3

4986 Kata
Lord Robbespierre, seorang pria yang begitu tersohor tak hanya di lingkungannya melainkan dunia tengah berhadapan dengan empat orang dalam sebuah ruangan berpenerangan redup. Matanya menatap satu per satu empat orang tersebut, walaupun sebenarnya ekor matanya tak beralih memandang satu sosok wanita. “Kenapa putramu begitu kasar pada putriku?” tanyanya pada wanita yang berdiri di sebelah seorang pria bermata biru laut. “Memang begitulah sikapnya. Boleh membalikkan pertanyaanmu? Kenapa aku harus peduli?” balas si wanita. “Patricia Lynn Mallette, kau adalah ibunya. Apakah kau tidak mengajari putramu sopan santun sehingga bertindak kurang ajar pada putriku?” Wanita yang dipanggil Patricia tadi tersenyum kecut. Kakinya bergerak perlahan menghampiri Lord Robbespierre; jari-jarinya menelusuri garis bufet yang dilewatinya. “Well, aku mendidiknya dengan baik. Tapi, dia akan berlaku seperti itu jika sedang berhadapan dengan anak seseorang yang sombong, arogan, angkuh, dan—” “Jaga ucapanmu, My dear.” Jari telunjuk Lord Robbespierre mengarah pada Patricia. “Aku menyayangi putriku, bahkan rela tidak bertemu dengannya selama delapan belas tahun hanya demi eksistensi Mutan Wizards sekaligus menyelamatkannya. Jika ada yang menyakitinya, aku tak segan-segan membunuh orang itu. Termasuk jika itu anakmu, Justin.” Patricia tertawa pendek. “Who kill who?” Dia menegakkan dagunya dengan pandangan menantang. “Kalau begitu aku akan meminta putraku untuk minta maaf… telah bertindak kurang ajar pada young lady Axeline Robbespierre.” Hampir saja Lord Robbespierre menanggapi kalimat terakhir Patricia andai saja pria bermata biru tersebut tidak berdehem. Bahu Lord Robbespierre merileks sebentar seraya dihembuskannya napas panjang. Tatapan tajam tak lepas dilayangkan pada Patricia. Sementara wanita bermata biru gradasi hijau tersebut hanya menyunggingkan senyum miring. “Maaf, tapi kita berkumpul untuk membahas pembunuhan yang dilakukan oleh Exterminators melalui para Destroyers,” ujar si pria bermanik mata biru. “Ya, My brother Brad Sanders. Maaf atas obrolan seperti tadi.” Lord Robbespierre tersenyum simpul. “Well, mau bagaimana lagi? Kita tunggu sampai lima petarung lengkap; artinya menunggu entah sampai kapan, hingga putriku siap menjadi salah satu di antara mereka. Bagaimana juga, mereka belum lengkap dan tidak bisa mengambil tindakan.” “Kalau menunggu putrimu sampai siap, itu artinya anak-anak Mutant Wizards yang tidak memiliki kemampuan hebat akan lenyap. Mereka tidak bisa melindungi diri jika kemampuan mereka hanya sekedar kemampuan biasa,” wanita lain menyahut. “Mau tidak mau kita harus membantu kesiapan Axeline.” Seolah tidak bisa lagi menanggapi ucapan yang lainnya, Lord Robbespierre hanya bertopang dagu mengamati keempat orang di hadapannya saat itu. Pelbagai pikiran berkeliaran liar di dalam kepalanya. Namun pada akhirnya, dia mengulaskan senyuman dengan porsi separo.   ***   Axeline’s Point of View Duh, kenapa aku masih tidak mengerti materi yang telah diajarkan Justin? Sudah berpuluh-puluh kali aku mencoba mengerjakan satu soal di bukuku, tidak ada satupun yang menyangkut di otakku. Aku menghela napas panjang seraya menyandarkan tubuhku pada kursi. Ya Tuhan, kalau terus-terusan begini, kurasa Dad akan marah dan kecewa memiliki seorang anak yang bodoh. Aku turun dari lantai atas sekedar mengambil minum di dapur. Aku bukan anak manja seperti yang pernah disebut Justin, maka kugerakkan kakiku menuruni tangga. Seorang pelayan melihatku berjalan menghampiri dapur. Heran juga, bagaimana dia bisa terjaga semalam ini? Maksudku, apakah dia tidak tidur demi bersiap siaga melayani tuannya? “Anda menginginkan sesuatu, Young Lady?” tanya pelayan tersebut menghampiriku. Aku mengangkat sebelah tangan menyuruhnya berhenti. “Aku ingin mandiri. Tolong jangan layani aku seperti putri raja.” Sepertinya satu senyuman sangat cukup. Sebelum aku melenggang pergi, aku memandang lagi pelayan itu. “Ah, siapa namamu?” “Cecille, Young Lady.” “Cecille. Oke. Silakan pergi.” Kupastikan gadis itu pergi. Tapi harapanku pupus ketika kembali dari kulkas, masih mendapati Cecille berdiri seperti robot menunggu perintah. Aku memutar bola mata kesal. Ya sudahlah, yang penting dia tidak melayaniku. Sebelum akhirnya aku pergi dari dapur, kuberikan senyuman ramah untuk gadis itu. “Oh ya, Cecille.” Aku berbalik badan. “Kemana ayahku?” “Ngg… beliau sedang menghadiri rapat penting, Young Lady.” Oh, orang sibuk. Aku maklumi itu. Sepertinya Dad memang pekerja keras. Bahkan tengah malam begini dia masih sibuk rapat. Entah kenapa aku justru tidak suka dengan kesibukannya. Cenderung seperti… mengabaikanku. Begitulah istilah lainnya. Mendadak saja, aku merindukan Bibi Dorothy.     Astaga, udara hari ini mengapa begitu dingin? Aku hampir membeku sepanjang jalan menuju loker siswi. Mantel tebal sudah membungkus tubuhku, bahkan syal yang terbuat dari wol tebal melingkar di leherku. Aku mendesah frustrasi melihat gerombolan tiga serangkai yang berdiri di sebelah loker siswi. Oh tidak, lebih tepatnya Justin berdiri di depan loker sisiwi, tengah berciuman dengan anak perempuan berambut pirang panjang, sedangkan dua kawannya bercandaan di sebelah loker. Aku mengerutkan hidung melihat hal itu. Menjijikkan. Kuhempaskan pintu loker sangat keras sampai membuat cewek yang dicium Justin terpekik. Bisa kutebak wajah Justin yang kesal karena aku sudah mengganggunya. Well, sepertinya aku tidak mengganggu. Mereka berdua yang mengganggu pemandanganku. Apalagi melakukan itu di depan loker siswi. Dua blok dari lokerku. “Bisakah kau menutup lokermu sangat pelan, Miss Robbespierre?” sergah Justin yang sudah berdiri di sebelahku. Cewek yang dicium Justin sudah enyah entah kemana. Aku menoleh ke arahnya dan memberikan tampang t***l. “Oh, kau mau aku menutupnya pelan? Baiklah.” Sekali lagi kubuka lokerku dan menutupnya sangat pelan. Sangat sangat pelan sampai terdengar bunyi dari pintu loker itu. Klik. “Nah, sudah pelan kan?” Kusunggingkan senyuman lebar untuk cowok sok itu. Justin memutar bola matanya kesal. Ditiliknya penampilanku dari atas hingga bawah. Tatapan yang diberikannya padaku seperti pertanda bahwa penampilanku hari ini lebih aneh daripada suku pedalaman. “You look like a potato,” ejeknya. “Terima kasih banyak.” Tak kuhiraukan lagi cemoohannya. Aku berbalik badan sambil mengeratkan buku-buku dalam dekapanku sampai akhirnya tanganku ditarik dari belakang. Anak ini sama menyebalkannya seperti ayahnya. Aku mendengar suara itu. Untuk saat itu aku rasa meladeni Justin adalah pilihan buruk. Lagipula aku tidak ingin membuang waktu untuk berdebat dan terjadi aksi saling mencakar. “Apa lagi?” sergahku. “Masih ingat ucapanku kemarin, kan? Jangan ungkit-ungkit atau bercerita tentang kejadian malam itu,” bisiknya pelan sambil dibarengi tatapan bak belati. Aku mengenal tatapan itu sebagai ancaman yang tidak main-main. Seperti malam lalu ketika dia mengantarku. “Anggap saja kau tidak melihat pembunuhan itu.” Aku hanya diam membalas kalimatnya. Kejadian mengerikan malam lalu mana mungkin menghilang dari memoriku. Yang ada justru semakin menempel dan terbayang-bayang di benakku. Namun ucapan Justin malam lalu mengatakan bahwa jika aku ikut campur dalam pembunuhan itu, lima cowok itu tak hanya membalas perbuatanku. Mereka bisa membunuhku. Lagi-lagi aku bergidik membayangkannya. “Kenapa kau peduli padaku?” tanyaku. “Atau jangan-jangan kau juga terlibat dalam pembunuhan itu? Kau sekongkol?” Mataku mendelik secara tiba-tiba. “Ah, benar saja! Aku yakin kau pasti sekongkol!” Ucapanku terputus secara tiba-tiba karena Justin membekap mulutku. “Kenapa kau begitu menyebalkan?” Lantaran masih tidak mau melepas tangannya dariku, kugigit saja tangan Justin sampai membuat dia memekik kesakitan. Dia menghujani tatapan tidak main-main padaku sedangkan aku cukup membalas dengan pipi yang kugembungkan. “Kenapa kau ini?” geramnya kesal. “Dasar idiot.” “Aku tidak mau berurusan denganmu. Lihat, aku hampir telat masuk kelas.” Kupamerkan jam digitalku di depan wajahnya. “Bye.” Syukurlah dia tidak membalas apa-apa selain memandang kepergianku dengan dengusan pelan. Setelah ucapannya tadi, hal itu justru mengingatkanku kembali pada kejadian malam lalu. Lima cowok yang kalau tidak salah bernama Liam, Zach, Nathan, Luke, dan Henry berdiri di sebelah tubuh seorang gadis. Gadis yang tewas. Bahkan bayangan itu menari-nari dalam pikiranku sesampainya di dalam kelas Biologi. Mendadak perutku mulas melihat lima cowok yang kupikirkan muncul di dalam kelas. Kelimanya tampak santai menghadapi lingkungan sekitarnya seolah tak pernah mengalami kejadian mengerikan. Bahkan, tidak kudengar desas-desus kematian seseorang di sekolah ini. Padahal kejadian itu terjadi di lingkungan sekolah. “Kenapa kau melamun, Axel?” Caleste mengagetkan di sebelahku. Aku mengalihkan perhatian dari lima cowok itu. “Tidak apa.” Kusunggingkan senyuman simpul. Tampaknya Caleste tak sependapat dengan balasanku. Tatapan khawatirnya tidak lepas dariku. Antara lima cowok itu dan aku, dia membagi pandangannya. Ada keresahan yang kurasakan pada diri Caleste. Sungguh, kenapa dia bertindak seaneh ini? Hm. Semua orang di sekolah ini memang aneh.     Kepalaku mendadak pening saat aku melenggang menyusuri lorong menuju perpustakaan. Aku bersandar sebentar pada tembok untuk mendapatkan keseimbangan. Akan tetapi rasa pening itu belum juga hilang. Sebisanya aku melangkah perlahan agar sampai secepatnya di perpustakaan. Mendadak pandanganku sedikit kabur dan menyebabkanku kesulitan jalan. Seorang anak laki-laki terlihat berjalan pelan mendekatiku. Namun aku tidak bisa memastikan siapa anak laki-laki itu sampai kudengar suaranya yang asing di indera pendengarku. “Tunggu dulu…” ujarnya pelan. “Kau pasti Axeline Robbespierre. Walla, kejutan sekali kita bisa bertemu di sini, Young Lady.” Akhirnya rasa pening dan penglihatan yang kabur itu menghilang hingga bisa kulihat seorang anak laki-laki berambut cepak berdiri dekat di depanku diiringi senyuman aneh. Ya Tuhan. Dia salah satu dari lima cowok itu, yang menurut Logan sangat ditakuti di sekolah ini, apalagi ingatanku soal pembunuhan itu melekat jelas di kepalaku. “A-apa yang kaumau? Siapa kau?” tanyaku gelagapan. “Heran sekali. Bagaimana bisa seorang anak perempuan satu-satunya Lord Robbespierre berkeliaran di lorong sepi tanpa pengawasan sedikit pun?” Mata anak laki-laki itu memicing tajam. “Perkenalan yang singkat. Aku Liam Peterson.” Dia mengulurkan tangannya. Kusambut uluran tangan tanda perkenalan itu dengan gerakan lamban tanpa melepaskan tatapan defensifku pada anak ini. Jujur saja, aku nyaris mati berdiri. Ketakutan. Rupanya anak b******n itu sangat menarik. Aku terpekik pelan mendengar suara itu. Yakin sekali bahwa Liam tidak membuka mulutnya sedikit pun, namun suaranya terngiang dalam kepalaku ketika tangan kami bersentuhan. Dia masih menggenggam tanganku, bahkan saat aku sudah mencoba menariknya. Kenapa makhluk secantik ini ditakdirkan menjadi anak b******n itu? Lagi-lagi suara itu terdengar di kepalaku. Apakah benar yang diucapkan Justin malam lalu bahwa aku bisa mendengar pikiran orang? Pada akhirnya aku berhasil melepas tanganku darinya. Setelah itu tak kudengar suara apapun di kepalaku. Aku tidak bergeming untuk memikirkan hal aneh seperti tadi. “Kenapa kau berdiam saja, Miss Robbespierre? Kau sama takutnya seperti pecundang di SMU Robert F. Kennedy?” tanyanya seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Aku membalasnya dengan senyuman simpul. “Tidak. Aku tidak pernah bicara dengan orang asing.” “Orang asing? Kita sudah berkenalan bukan? Jadi, kurasa istlah orang asing tidaklah pantas.” Aku menelan ludah dengan susah payah. Syukurlah pertemuanku dengannya tidak berlalu panjang karena kulihat kehadiran Caleste menghampiri kami. Pandangan Caleste yang belum pernah kuperhatikan sebelum ini melayang pada Liam. “Jangan ganggu dia,” ujar Caleste kasar. “Aku tidak mengganggu. Hanya… ingin berkenalan dengannya.” Kedua telapak tangan Caleste tergenggam sangat erat. Aku menyadari gerakan tangannya yang seolah memberikan tanda bahwa dia ingin memukul Liam. Namun, telapak tangannya diregangkan begitu senyuman tulus tampak dari bibirnya. “Baiklah, sampai jumpa, Liam.” Tanpa memberikan sepatah kata pun pada Liam, Caleste menarikku menjauhi anak itu. Bahkan saat aku sudah hampir berbelok di tikungan, Liam tak henti-hentinya memandangku. Kedua manik matanya tertuju padaku sampai aku menghilang di kelokan.     Justin’s Point of View Mengapa harus aku yang mengajari gadis menyebalkan ini? Apakah tidak ada anak lain yang bisa mengajarinya? Lihat saja dia, sudah berulang kali aku mengajarinya tapi dia tidak bisa menyerap materi yang kuberikan. Astaga, apakah Lord Robbespierre yakin bahwa gadis yang ditinggalkannya delapan belas tahun lalu adalah gadis ini? “Arghh! Aku menyerah!” teriaknya seraya memberantakkan rambutnya. Terkadang aku berpikir bahwa gadis ini mengalami gangguan kejiwaan. “Masa bodoh! Aku tidak mengerti apapun!” “Hey, berhenti berteriak,” seruku dari balik buku yang k****a. “Bisakah kau mengerjakan soal itu dengan tenang sementara aku membaca buku?” “Bedebahlah. Baca saja buku itu dan jangan pedulikan aku.” Dia menyandarkan tubuhnya pada kursi mengabaikan tatapan muakku. Terserahlah apa yang ingin diperbuatnya. Tapi mengesalkan juga kalau dia tidak bisa menerapkan apa yang kuajarkan dan Mrs. Torrents akan memarahiku. Kubiarkan saja Axeline bersantai dulu sedangkan aku bisa duduk meneruskan bacaanku. Apakah Lord Robbespierre tahu aku berdekatan dengan putrinya? Jujur, aku membencinya. Dia pria yang arogan dan sok berkuasa. “Justin, bolehkah aku bertanya?” Lamunanku buyar seketika mendengar suara Axeline. Kutaruh buku dalam genggamanku dan membalas pandangannya. “Hm?” “Soal membaca pikiran itu…” Dia tampak berpikir sejenak. Mungkin memikirkan kalimat yang tepat. “Maksudnya, bagaimana bisa kau yakin aku dapat membaca pikiranmu malam lalu?” Kenapa gadis ini bertanya hal seperti itu padaku? Seharusnya pertanyaan macam itu diberikan pada ayahnya, bukan padaku. Sepertinya Lord Robbespierre masih menyembunyikan segalanya dari Axeline. Gadis bodoh dan polos seperti dia mana mengerti kalau dihadapkan oleh dunia fana. Aku mendekat padanya dan kupandang dua lensa mata Axeline. “Kau mau tahu sesuatu?” Dia menganggukkan kepalanya cepat. Tanpa banyak bicara lagi, aku menyentuh tangannya. Lantas kugenggam telapak tangannya hingga kurasakan respon kaget. Akan tetapi, dia tidak memberontak seperti waktu lalu. Dia hanya memandangku dalam diam. Aku membiarkan seluruh pikiranku didengar olehnya tanpa mengalihkan tatapanku darinya. Dia bahkan tak berkedip saat membalas tatapanku. Tampaknya dia bingung dengan kemampuannya itu. Ya, siapa yang tidak bingung kalau dia baru menyadari bahwa ada hal istimewa dalam dirinya? “Aku bisa mendengar dan melihat pikiranmu,” katanya pelan sambil melepas tangannya dariku. “Kurasa ini berbeda dari biasanya saat aku hanya bisa mendengar suara-suara orang lain.” “Oh ya? Apa itu?” Sebaiknya aku uji saja gadis ini. “Pernikahan ayahmu yang berlangsung seminggu lalu,” jawabnya pelan. Aku tercengang mendengarnya, namun tak memberikan balasan apa-apa dan membiarkan dia meneruskan ucapannya. “Kesibukan ibumu dalam mengelola perusahan keluargamu. Dan… kau selalu menyebut satu nama. Selalu terngiang dalam kepalaku. Rebecca Black.” Entah kenapa respon pertamaku justru tawa pendek. Dia bisa menyebutkan apapun yang tengah kupikirkan. Well, apakah kemampuannya hanya sebagai pembaca pikiran melalui kontak? Maksudku, hell, dia anak orang yang berkedudukan tinggi di lingkungan Mutant Wizards. Bahkan ayahnya adalah seseorang yang memiliki kemampuan hebat. Mana mungkin anaknya hanya diwarisi kemampuan pembaca pikiran. Tidak berguna. “Hanya itu?” tanyaku. “Sebenarnya sih, awal peertama aku datang kemari secara tak sengaja tanganku bersentuhan dengan tangan Terry. Aku mendapat penglihatan tentang kecelakaan itu. Begitu singkat.” Benar dugaanku bahwa sebelum Terry tertabrak mobil, Axeline mendapat penglihatan sepert itu. Hm. Berarti anak ini memang memiliki kemampuan lain. Bukan sebagai penglihat masa depan atau pembaca pikiran. Dia sudah memiliki dua kemampuan. Kalau dia bukan sekedar penglihat masa depan dan pembaca pikiran, itu artinya… “Justin! Apa kau mendengarkan aku?” suaranya yang melengking menusuk indera pendengarku. “Bisakah kau tidak berteriak?” seruku. “Sungguh, suaramu merusak gendang telingaku.” Axeline tidak memberikan balasan yang sesuai ekspetasiku seperti memaki atau membentak. Dia mendengus pelan dan menghempaskan punggungnya pada kursi. “Kau mengetahui sesuatu?” Tibak baik kalau aku memberitahunya. Itu bukan wewenangku. Namun jika Axeline tidak tahu apapun tentang hal itu, dia bisa dikejar bahaya. Apalagi para Destroyerssudah tahu bahwa anak ini bukanlah anak biasa. Bisa-bisa nyawanya terancam. “Tanyakan saja pada ayahmu,” kataku kemudian. Axeline mengerucutkan bibir miring. Kuleggangkan kakiku menjauhi meja dan kembali ke sofa. Sambil meraih buku yang tadi k****a, aku mendaratkan pandangan pada Axeline. Gadis itu melanjutkan lagi tugasnya tanpa membalas pandanganku. Tidak baik kalau rasa benciku pada ayahnya kulampiaskan padanya. Tapi, dia sama menyebalkan. Benar-benar menyebalkan. Sudah pukul sepuluh dan tak kudengar lagi suara Axeline. Kupastikan dia masih berada di tempatnya. Saat aku menaruh buku yang k****a dan melihat ke tempat di mana dia duduk, dengusan pelan yang menjadi responku. Seharusnya aku tidak memedulikan gadis itu. Ya, dia ketiduran di atas meja dengan pensil yang masih tergenggam pada telapak tangannya. Alih-alih, aku berdiri dari sofa dan menghampirinya. Tanganku sudah sampai untuk membangunkannya. Tapi sebagian diriku tidak tega melihat dia tertidur begitu pulas.Suara napasnya mengalun lamban. Jadi, apakah aku harus membiarkan dia ketiduran di sini sampai pagi dan ditemukan oleh petugas sekolah—lebih buruknya lagi guru atau bahkan murid SMU Robert F. Kennedy—atau justru membawanya pulang? Bagaimana kalau kali ini Lord Robbespierre ada di rumahnya dan tahu bahwa aku mengantar putrinya pulang? Hm. Keputusan berat memang tak pernah kudapatkan solusinya. Sampai akhirnya keputusanku jatuh pada keputusan kedua. Aku membereskan buku-buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas. Lantas, kugendong tubuhnya yang ringan meninggalkan ruang belajar ini. Bisa kubayangkan wajahku ketika menggendongnya keluar. Seperti orang t***l. Yakinlah. Kuharap kejadian malam lalu tidak terjadi lagi. Ingin rasanya aku terjun mencegah setiap pembunuhan brutal yang dilakukan para Destroyers pada anggota penyihir mutan lainnya. Tapi, aku tak berwenang apapun pada tugas itu selama lima Fightersbelum lengkap. Akhirnya sampai di mobilku juga, tentu saja tanpa kejadian t***l yang mungkin muncul seperti kelebatan hantu. Misalnya, Destroyers muncul dan menghadangku. Lalu menculik Axeline dan membunuhnya. Itu tidak lucu. Axeline bahkan tidak terusik sedikit pun saat sabuk pengaman kupasang. Dia tetap terlelap seolah-olah sedang tidur dalam kamarnya. Aku memandanginya sebentar. Memang tidak adil kalau aku menghakiminya karena terlanjur benci dengan ayahnya. Dia tidak bersalah. Andai saja dia tidak bertingkah menyebalkan, mungkin aku tidak akan bersikap kasar padanya. Sampai di depan rumahnya, kutekan sebuah tombol hingga terdengar suara dari dalam mesin penjawab. “Aku membawa Axeline Robbespierre dan dia tertidur.” “Kami akan membawa orang untuk menggendongnya.” “Apakah Lord Robbespierre ada di dalam?” “Lord Robbespierre sedang keluar.” “Kalau begitu aku saja yang membawanya masuk.” “Tapi—” “Aku tidak mau mendengar kata tapi.” Jangan pikir yang tidak-tidak. Aku hanya ingin membawanya masuk karena bagaimana juga, dia kelelahan gara-gara kupaksa belajar sangat keras. Pintu gerbang terbuka otomatis. Aku melajukan mobil masuk ke dalam jalanan beraspal yang menghubungkan gerbang dengan rumah besar bergaya Aaron Spelling’s Manor. Mobil berhenti di depan rumah keluarga Robbespierre yang berdiri angkuh di depanku. Rumah sang pemimpin. Ya, bukan hanya sekedar CEO perusahaan saja. Mana mungkin pria agung seperti Lord Robbespierre ditakdirkan hanya sebagai CEO perusahaan terkenal di sini. Dia seperti pusat jagad. Aku menidurkan Axeline di dalam kamarnya dengan pengawasan setidaknya tiga pelayan perempuan. Ya ampun, seketat itukah pengamanan seorang tuan putri yang dengan beruntungnya kubawa masuk kemari? Mana rasa terima kasihnya? Semua orang yang bekerja dengan Lord Robbespierre memang sama saja seperti tuannya. Kupastikan mereka tidak bicara apapun pada Lord Robbespierre. Maka, aku tidak mengatakan namaku sesungguhnya pada mereka. Tentunya sedikit kebohongan. Jika Lord Robbespierre tahu aku membawa Axeline, maksudku, membawa dekat denganku, sepertinya bukan hanya aku yang mendapat hukuman. Ibuku juga. Akan tetapi, aku hampir melupakan satu hal. Lord Robbespierre tahu segala hal.     Axeline’s Point of View Pelayan di rumah ini bilang tadi malam aku diantar seorang anak laki-laki sampai ke dalam kamarku. Mereka memastikan bahwa aku baik-baik saja. Anehnya, mereka bilang kalau anak laki-laki itu menyebut namanya Drew. Hm, tampaknya Justin takut jika ayahku tahu. Haha. Hanya secuil itu nyalinya tapi dia berani bertindak semena-mena denganku. Syukurlah salju tidak turun pagi ini sehingga temperatur udara tidak sedingin hari-hari sebelumnya. Sebentar lagi libur natal. Jika mengingat natal, aku jadi merindukan Bibi Dorothy. Tiap natal dia membuat kue jahe dan memberikan hadiah sederhana. Salah satu hadiahnya memang kubawa. Hadiah natal tahun lalu berupa gelang anyaman. Aku melihat tiga serangkai tengah bercandaan satu sama lain di lapangan. Melihat eksistensi Justin di sana, kakiku jadi lemas. Aku teringat beberapa hal yang kami bicarakan kemarin malam. Mengenai keanehanku dalam membaca pikiran dan melihat sesuatu yang akan datang melalui sentuhan. Kontak fisik istilah lainnya. “Kudengar tadi malam Justin membopongmu keluar dari bangunan sekolah?” seorang gadis berambut pirang menghadangku di depan. Dua temannya yang lain muncul di sisi kanan-kirinya. Aku ingat gadis ini. Yang pernah dicium Justin di depan loker kemarin pagi. “Excuse me?” tanyaku. Bukan sok polos, tapi aku memang tidak mengerti maksudnya. “Back off!” dia mendorongku ke belakang. “Kukira kau gadis polos yang tidak berani mengambil tindakan apapun. Tapi, jangan kaukira kau adalah anak Sir Alexander Robbespierre, dengan seenaknya kau mendekati Justin.” Apa? Aku tertawa renyah mendengar kalimat gadis pirang ini. “Aku tidak tahu apa maksudmu. Minggir.” Sebaiknya tak kuladeni saja orang sinting ini. Aku sudah berniat menghindar, tapi dia menahan tubuhku. “Aku belum selesai bicara denganmu, Axel,” katanya lagi. “Masa bodoh apa yang dilakukan Justin kemarin malam padamu. Tapi perlu kau ketahui, Justin memang suka sekali menggoda gadis-gadis di SMU Robert F. Kennedy. Mungkin mendapatkan satu-dua ciuman tidak masalah baginya. Tapi setelah mendapatkan yang lain, dia akan meninggalkan mereka. Aku tidak bermaksud baik padamu. Aku tidak peduli dia melakukan apapun padaku selama ini. Aku hanya ingin dia menghentikan kebiasaan buruknya mempermainkan perempuan. Cukup aku yang terakhir. Cukup aku yang boleh mendekatinya dan dia berhenti melirik gadis lainnya.” Tiga cewek itu meninggalkanku dengan tawa cekikikan. Meskipun aku tidak peduli, naluriku justru menuntut untuk peduli. Berusaha agar mengenyahkan ucapan tadi, aku melimbai memasuki gedung sekolah.     Sial. Kenapa aku jadi kepikiran ucapan gadis tadi? Bahkan aku tak bisa berkonsentrasi di pelajaran bahasa Inggris. Pandanganku iseng beralih pada bangku Justin. Dia tidak membalas pandanganku; mungkin karena dia tidak menyadarinya. Kalau dipikir-pikir ucapan itu benar juga mengingat kelakuan Justin yang… well, begitu kurang ajar. Tapi, untuk apa juga aku berpikir bahwa dia mendekatiku hanya karena kebiasaan buruknya mempermainkan gadis? Plak! Aku memekik pelan menyadari benda yang dilempar tepat kena kepalaku. Sebuah kapur papan tulis terlihat menggelinding di atas mejaku. Secara otomatis, aku memerhatikan Mrs. Powell di depan sana; dia tengah melemparkan tatapan mematikan padaku. “Apa kau tidak memerhatikan penjelasanku, Miss Robbespierre?” tanyanya. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Maaf, Mam.” “Fokus.” Kukerucutkan bibir miring. Mendadak perutku jadi melilit setelah ditegur oleh Mrs. Powell yang menandakan bahwa aku memang terlalu fokus memikirkan ucapan gadis tadi sampai-sampai tak kuhiraukan penjelasan Mrs. Powell. Di samping, Justin menatapku aneh.   Kafetaria tidak penuh sesak seperti biasanya. Sepanjang jalan menuju kafetaria, Caleste menceritakan keberhasilannya dalam mata ajar pilihan. Aku tidak begitu mendengarkan cerocosnya sampai di bangku kosong sambil membawa baki makanan. “Mungkin aku pergi bersama Logan,” ujarnya. “Axel, kau mendengarku tidak?” Lamunanku buyar mendengar jari Caleste yang dijentikkan. “Apa, apa?” “Astaga, kau melamunkan apa sih?” Caleste menggelengkan kepalanya heran. “Tidak ada kok.” Kusunggingkan senyuman lebar seraya menggigit buah apel di tanganku. “Kau tadi bilang apa?” “Mungkin aku pergi bersama Logan di acara pesta ulang tahun sekolah kita. Prom. Kau dengar aku? Prom!” Caleste bertepuk tangan riang. Aku tidak peduli urusan seperti itu. Prom, kontes kecantikan, bla bla bla. Yang kulakukan di sekolah ini hanya belajar. “Memangnya kapan prom itu dilaksanakan?” Ya, walaupun aku tidak begitu suka, kurasa antusias harus kuberikan pada Caleste agar dia tidak kecewa. “Pertengahan Januari.” Pertengahan Januari. Mungkin aku tidak akan pernah hadir di prom sekolah. Siapa siswa SMU Robert F. Kennedy yang mau mengajakku hadir? Meskipun aku menyandang status sebagai anak Sir Alexander, aku tidak memiliki pesona untuk menarik anak cowok.     “Maaf Miss Robbespierre, sepertinya saya tidak bisa menjemput Anda. Ada hal darurat yang mengantarkan saya pada tugas dadakan. Mungkin sopir lain bisa menjemput Anda,” ujar Alvero ketika meneleponku setelah bel pulang berdentang. “Tidak usah. Mungkin aku naik bus sekolah atau taxi saja.” “Baiklah. Maaf sekali lagi. Selamat siang.” Aku menghembuskan napas pendek seraya menekan perintah end di display ponselku. Mungkin naik bus tidak masalah. Maka, kugerakkan kakiku mendekati tempat parkir bus sekolah. Tetapi baru beberapa langkah aku hendak mendekati bus, seseorang menarik lenganku. “Mau kuantar pulang?” tawar Justin yang sudah berdiri dengan ekspresi dingin.. Aku memikirkan kembali ucapan gadis pirang itu. Ah, tidak. Apa yang kau pikirkan, Axeline. Mana mungkin Justin berbuat macam-macam padaku. Saat di kolam renang dan dia menolak aku melepas jaket karena tidak ingin melihat tubuhku, kurasa dia tak tertarik seinci pun padaku. Well. “Kenapa kau mendadak menawarkanku pulang bersama?” Aku menaikkan sebelah alis. “Aku sedang memikirkan rencana belajar di sebuah kafe sambil menikmati cappuccino. Mungkin jam pengganti karena aku tak bisa mengajarimu besok.” “Oke.” Mungkin ini lebih baik daripada belajar sampai malam di sekolah yang sudah sepi. Pada akhirnya, aku mengikuti Justin menuju tepat parkir. Hell, sebaiknya tak usah kuingat lagi ucapan gadis sinting itu.     Aku tidak konsen pada materi yang diajarkan Justin saat ini. Pikiranku melayang pada satu hal. Tentang nama Rebecca Black yang sering didengungkan di pikiran Justin dan berhasil kudengar sewaktu terjadi kontak fisik di antara kami malam kemarin. Siapa itu Rebecca Black? Meskipun aku tak ingin peduli, tapi itu cukup membuatku penasaran. “Kenapa kau memandangiku seperti itu?” tanyanya tiba-tiba membuyarkan lamunanku. “Aku teringat sesuatu.” Sepertinya kalau kuungkit lagi nama gadis itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin Rebecca Black nama adik atau kakaknya? Mungkin saja. “Siapa Rebecca Black yang pernah kaupikirkan waktu itu?” Seolah ucapanku dianggap sebagai lelucon t***l, Justin tertawa pelan. “Kenapa kau mendadak bertanya seperti itu?” “Penasaran. Boleh, kan?” Aku kira Justin tidak mau memberitahu siapa Rebecca Black yang dipikirkannya. Dia meletakkan pensil di atas bukuku dan membalas pandanganku. “Rebecca adalah mantan pacarku.” Nah, dugaanku benar. Tampaknya dia masih menyukai, eh mencintai gadis itu sampai sekarang. Buktinya, dia memikirkan nama gadis itu berkali-kali. Ah, kenapa aku jadi ingin tahu seperti ini sih? “Sampai sekarang kau memikirkannya. Itu artinya kau masih mencintainya?” “Mencintainya?” ulang Justin terdengar tidak suka—lebih mendekati jijik. “Tidak. Dia jalang rendahan yang hanya memanfaatkanku. Aku memikirkannya karena rasa benciku tidak bisa hilang. Kau tahu? Kalau aku membenci seseorang, rasa benci itu bisa membekas selamanya.” Mengerikan sekali. Bagaimana bisa dia hidup dalam rasa kebenciannya pada orang lain? Kurasa Justin memang sedikit… well, sinting. Selain arogan, kurang ajar, menyebalkan, dan dingin, dia bisa tahan membenci orang seperti itu. Sampai mendarah daging. “Pertanyaan selanjutnya,” ujarku yang membuat Justin mengalihkan perhatiannya lagi ke arahku. “Apa kau suka gonta-ganti cewek?” Dahi Justin berkerut heran. Lagi-lagi aku merasa pertanyaan itu begitu tololnya keluar dari mulutku sampai-sampai Justin terbahak. Aku tidak suka responnya seperti itu. Terkesan kalau dia mempermalukanku di depan umum. “Ya ampun, kenapa kau mendadak bertanya seperti itu?” Justin menarik napas dalam-dalam. “Apa karena kejadian di depan loker itu?” Aku mencebikkan bibir. “Gadis yang kaucium kemarin, dia menghampiriku dan menyuruhku menghindarimu—” “Oh, jadi Wendy mengatakannya padamu?” Ekspresi Justin berubah saat itu juga. “Jangan dengarkan dia. Semua omongannya sampah.” “Kalau omongannya sampah, kenapa kau mendekatinya?” “Hanya sedikit rayuan agar dia mau memberitahuku siapa orang yang mengadu pada Dewan Murid tentang perkelahianku Minggu lalu. Well, dia terlalu mendramatisir keadaan.” “Kau memang bajingan.” Aku memutar bola mata jengah. “Lagipula,” dia melanjutkan lagi dengan nada yang terdengar malas tanpa memedulikan ejekanku. “Kau bukan tipeku.” Kuakui sendiri, dan aku pun tahu diri, kalau aku memang bukan tipenya. Aku bodoh di bidang Matematika. Aku mungkin tidak secantik gadis-gadis yang pernah dikencaninya. Atau mungkin aku tidak memiliki kelebihan fisik seperti kebanyakan gadis di SMU Robert F. Kennedy. Aku mendesah pelan mendengar ucapannya.     Kami berdiaman satu sama lain di dalam mobil sambil mendengarkan radio yang berulang kali diganti saluran oleh Justin. Aku memandang jalanan lurus yang tampak sepi di sore seperti ini. Kanan-kiriku berupa pohon yang berdahan besar dan tumbuh rindang. Tingginya juga bisa dikatakan hampir sama dengan tiang listrik. Soal keanehanku yang bisa membaca pikiran orang dan mengetahui sesuatu akan terjadi, sampai sekarang masih membuatku penasaran. Bagaimana mungkin sesuatu yang kuanggap tidak masuk akal bisa terjadi padaku? Apakah ini semacam disease yang ada pada diriku? Jangan-jangan aku terkena schizopherenia sehingga tidak bisa membedakan yang mana alam nyata dan yang mana alam imajinasi. Justin masih sibuk mengganti-ganti saluran. Aku khawatir dia menabrak sesuatu kalau tidak konsentrasi menyetir. Kali ini lagu yang terputar adalah lagu yang tidak kusuka. Sehingga dengan cepat kuganti saluran pada radio itu. Lagi-lagi Justin mengusikku dengan mengganti lagi saluran. Aku menyingkirkan tangannya hendak mengganti saluran lagi. Akan tetapi, kejadian yang sama seperti saat Terry tertabrak terulang untuk yang kedua kali. Aku mendapatkan penglihatan lagi ketika menyentuh tangan Justin. Ada sebuah truk besar yang melintas di depan mobil ini dan menabrak mobilnya. Keringat dingin membasahi tubuhku setelah tersadar dan Justin menarik tangannya. Dipandangnya aku aneh, seolah aku baru saja terkena goncangan serius. Aku masih menatap lurus ke depan, namun tak ada apapun kecuali jalanan sepi. “Kenapa kau?” tanya Justin bingung. Aku tidak membalas pertanyaannya. Semoga apa yang kulhat tadi sebagian dari delusiku. Aku harap kami baik-baik saja di dalam mobil ini. Tanganku bahkan gemetaran mengingat-ingat kejadian yang menimpa Terry. Terdengar bunyi ponsel Justin yang berdering. Aku menoleh ke arahnya dan dia sibuk hendak mengangkat telepon. Namun saking cerobohnya, Justin menjatuhkan ponsel itu. Dia menunduk sebentar untuk mencari keberadaan ponselnya. “Jangan mempertaruhkan nyawaku!” seruku. “Apa?” Justin kembali mengemudi dengan ponsel yang berhasil digenggamnya. “Kau sedang demam?” “Justin, watch out!” teriakku. Justin menjatuhkan ponselnya dan sadar bahwa truk besar di hadapan kami sudah tinggal beberapa senti siap menabrak. “Oh shit.” Aku sudah bersiap untuk kemungkinan terburuknya. Mungkin yang kulakukan hanyalah pasrah dan menerima apapun yang terjadi. Truk itu sudah menekan klakson berulang kali, namun rasanya terlambat karena mobil ini semakin dekat dan aku tak bisa merasakan aliran darahku ketika dipompa oleh jantung. Aku menggigit bibir hendak berteriak. Dalam sekejap mata, mobil Justin muncul melewati truk itu. Seperti menembus. Apa aku salah lihat? Mobil Justin menembus… truk itu? Mataku terbelalak menyadari bahwa kami tidak menabrak truk tadi, justru kecepatan mobil Justin semakin bertambah. Aku ternganga tidak percaya, lantas menoleh ke belakang dan mendengar suara tabrakan. Truk itu seolah kehilangan kendali hingga menyebabkannya menabrak sebatang pohon. Mustahil mobil ini selamat dari tabrakan itu. Cepat-cepat aku menoleh ke arah Justin yang terdiam mematung. Aku sangat yakin mobil ini menembus truk itu. Tapi, bagaimana mungkin?! “Apa yang kaulakukan?” desahku masih dalam keadaan syok. Dibalasnya tatapanku saat itu juga, namun dia tak mengatakan sepatah kata pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN