Benarkah Suamiku Berkhianat?

659 Kata
Ya ampun, mau sampai berapa lama duo kunti ini mangap? Eh maksudku ibu dan Mayang. Baru lihat aku pegang ponsel saja heran begitu. Tak bisa dibayangkan kalau nanti mereka sampai tahu aku menang undian. Mati berdiri kali, ya? Hihihi. Aku diam sejenak setelah panggilan dengan Astri kuakhiri. Memikirkan langkah terbaik yang harus aku ambil saat ini. Ah, rasanya tidak lucu kalau aku ungkapkan semua sekarang. Lagian, aku belum mau pergi hari ini. Masih ada hal yang harus aku bereskan di sini. "Jawab, Listi! Dapat duit dari mana kamu bisa beli hape canggih begitu?" Ibu mendesak jawaban sambil berkacak pinggang dan mata melotot. Sementara napasnya tampak naik turun seperti baru melakukan lari 100 meter. Aku masih diam. Memikirkan rangkaian kata yang sesuai untuk memberi mereka jawaban yang memuaskan. "Jawab, Listi!" Seperti polisi yang berjumpa bandar narkoba, Mayang membentakku yang terdiam kaku. "Aku dapat komisi dari Tini, May. Suruh nyariin dia sawah." Aku mencoba mencari alasan sambil berharap mereka percaya. "Tini siapa?" Mayang menaikkan sebelah alisnya sambil menatapku tajam. "Tini teman aku, yang sekarang di Hongkong. Kemarin dia ngirim duit. Buat minta tolong suruh beliin sawah." "Dia ngirim ke kamu?" tanya Ibu dengan tak menurunkan kedua tangan dari pinggangnya. "Iya, Bu …." Aku mengangguk sopan. "Kenapa dia nggak ngirim sama keluarganya?" "Emak-bapaknya sudah tua. Gak ngerti soal transfer mentransfer. Lagian katanya, dia pengen nolong aku." "Nolong kamu gimana?" cecar ibu dengan menunjukkan wajah garang. "Ya … jadiin saya makelar biar bisa beli hape baru. Katanya biar kalau ipar sama mertua berulah bisa videoin dan viralin deh kayak Gisel." Aku menyahut santai. "Apa …?" Mata Mayang hampir terkeluar dari tempatnya mendengar ucapanku. Biarlah. Bodo amat. Malas aku jadi mantu teraniaya terus. Nanti mirip drama ikan terbang. Cape, deh …. Aku pun berlalu sambil membawa Riana pergi. Ingin pergi mengunjungi Bapak dan adikku yang tinggal di kampung sebelah. "Heh, mau ke mana kamu, Listi?" teriak Mayang saat aku selonong boy keluar kamar tanpa basa-basi. "Ke rumah Bapak. Kamu mau ikut?" tanyaku sambil mendekap Riana erat. Bocah dua tahun yang selama ini kurang mendapat perhatian ayahnya yang selalu kerja dan kerja. Mayang bergidik ngeri seperti jijik saat mendengar kata rumah Bapak. Ya, pasti gadis itu tengah membayangkan rumah sederhana orang tuaku yang mungkin menurutnya kumuh. EGP. Bapak dan adikku, Ismi menyambut gembira kedatanganku sore ini. Maklum sudah lama sekali aku tak mengunjungi mereka akibat kesibukanku yang tiada habisnya. Sibuk menjadi juru masak dan juru cuci di rumah gedong mertuaku. "Bapak nggak ngojek?" tanyaku saat menyadari orang tuaku yang tinggal satu-satunya ada di rumah. "Motor rusak, Lis." Di atas dipan tua, Bapak menarik napas dalam dengan raut wajah putus asa. "Gimana kalo Listi kasih modal buat bikin kolam ikan hias, Pak?" ujarku pelan. "Apa?" Mata tua Bapak terbelalak saat mendengar ucapanku yang pasti sangat mengagetkannya. Aku mengangguk meyakinkan. Ah, rasanya memelihara ikan hias bukan ide yang buruk. "Ya Allah, Lis. Jangan bikin Bapak mimpi di siang bolong!" sahut Bapak lirih. Seperti masih tak percaya dengan apa yang baru beliau dengar, Bapak menyeruput teh yang bisa kupastikan rasanya tawar. "Nggak mimpi kok, Pak. Listi ada duitnya." Aku menatap Bapak dengan wajah berbinar memancing bapakku menatap wajahku lebih lama. "Kamu nggak ngelakuin yang aneh-aneh, to, makanya bisa sampai dapat duit?" Bapak memindai wajahku dengan seksama. Aku hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Nanti Listi ceritakan semuanya, Pak. Mending kita siap-siap buat pergi ke rumah Astri, temen suaminya ada yang usaha melihara ikan hias, katanya untungnya lumayan." "Ya sudah terserah kamu saja." Bapak mengangguk pasrah. Saat dalam perjalanan ke rumah Astri sambil menaiki angkot, aku yang duduk berdesakan di dalam angkot dibuat terkejut ketika melihat ke luar dan melihat seseorang yang amat kukenal hampir memasuki warung makan Padang bersama seorang wanita seksi. Dan mereka tampak … mesra. Mas Pram? Benarkah kamu mengkhianatiku? Ada yang rasa terkoyak di dalam sini. Ah, mungkin keputusan berpisah dengannya memang keputusan yang tepat. Untuk apa bertahan kalau suami mendua dan diperlakukan seperti pembantu oleh ipar dan mertua? Sakit ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN