Teriakannya membangunkan seisi panti. Aku yang terduduk di lantai pun terkejut. Siapa? Yang membunuh siapa? Pikiranku kalang kabut. Orang-orang mulai berdatangan ke arah sumber suara dan tentunya masuk ke ruangan Bapak.
"Tidaaak! Bapak apa yang terjadi?" teriak wanita berjalan melewati tanpa memperdulikan aku yang masih duduk dilantai. Wanita itu menepuk-nepuk wajah yang terbaring di sofa. Tidak ada respon sama sekali, tubuhnya benar-benar terbujur kaku. Dan kini tubuhnya sudah menjadi mayat.
Ya Tuhan kenapa ini? Wanita itu menangis sejadi-jadinya.
"Bapaaak, bangun pak. Apa yang kau lakukan?" Dia bertanya padaku. Seolah aku lah pelakunya. "Siapa kau?" masih dengan nada berteriak.
Aku mulai berani bicara "Aku? Yang aku lakukan hanyalah membuka pintu dan--" ucapanku tergantung, "Dan--"
"Dan kau membunuhnya," ucapanku terpotong oleh wanita lain yang baru masuk dan berdiri dihadapanku. "Siapa kamu? Dan apa hubunganmu dengan beliau? Itu." Dia menunjuk ke arah tanganku yang memegang sesuatu. Sejak kapan aku memegangnya? Dan apa ini? Aku sungguh tidak tahu.
"Apa ini?" dengan cepat aku membuangnya. Ternyata obat yang aku pegang adalah racun serangga.
"Jelas itu obat yang kamu pegang untuk membunuh Bapak? Teriaknya wanita yang berdiri tadi.
"Rama, apa yang terjadi?" semua orang melirik ke sumber suara.
"Bunda," untunglah Bunda datang, aku segera memeluknya mencari perlindungan. Seketika Bunda melepas pelukanku.
"Ra-rama, ini ba-bapak kenapa? Apa yang terjadi?" Bunda berlari ke arah Bapak dan melihat keadaannya, ia histeris perlahan langkah nya mundur dengan tangan menutup mulut dan mata yang sudah berair.
"Bukan aku Bunda, aku baru datang dan--"
"Dan dia membunuhnya." Potong wanita yang menangis di hadapannya. "Kamu kenal orang ini?" Dia menunjuk padaku.
"Dia Rama, anak asuh Bapak yang dulu pergi ke Jakarta." Bunda menjelaskan dengan suara lirih.
"Bunda percaya padaku, bukan aku." Air mataku tanpa bisa ku tahan lagi, menetes semakin banyak. Ya tuhan kenapa ini? Bunda hanya diam memandang Bapak dan memandangku bergantian. Aku melihat sudut matanya dalam. Mata kami saling bertemu dan Bund hanya diam tanpa bisa berkata apa-apa. Aku yakin Bunda percaya padaku.
"Telepon polisi sekarang, biar polisi yang mengurus semuanya. Tahan lelaki ini jangan sampai kabur." ucap wanita berdiri dengan mata tajam nya seperti membenciku.
Ada bapak penjaga kebun dan kebersihan disana langsung memegang tubuhku.
"Siapa yang berteriak tadi?" ucapku tiba-tiba lantang mencari kebenaran.
"A-aku." seseorang muncul di belakang kerumunan. Kulihat dia masih muda dari wanita-wanita tadi yang menuduhku.
"Apa kau lihat aku membunuhnya?" ucapku tegas melihat sorot matanya.
"Tidak, tapi aku lihat kamu masuk ke ruangan Bapak, dan aku mengikutimu. Dari kejauhan aku lihat kamu duduk dilantai dan bapak juga sedang terbaring di sofa tapi dengan mulut yang-- ya-yang." ucapannya mulai terbata. "Aku tidak sanggup mengatakannya hiks hiks. Kau pembunuhnya, kau memberi obat itu."
"Ini bukan punyaku." sela ku ditengah-tengah perkataannya.
"Kenyataannya itu ada ditanganmu, jangan mengelak Rama?" ucap si penjaga kebun.
Seseorang yang sudah memanggil polisi kembali keruangan tempat kami berada. "Biar polisi yang menangani, sebentar lagi akan kesini." ucap bapak yang lain.
"Padahal kamu anak yang paling di sayangi Bapak, kenapa kamu lakukan ini Rama?" ucap bu Dewi yang menangis tadi.
"Sungguh bu, pak, Bunda, aku tidak melakukan apa-apa. Aku masuk dan Bapak sudah seperti ini. Kumohon jangan asal menuduhku." tanganku masih dipegang erat oleh kedua bapak itu. "Untuk apa aku melakukannya. Aku sayang sama Bapak. Kalian percaya lah sama aku." Sungguh aku tidak kuat dituduh seperti ini. Aku datang di waktu yang salah. Harusnya aku tidak kesini hari ini. Tuhan, apa yang kau rencanakan. Bunda hanya diam menangisi Bapak yang semakin pucat.
Semua tuduhan yang ditujukan padaku, benar-benar tak ku hiraukan. Aku hanya diam menunduk walau ucapan-ucapannya masih menusuk telingaku. Ku pejamkan mata, mencoba menguatkan diri sendiri. Memahami situasi yang terjadi begitu cepat.
Sekarang aku dikelilingi oleh para wanita yang tadi, mereka adalah pekerja disini sama seperti Bunda. Bisa dibilang perawat anak-anak panti. Dan bapak-bapak yang tadi memegang tanganku, aku tidak mengenal mereka. Mungkin pekerja baru. Anak-anak panti yang tadinya ikut bangun penasaran ingin melihat namun sudah kembali ke kamar masing-masing.
"Polisi sudah datang!" seru wanita paruh baya. "Ini pak pembunuhnya, penjarakan saja seumur hidup." ucapnya dengan penuh nafsu. Ya, nafsu membenciku.
"Tenang bu, serahkan pada kami. Kami akan membawa nya ke kantor untuk meminta keterangannya. Jangan asal menuduh dulu." Dua orang polisi mengangkat ku berdiri dan memakaikan borgol ditanganku.
"Sudah jelas buktinya. Diantara kami, hanya dia yang masuk dan tadi aku melihat dia memegang obat itu." menunjuk ke arah botol yang tergeletak di samping sofa.
"Bawa sebagai alat bukti." ucap pak polisi kepada sesama rekannya. "Baik, kami akan menindak lanjuti. Sementara anda kami tahan dulu." Aku pasrah dibawa, daripada harus berada disini mendengar semua tuduhan yang tidak masuk akal.
Semuanya keluar mengikuti ku, sebentar aku melihat ke arah Bapak. "Tenanglah dengan damai di Surga dan maaf aku tidak bisa melindungi Bapak, kenapa bisa seperti ini pak." gumamku dalam hati.
Siapa yang berani melakukan ini sama Bapak? Dan kenapa aku yang jadi tersangkanya? Apa motif dari semua ini? Aku akan membuktikan siapa yang telah membunuh Bapak dan aku akan membersihkan nama baikku.
Aku berjalan keluar, kulihat banyak mata yang membenciku. Biarlah untuk sementara mereka membenciku. Aku mengerti, jika aku berada diposisi mereka aku pun akan marah.
Cacian, makian, hujatan, dan hinaan begitu membuat gatal telingaku. Pikiranku sudah kacau, percuma aku menjelaskan kalau pikiran mereka masih dilanda emosi. Ingin rasanya aku berteriak. Menumpahkan apa yang aku bisa keluarkan.
Sekali lagi Bunda menatapku dengan lembut. Benar, bunda percaya padaku. Aku tersenyum kecil ke arah Bunda. Hanya beliau yang benar-benar mendukungku dan percaya padaku. Tinggal aku yang harus membuktikannya.
Ku masuki mobil polisi. Aku tersenyum getir, lagi-lagi memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh tidak masuk diakal. Apakah Tuhan sedang mengujiku? Apakah aku pernah berbuat salah hingga harus menerima ujian seberat ini? Untuk apa aku menerima jabatan tertinggi jika balasannya harus mengalami ini? Tuduhan yang keji. Kalau memang seperti itu, aku lebih baik menjadi bawahan seumur hidup dan bahagia, daripada mendapat posisi tertinggi tapi harus menderita.
Aku hanya datang membawa kabar gembira, malah pulang dengan kabar yang menyedihkan. Sungguh menyedihkannya hidupku.
"Aku tidak bersalah pak, bukan aku," mencoba membela diri atas apa yang tidak aku lakukan.
"Jelaskan saja nanti di kantor, anda berhak untuk diam." pak polisi seperti acuh tidak peduli. Ku tutup mata dengan kedua tanganku. Aku berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Benar-benar mimpi, dan aku akan terbangun di esokan hari dengan wajah bahagia, dan dengan jabatan baruku Presdir Rama. Galireyndra.