bab2

938 Kata
PENYESALAN SUAMI SETELAH TALAK 2 "Sudah, Ga. Mending kamu kabulkan saja permintaan istrimu itu." Sekilas kulirik wajah Ibu yang kini terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Sementara Mas Erga, tampak menyugar rambutnya berulang kali. Nelangsa. Aku ingin tau, seberapa percaya laki-laki ini dengan wanita yang telah dipilihnya untuk menjadi pendamping hidup. Yang seharusnya menjadi tempat pertama dirinya berkeluh kesah, namun selalu dinomor sekiankan. Bukan maksud hati melarangnya berbakti untuk pemilik surga. Aku hanya ingin diperlakukan layaknya seorang istri, itu saja sudah cukup. Ingin dipercaya dan disayangi, selayaknya bagaimana dia pernah berjanji. Harap-harap Ibu dan saudaranya ikut berbesar hati menerima kehadiranku. Seandainya Ibu dan saudaranya tidak pernah mau menjadikanku bagian dari keluarganya, pun Mas Erga tidak kuasa membelaku di hadapan mereka. Setidaknya, janganlah menjadikan suasana semakin keruh, jangan berat sepihak, dengan dalih aku yang terus menerus dihakimi. Sebuah rumah tangga mustahil akan terus kokoh, jika hanya salah seorang pemiliknya yang bersedia memberi tangan dan kaki untuk dijadikan pondasi. Lambat laun, kekuatan pemilik tangan dan kaki tersebut akanlah terkikis, apalagi hujan badai terus menerjang tiada henti. Dan ketika pondasi tersebut oleng dan terus patah. Sampai disitulah titik akhir pertahanan, dan kehancuran sebuah rumah baru akan dimulai. Seperti rumah tangga kami yang mungkin akan hancur malam ini. Mas Erga mulai mengangkat wajahnya dan menoleh ke arahku. Tatapan yang membuat jantungku bertalu-talu. Dia melihatku dengan penuh kebencian. Seolah aku seonggok sampah menjijikan. Sepertinya pengaruh yang diberikan Ibu dan Kak Santi sudah memenuhi kepalanya. Selamat Bu, mulai sekarang aku tidak lagi mencari pembelaan. Tidak lagi sudi mengemis 'maaf' untuk kesalahan yang tidak kulakukan. "Naura Hunaivi binti Abdullah Husein, sekarang aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu. Mulai saat ini kamu bukan istriku lagi!" ucap Mas Erga lantang. Deg. Detak jantung terhenti sepersekian detik. Sesakit inikah mendengar kalimat yang sangat dibenci Allah itu. Meski batin telah kusiapkan dengan sebaik mungkin, rasanya tetap perih dan ngilu. Beberapa saat kutatap Mas Erga dengab linangan air mata. Raut wajah yang tidak mampu kuartikan. Lalu, sepasang mataku beralih ke arah lain, di sofa panjang tempat Ibu dan Kak Santi berada, wajah mereka terlihat penuh kepuasan. Sementara, Oji tampak menggeleng tidak percaya. Sekalipun ingin ikut campur, laki-laki itu tidak punya hak dan alasan apapun. Baiklah, mungkin memang begini akhir kisah kami. Mas Erga baru saja menjatuhkanku talak, dan Ibu mertua seperti mendapat durian runtuh. Air mata yang terus mengalir di pipi lekas kuhapus dengan kasar, aku tidak boleh lemah di hadapan mereka. Tidak berdaya di hadapan orang-orang yang menginjakmu, bukankah akan membuat mereka tertawa bahagia. "Ehem, sebelumnya terima kasih banyak Mas, kamu baru saja membebaskanku dari neraka. Sekarang pasti Ibu dan Kak Santi sangat bahagia karena kita sudah bercerai," ujarku tersenyum sinis sambil melirik pada objek yang kumaksud. Mereka balas memelototiku tidak terima. "Jangan bawa-bawa Ibu dan Kak Santi, Naura. Kita bercerai karena kesalahan kamu sendiri, bukan karena mereka," bantah Mas Erga terdengar emosi. Hingga orang-orang yang dibelanya tersenyum senang. Lihatlah, laki-laki itu bahkan sama sekali tidak menyesali keputusannya. "Tentu saja aku tidak boleh menyalahkan siapapun selain diriku sendiri, Mas. Bukankah kamu, Ibu ataupun Kak Santi, kalian tidak pernah bersalah? Dirumah ini hanya aku satu-satunya orang yang bisa disalahkan, sisanya adalah para manusia sempurna sehingga tidak melakukan kesalahan barang sedikitpun, bukankah begitu?" "Heh, jaga ucapan kamu, ya? Berani sekali kamu menyindir kami! Dasar anak tidak tahu sopan santun!" berang Kak Santi. Sepertinya wanita itu berhasil termakan emosi mendengar sindiranku. "Menyindir, aku hanya menyampaikan fakta yang kualami selama lima tahun terakhir berada di rumah ini. Tinggal dengan orang yang tidak bisa memanusiakan orang lain ternyata sangat menyesakkan. Aku ragu apakah selama kalian mengeyam bangku pendidikan tidak diajarkan hal demikian?" Mereka terlihat panas mendengar ucapanku. Tak terkecuali Mas Erga, laki-laki yang baru saja menjadi mantan suami beberapa menit yang lalu. Laki-laki yang hanya bisa memberiku penderitaan selama berada di sisinya. "Jaga ucapanmu Naura!" "Pak Erga, jangan pernah menyentuh Bu Naura!" Tangan Mas Erga bersiap melayang ke wajahku andai Oji tidak menghentikannya. "Siapa kau berani memerintahku?!" "Iya tuh. Heh kamu hanya seorang sopir, tidak punya hak ikut campur urusan majikan, ya!" sahut Ibu yang ikut bangun dari sofa. Amarah di wajahnya yang sudah dipenuhi keriput tampak menyala-nyala. " Mulai sekarang saya mengundurkan diri!" seru Oji yang membuatku kaget sekaligus merasa bersalah. Gara-gara aku, laki-laki baik itu ikut kehilangan pekerjaannya. Maaf, Oji. Aku janji akan membantumu mendapatkan gantinya. "Wah-wah, demi kekasih gelapmu kau rela berkorban sampai sejauh ini, ya? Keren. Memangnya, apa sih yang sudah diberikan wanita itu untuk kamu?" Kali ini Kak Santi yang bersuara untuk menyudutkanku. Benar-benar keluarga yang kompak. "Haha. Biarpun aku tidak diperlakukan dengan baik oleh adikmu, aku masih bisa menjaga harga diriku sebagai seorang istri untuk tidak menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Apalagi merebut suami orang dan dilabrak di tempat umum sama istri sahnya." "Kamu! Jaga ucapanmu, ya!" "Kenapa, Kak Santi merasa pernah mengalami kejadian seperti yang kusampaikan barusan?" Mantan kakak ipar seperti ingin memakanku hidup-hidup. Tak pernah terbesit sebelumnya untuk membuka aib orang, namun, sesekali aku juga harus membela diri. Ampuni hamba ya Allah. Tak seharusnya kejahatan dibalas dengan kejahatan. Tapi, mereka sudah sangat kelewatan. Hatiku yang semulia itu untuk bisa menerima dengan lapang. "Erga sebaiknya segera usir wanita jahat ini dari rumah. Ibu benar-benar sudah muak melihatnya." "Tapi, Bu, ini sudah malam, biarkan Naura menginap di sini. Besok aku akan mengantarnya ke rumah orangtuanya." "Tapi, Ga, Ibu tidak mau melihat dia lagi. Sakit mata Ibu ...." "Kalian tidak perlu cemas, orangtuaku sedang dalam perjalanan kemari untuk menjemputku dan putriku. Dan kamu Mas, sebelum aku pergi, ada yang ingin kusampaikan, barangkali kamu lupa. Aku menyuruh Oji masuk ke kamar kita untuk memperbaiki keran wastafel kamar mandi yang rusak. Seperti yang kamu perintahkan sebelum berangkat kerja." .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN