Biarlah

1141 Kata
"Indriiiiiii!" Alma berteriak bak tong kosong berbunyi. Indri sengaja pergi dari ruangan sempit itu sebelum akhirnya sang mertua datang. Ia pura-pura ke kamar mandi dan menyalakan air ke dalam ember. Selang beberapa menit, ia keluar dengan tangan basah. "Ada apa, Ma?" tanya Indri mendekati mertuanya yang berwajah merah seperti bara api. Alisnya bagai melintang begitu mempertegas karakteristik wanita itu. "Kamu lihat ini!" Alma membentak. Tangannya mengangkat sebuah gaun mahal yang baru dua hari mendiami lemari kamarnya. Padahal, gaun itu akan digunakan sebentar lagi. "Tadi aku sudah matikan setrikannya, kok, Ma. Itu buktinya." Indri menunjuk kabel yang sudah terputus dari stop kontak. Alma semakin meradang. Napasnya naik turun sehingga membuatnya seperti orang hilang kewarasan. Bak teko uap yang sudah mendidih. Dalam hati Indri, ia mengumpat setengah mati. Sebenarnya uang bulanan dari Rasya adalah untuknya. Kenapa bisa hilang? Ya, Indri menyimpannya dalam lemari lalu ia melihat tanpa sengaja, Alma mengambil secara diam-diam. Mengendap dan mungkin telah dibelikan gaun itu. "Indri! Kamu harus ganti rugi! Mama, enggak mau tahu, kamu ganti senilai harga gaun ini!" Pertengkaran masih berlanjut, wanita dengan roll di rambut itu melotot pada menantu satu-satunya. "Maaf, Ma. Uang bulanan Indri, kan, sudah Mama ambil. Bagaimana Indri bisa mengganti?" Indri menarik satu sudut bibirnya. Alma terkejut dalam hati. Kenapa Indri bisa tahu. Wanita itu tak berkata lagi. Ia segera enyah dari hadapan Indri. Alma telah tenggelam dalam kamarnya. Indri pun mengembus napas dengan penyesalan. Bukan maksudnya berbuat durhaka, tetapi perbuatan Alma sudah keterlaluan. Baru kali ini Indri berbuat nekat. Berulangkali mengucap istighfar dan mendo'akan ampunan untuk dirinya dan Alma. Jika suatu saat ia mempunyai pekerjaan, ia berniat untuk mengganti rugi atas perbuatannya. Indri kembali melihat Angga di kamar dengan perut berat. Sesekali menahan tendangan dari dalam ditambah lelah dengan pekerjaan yang baru saja ia selesaikan. "Astaghfirullah, Angga." Indri memekik. Ia panik bukan main ketika baru saja ingin merebahkan diri sambil menyentuh lengan putra pertamanya yang tiba-tiba panas. "Sabar, Nak, ya!" Indri segera menelpon Rasya. Tangannya gemetaran disertai jantung berdegup kencang. Keringat dingin tiba-tiba mengucur deras dari keningnya. "Mas, angkat, dong!" Indri terus bergumam sendiri. Panggilan sama sekali tidak ada jawaban, Indri segera menata tas dan memasukkan dua stel baju Angga. Ia menggendong Angga lalu keluar untuk mencari taksi. * "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" Indri bertanya dengan perasaan campur aduk. Ia menunggu sang dokter yang tengah memeriksa putranya. "Putra anda harus dirawat untuk sementara ini, Bu. Dia terkena cacar dan demamnya tinggi sekali," balas dokter tadi. Sang dokter juga menunjukkan sikap keprihatinan. "Astaghfirullah." Indri lemas. Ia bingung, bagaimana akan membayar semuanya. Apalagi sebentar lagi dia akan melahirkan. Biaya pasti tak akan sedikit. "Baik, Dok. Saya telpon suami saya dulu." Dokter mengangguk lalu keluar kamar pasien kecil itu. Sudah puluhan kali Indri mencoba menghubungi dan mengirim pesan, tetapi satupun tak ada balasan. Mondar-mandir di depan kamar rawat sang putra, ada gurat ketakutan. Karena selama ini yang selalu membantu adalah kakak laki-lakinya, terpaksa sekarang Indri menghubungi untuk meminta bantuannya lagi. Malam itu, Ali datang bersama sang Ibu. Sang kakak menggandeng Ibu mereka menghampiri wanita yang kini sendirian menanti sebuah keajaiban. Wanita muda itu terlihat stres, menutup wajah sesekali dan gelisah. Indri yang melihat Kakak dan Ibunya dari kejauhan, segera berdiri. Air matanya pecah lagi. Dua wanita itu kini berpelukan saling melepas kegundahan. Rumi menepuk-nepuk lembut punggung putrinya. Ia tahu betul bagaimana keadaan rumah tangga Indri. "Ndri, bagaimana keadaan Angga?" Ali membuka suara. Melepas embusan napas berat tak tega melihat adiknya begitu pilu. "Angga ...." Indri tak kuasa mengatakan perkembangan kondisi putranya. Begitu memprihatinkan dan ia tak bisa menjelaskan dengan jelas. "Katakan saja! Kami akan selalu ada buatmu," kata Ali lagi. "Benar, Ndri. Jangan takut, oiya, mana Rasya?" Sesaat Rumi teringat pada menantunya. Menoleh kanan kiri hingga menatap ke ujung juga tak terlihat batang hidung menantunya. "Mas Rasya ... dia belum datang, Bu. Mungkin sibuk." Indri berusaha menutupi. Meski dalam hatinya ia tahu, jam segini biasanya Rasya sudah santai di rumah. "Jangan bohong, Ndri! Ibu dan Mas-mu sudah tahu." Rumi beralih pandang pada sosok lelaki berperawakan tinggi tegap di sampingnya. Yang merupakan pebisnis muda dengan jabatan manager. "Tidak, Bu. Mas Rasya memang sibuk biasanya jam segini." Indri menunduk. Ia tak mau raut wajahnya kembali terbaca oleh mereka. Dokter berjalan beriringan dengan suster melewati mereka. Lalu, masuk ke dalam membuat mereka bertiga mengalihkan perhatian di balik jendela kaca yang sedikit terbuka. "Ndri, coba telpon si Rasya lagi! Siapa tahu dia sudah pulang. Masa jam segini belum pulang? Ini sudah setengah sembilan, Ndri." Ali terlihat gusar. "Biarkan saja, Mas. Aku sudah pasrah. Tolong, kuatkan aku saja." Indri kembali mengintip putranya. "Al, coba kamu temui Rasya! Ibu punya firasat buruk tentang rumah tangga adikmu. Dia pasti menyimpan semuanya sendirian. Tapi, jangan bilang-bilang Indri kalau kamu menemui Rasya," ucap Rumi ketika menjelang subuh. Mereka bertiga menginap di ruangan Angga di rawat. Indri baru saja terlelap karena semalaman menangisi Angga yang belum juga menunjukkan perkembangan. Ali segera keluar dari kamar itu. Sebelumnya ia akan pulang dulu untuk ganti baju dan membersihkan diri. Di koridor rumah sakit, tak sengaja ia menabrak seorang wanita yang juga berjalan terburu-buru. "Maaf," kata Ali sambil membantu wanita dengan jilbab hitam itu memunguti barang-barangnya. "Saya juga minta maaf, karena kurang hati-hati." Wanita tadi terus menunduk dan berjalan terburu-buru. Beberapa detik tatapan Ali mengunci langkah wanita tadi hingga lenyap. Jam enam pagi Ali sudah berada di depan rumah Rasya. Ia masih di dalam mobil sambil menyiapkan segala kata yang akan ia sampaikan pada iparnya itu. Baru saja membuka pintu mobil, sebuah sedan hitam keluaran terbaru masuk melewati pagar rumah Rasya. Ali mengurungkan niatnya. Sayang, ia tak dapat melihat siapa yang baru saja masuk. Ali memutuskan untuk menunggu saja di depan rumah lagi. Sampai waktu menunjukkan jam delapan pagi dalam ponsel miliknya. Tak ada satupun penghuni rumah yang keluar. Ali mulai lelah. "Hallo, katakan pada direktur. Saya izin telat karena harus mengurus keponakan yang sakit." Ali menutup panggilan. Ia menghubungi pihak kantor. Ia melihat mobil keluar tetapi dari pantulan jendela kaca, Rasya ada di dalam sana. Buru-buru Ali menghidupkan lagi mesin mobilnya dan mengikuti ke mana mobil tadi pergi. Mobil di depannya mengarah pada sebuah supermarket. Ali masih memantau ketika benar, Rasya keluar dari sana bersama seorang wanita berpakaian kurang bahan. Lelaki dengan rahang kokoh itu mengepalkan tangannya membentur setir. Ia semakin meradang ketika melihat Rasya menggandeng wanita tadi memasuki sebuah pusat perbelanjaan. Dengan kemarahan yang sudah memuncak, Ali turun dari mobil dan langsung membalik pundak Rasya. Ali dengan tangan mengepal melayangkan tinjunya tepat mengenai wajah suami dari adiknya. Sontak wanita tadi berteriak kencang. Ia meminta tolong dengan segera. Ali terus memukuli Rasya tanpa henti. Baru setelah beberapa orang melerai, Ali mengatakan semua sesak dalam dadanya. "Dasar, lelaki tidak berguna! Anakmu sakit di rumah sakit, kau malah enak-enakan sama wanita lain. Istrimu berjuang sendirian dengan perut besar di sana, kau malah bermain serong di belakang!" Rasya meringis menahan perih pada pipi dan perutnya yang tadi terkena hantaman keras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN