itu yang ternyata adalah salah satu penyewa kos milik ayahnya yang kini sudah menjadi tanggung jawab kakaknya, Rissa. “Eh, elo Ver. Gue kira siapa. Ada apa?” tanya Rissa. Namun raut wajah Vera tampak panik, ketakutan, sesaat membuat raut wajah Rissa dan Rasa berubah drastis. “Ada apa, Kak?” tanya Rasa mengulang pertanyaan Rissa. “Itu...” gantung Vera yang gelagatnya cemas menggigiti kuku dan pandangannya ke mana-mana, terlihat wanita muda itu seperti sulit sekali untuk mengatakan semuanya. “Di kamar F, gue liat ada yang ngiris tangannya sendiri!” *** Sekitar pukul 10 malam, seorang wanita yang baru saja kembali dari kerja lemburnya menaiki anak tangga satu persatu untuk menuju kamar kosnya. Tidak ada suara lain di sana selain derap antukan antara lantai dengan ujung heels yang membalut kakinya. Ia tinggal di sebuah kos-kosan khusus wanita, milik Pak Arjuna. Namun semenjak satu tahun lalu, tepatnya semenjak Pak Arjuna dan Istrinya meninggal, putri sulungnya lah yang bertanggung jawab secara keseluruhan sampai saat ini. Yang ia kenal dekat bernama Rissa, dan kini mereka cukup dekat satu sama lain. Vera, wanita itu, awalnya ia biasa saja. Tidak menganggap ada yang aneh ketika melihat salah seorang berambut panjang yang ia kenali juga merupakan penghuni kos yang berada satu lantai dengannya, berjalan berpapasan melewatinya⸻entah dari mana. Seulas senyum mengembang tipis di bibir Vera. Walau ia tidak tahu namanya, tetapi ia tahu orang itu tinggal di kamar F. Berselang tiga kamar dengan kamarnya. “Malam, Mba. Belum tidur?” tanya Vera hanya sekedar basa-basi. Bukan menjawab, orang itu lewat begitu saja tanpa menggubris. Bersikap acuh tak acuh, disertai wajah dinginnya. Vera tidak begitu ambil pusing setelah diabaikan. Karena melihat tatapannya yang tajam saja sudah membuat Vera bergidik ngeri, walau cuma beberapa detik. Jadi mungkin memang akan menjadi lebih baik ketika dirinya diabaikan saja. Orang itu berjalan menuju dapur bersama yang tersedia di kos-kosan. Sementara Vera lanjut berjalan menuju kamarnya. Masuk, tanpa peduli lagi apa yang telah terjadi sebelumnya. Wanita yang tengah sibuk berkarir di dunia perbankan itu lebih memilih untuk mengerjakan pekerjaannya yang belum sempat terselesaikan di kantor saja, ketimbang harus mencampuri urusan orang lain. Setelah mandi dan bersih-bersih, Vera berkutat dengan laptopnya sampai tak terasa olehnya waktu sudah menunjukkan pukul 23.30. Pantas saja tenggorokannya kering sekali. Tidak mungkin kalau tidak dilanda dehiderasi, sedangkan sejak di kantor saja ia belum minum juga. Sekalian menyiapkan minum dalam mug untuk persiapan tengah malam kalau-kalau dirinya haus, Vera keluar kamar dengan membawa mug-nya, menuju dapur. Terlihat di depan kamarnya sudah sepi. Hanya menampakkan lorong dengan minim pencahayaan saja. “Argh!” Seketika langkah Vera tertahan, saat tiba-tiba ia mendengar suara wanita seperti kesakitan. Sejenak Vera terdiam dan mencoba mendengarkan dengan pendengaran yang lebih peka. “Tolong...” Desahan yang terdengar sangat amat pelan itu sesaat membuat Vera menenggakkan kepalanya, untuk melihat abjad apa yang tertera di atas pintu. F? batin Vera. Perasaannya mulai tidak enak. Dengan satu tangan, ia meraih gagang pintu tersebut dan kemudian menggerakannya. Tidak terkunci?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN