Bab 6. Izin ke Suami

1072 Kata
Sherly terduduk diam di atas ranjang, wanita itu memikirkan apa yang sang ibu ucapkan saat di dapur. Tatapan penuh harapan itu membuat Sherly enggan untuk menyahut atau lebih tepatnya wanita itu tak tahu harus mengatakan apa. Namun, satu hal yang pasti Sherly merasa ragu jika pernikahan terpaksa antara dirinya dan pria asing itu akan berjalan cukup lama. Sherly bahkan selalu berhasil dibuat tak bisa berhadapan dengan Dimas, aura dominan Dimas berhasil membuat Sherly sedikit tunduk atau mungkin memang belum saatnya Dimas melihat seperti apa dirinya yang sebenarnya. Sherly menarik napas panjang, wanita itu merasa keheranan sendiri saat dia merasa takut dengan sosok Dimas. Selama ini Sherly selalu berani berhadapan dengan siapa pun, dia hanya takut pada orang tuanya saja. Namun, untuk kali pertamanya Sherly merasa takut selain kepada Leo dan Tari. Apa semua karena Dimas mengatakan jika dirinya merupakan mantan narapidana? Sherly mengangguk, bisa jadi memang itu alasannya. "Gue kenapa harus takut juga, sih?!" kesal Sherly dengan bibir mencebik kecil. Suara decitan pintu membuat Sherly terkejut, wanita itu langsung menoleh ke arah pintu. Mata Sherly membesar, spontan dia berdiri dan menatap Dimas dengan takut-takut. Akan tetapi, Dimas terus berjalan dengan wajah datarnya. Pria itu bahkan tak peduli dengan raut wajah penuh ketakutan Sherly, bagi Dimas istrinya itu sedikit berlebihan saat melihat dirinya masuk ke dalam kamar. Menahan napas, Sherly menundukkan kepala. Dia sungguh merasa lemah jika harus berhadapan dengan Dimas, jantung wanita itu bahkan berdebar tak karuan dengan tangan yang berubah dingin dalam sekejap. Bukan, Sherly bukan salah tingkah melainkan merasa gugup. Dimas berhenti tepat di depan meja rias milik sang istri, dia berkaca di sana. Pria itu merapikan penampilan rambutnya. Dia melirik Sherly dari cermin yang masih menundukkan kepala. Berdecak pelan, Dimas dibuat geram dengan tingkah wanita itu. "Apa kamu melihat uang di lantai? Angkat kepalamu, Sherly!" titah Dimas dengan suara sinis. Sherly langsung mengangkat kepala, dia menelan air liur dengan susah payah saat melihat punggung tegap Dimas yang begitu kokoh dan lebar. "Nikmat Tuhan yang sayang untuk dilewatin, tapi sialnya dia galak. Nggak jadi terpesona deh," batin Sherly bergidik ngeri mengingat ucapan Dimas yang mengatakan bahwa dia merupakan mantan narapidana. Dimas menaikkan satu alis, dia memandang heran ekspresi Sherly. Mata pria itu bahkan memicing, memandang aneh ekspresi sang istri. Mendengus kasar, Dimas menduduki sedikit meja rias Sherly. Pria itu melipat tangan di depan d**a, dia memandang Sherly dengan tatapan datar. "Saya harus pergi ke restoran karena ada masalah di sana. Kamu bisa saya tinggal?" tanya Dimas langsung pada intinya. Sherly menganggukkan kepala tanpa ragu. "Iya, bisa." Wanita itu memandang lekat sang suami, tingkah Sherly ini membuat Dimas memicingkan mata. Pria itu dapat membaca gerak-gerik Sherly yang seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya wanita itu merasa takut untuk mengatakannya. "Kenapa?" tanya Dimas cukup peka. "Eum ... ak—aku mau ketemuan sama sahabat aku di kafe siang ini," akunya dengan gugup, Sherly bahkan langsung menundukkan kepala. "Terus?" Dimas menaikkan satu alisnya kebingungan. Berdecak lirih, Sherly berucap dalam hati. "Dasar nggak peka!" umpat wanita itu hanya mampu dia katakan dalam hati. "Boleh aku ketemuan sama mereka?" tanya Sherly memberanikan diri menatap mata Dimas. Dimas mengangguk dengan santai. "Boleh. Asal jangan aneh-aneh dan pulang tepat waktu, nanti kamu bisa hubungi supir untuk jemput kamu. Nanti saya kirim nomornya," sahut pria itu. Ekspresi Sherly berubah riang, wanita itu menganggukkan kepala dengan semangat. Dia bahkan tersenyum lebar, Sherly pikir Dimas akan marah dan melarang dirinya. Namun, dugaan wanita itu salah nyatanya Dimas mengizinkan dirinya dengan santai. Tingkah antusias Sherly itu membuat Dimas menggelengkan kepala, tingkah dan usia Sherly sangat berbanding terbalik. "Makasih, Om!" seru Sherly dengan senyuman lebar. "Hm, saya pergi dulu." Sherly hanya mengangguk sebagai respons. Wanita itu lantas mengambil ponselnya yang dia letakkan di nakas, Sherly mendudukkan diri di atas kasur. Wanita itu mengetikkan sesuatu di papan ketik ponsel pintarnya, dia tersenyum senang saat membayangkan dia akan melakukan banyak hal gila bersama sang sahabat. Anda: Gue diizinin buat pergi. Elesya Kaku: Oke, kita ketemuan di tempat biasa. Adelia Cerewet: Wah, seriusan?! Gue siap-siap dulu. Sherly tak memberikan respons apa-apa, wanita itu meletakkan ponselnya dan berjalan memasuki ruang berganti. Dia harus bersiap sekarang karena Sherly tak bisa membuat supir menunggu terlalu lama. *** Dimas memijat kening, dia memandang Aldi dengan tatapan lelah. Pria itu menghela napas panjang, dia baru saja mendapatkan laporan jika salah usaha kafe milik keluarga Pradipta mengalami pemerosotan pemasukan. Tentu saja ini memusingkan Dimas mengingat usaha yang berbau kuliner memang Derix berikan pada Dimas. Dimas menatap seorang pria yang sedari tadi berdiri di hadapan dirinya dengan kepala menunduk. Dimas berdecak pelan, kepala pria itu rasanya berdenyut nyeri. Untuk saat ini mungkin dia hanya mengurusi usaha kuliner, tapi seiring berjalan waktu seluruh usaha Pradipta sudah pasti jatuh ke tangan Dimas sebagai keturunan pertama Pradipta yang telah ditentukan sejak lama oleh leluhur mereka bahwa seluruh kekayaan akan jatuh pada keturunan pertama. "Kenapa penghasilan kita bisa turun, Aldi?" tanya Dimas dengan alis menyatu. Aldi, pria itu mengangkat kepala. Dia menatap lekat atasannya. Menarik napas dalam-dalam, Aldi mencoba menyampaikan penyebab dari merosotnya pemasukan salah satu kafe yang ada di wilayah ibukota. "Kemungkinan dikarenakan faktor banyaknya makanan sekarang yang sedang hits, Tuan Muda." Aldi menjeda sejenak ucapannya. "Seperti tanghulu, seblak, bakso dengan porsi besar, atau makanan Korea maupun Jepang, serta China lainnya," sambung Aldi. "Sedangkan di kafe kita lebih banyak menyuguhkan dessert dan makanan yang memang sudah biasa disajikan di kafe-kafe, Tuan Muda." Dimas yang mendengar itu menganggukkan kepala pelan. "Begitu ya? Kamu ada saran untuk masalah ini?" tanya Dimas. "Mungkin kita bisa menambahkan menu-menu yang memang menjadi makanan hits anak zaman sekarang, Tuan Muda," sahut Aldi. Dimas terdiam sejenak, dia menatap lurus ke depan. Pria itu sedang mempertimbangkan usulan yang tengah diberikan oleh Aldi. Tentu saja Dimas tidak mau rugi untuk hal ini, dia tidak ingin ada kerugian yang lebih besar lagi. Lama terdiam, Dimas menerbitkan senyum lebar. Pria itu berdecak kagum, sungguh Dimas memuji otak cerdas miliknya. "Lantai satu khusus untuk tempat pemesanan dan pembayaran saja. Kita bisa buat tempat untuk lesehan yang nantinya bisa digunakan oleh orang-orang yang ingin memesan makanan hits yang tergolong biasa ada di warung atau jalan raya jadi kita bangun konsep murah di lantai dua, sedangkan di lantai tiga untuk tempat private yang konsepnya tenang cocok untuk anak-anak introvert dan yang ingin mengerjakan tugas. Lantai empat untuk tempat vip dan lantai lima untuk tempat berfoto." Aldi berdecak kagum mendengar ide sang atasan. "Saya akan segera memanggil orang-orang untuk melakukan renovasi, Tuan Muda," ucapnya cepat tanggap. "Bagus!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN