6-Bab 6

1350 Kata
Selembar foto berisikan dua lelaki muda dengan satu wanita muda tak pernah henti Ambar perhatikan. Entah apa hubungan ketiga orang ini. Dia membalik foto tersebut yang juga tak ada petunjuk sama sekali. Foto lama yang sangat usang, tetapi masih sangat jelas siapa sosok yang ada dalam foto tersebut. Entah kenapa dia jadi memikirkan keanehan yang ada pada kamar ayahnya. Tidak ada buku nikah antara Almarhum ibu tirinya dengan sang ayah. Hanya saja kamar ayahnya kenapa begitu misterius. Seperti ada hal yang disembunyikan. Ambar mengacak rambutnya dengan kasar. Untung dia berada di dalam kamarnya. Dia juga harus datang ke restoran, mengecek para karyawannya saat bekerja. Termasuk kebutuhan dapur apakah masih ada atau tidak. Dia harus tetap turun tangan. Suara ketukan pintu terdengar di telinganya. Ambar berdiri dengan malas. Dia hanya membukanya sedikit tanpa menatap siapa seseorang di balik pintu itu. "Kakak boleh masuk?" tanya Arda dengan sopan. Ambar makin kagum saja sama sosok kakak iparnya ini. Beruntung sekali Bang Galih memiliki istri secantik dan sebaik Arda. "Ambar, ayok temanin kakak shopping!" ajak Arda sambil menatap penampilan Ambar yang tumbennya tidak rapi. "Males, Kak," jawab Ambar dengan cuek. Arda menghela nafas panjang. Meluluhkan hati Ambar yang sekarang terasa sulit dibanding Ambar yang dulu. Kini kata ramah pun tak lagi tersemat, cuek yang ada. Senyumpun jarang tampak di wajahnya. Kapan semua ini akan kembali seperti semula? "Abangmu yang minta. Katanya ajak kamu shopping, kamu boss in abangmu itu lho. Terserah mau beli baju apa," bujuk Arda. "Buat acara nanti malam?" Arda mengangguk dengan semangat. "Enggak perlu deh, baju di almari udah banyak," jawab Ambar sambil mengedikkan bahu. "Ya udah temenin kakak saja!" "Ambar lagi males ke luar. Kakak sendirian saja ya!" Ambar justru merebahkan tubuhnya di kasur. Arda memicingkan mata saat melihat selembar foto di kasur Ambar. Dia hendak mengambilnya, tetapi kalah cepat oleh Ambar. "Foto siapa itu?" "Bukan foto siapa-siapa," elak Ambar. "Kamu masih menyimpan foto mantan calon suami kamu itu?" "Enggak." Arda menggelengkan kepala tak percaya. Dia menerka-nerka siapa yang ada dalam foto tersebut. Fotonya seperti foto lama, warnanya tidak sebagus foto zaman sekarang. Jika foto mantan calon suami Ambar sepertinya tidak. Adik iparnya itu sudah membakar fotonya dua tahun lalu. Segala pemberian dari mantan calon suaminya pun juga ikut dibakar. Rasanya tak mungkin foto itu adalah foto mantan calon suami Ambar. Entah foto siapa di sana? Ambar seperti sengaja menyembunyikannya darinya. Ambar begitu gugup saat Arda hampir saja mengambil foto tersebut. Dia terlalu gegabah karena sibuk dengan pemikirannya sendiri sampai tak sempat menyembunyikan foto tersebut. Kali ini dia aman, entah kapan lagi keamanannya akan terbongkar. Sepertinya dia harus menyembunyikannya di tempat yang tidak mudah dijangkau orang. "Ya sudah. Ambar masa lalu mungkin berat bagimu, tetapi hidup tetap di masa sekarang. Mau bagaimana lagi, kita tak bisa merubahnya. Kakak harap kamu bisa membuka hatimu lagi untuk lelaki lain. Tidak semua lelaki sama seperti dia. Hanya saja mungkin kamu belum menemukannya atau justru kamu menutup hatimu untuk semua lelaki. Maaf, kakak bicara begini bukan bermaksud menyinggung masa lalu. Kakak hanya ingin kamu percaya bahwa tidak semua sama seperti apa yang kamu pikirkan. Hanya karena luka satu lelaki, kamu berpikiran semua lelaki sama sepertinya. Ayah, Abangmu dia tak seperti itu bukan?" Arda mengatakan semua yang ada dalam pemikirannya. Siapa tahu Ambar benar-benar membuka hatinya kepada lelaki lain. Dia tak mau jika sampai Ambar memiliki trauma hebat karena di masa lalu. "Iya, ya udah kakak shopping sana!" usir Ambar. "Kamu beneran gak mau nemenin kakak? Kakak beliin baju juga lho," ujar Arda sekali lagi. Dia tak mungkin memaksa Ambar lagi jika jawabannya tetap sama. Ambar menggelengkan kepala. Arda mengangguk. "Ya udah, kalau mau titip sesuatu tinggal kirim pesan saja!" "Iya, Kak." Arda lalu ke luar dari kamar Ambar. Dia menghela nafas lelah. Susah sekali membujuk Ambar. Ah, nanti malam dia akan menghiasi wajah Ambar supaya terlihat makin cantik. Siapa tahu memang bertemu jodohnya di sana. Ambar menghela nafas panjang saat pintu sudah tertutup. Dia masih memikirkan perkataan Arda. Semenjak saat itu, jujur saja dia tak percaya pada lelaki manapun. Dia menutup rapat hatinya supaya tak jatuh hati pada siapapun. Hingga akhirnya saat beberapa lelaki mencoba mendekatinya, dia pun tetap cuek dan tidak memiliki perasaan apapun. Walaupun sikapnya romantis, justru dia malah merasa ilfeel. Ya, separah itu memang karena kejadian di masa lalu. Baginya memperlebar bisnisnya sekarang itulah yang harus dia lakukan. Menjadi wanita karir adalah pilihannya untuk saat ini dan mungkin sampai nanti. Dia menatap kembali selembar foto tersebut, lalu dia sembunyikan diantara tumpukan buku yang dia letakkan di laci. Siapa yang akan berani memasuki kamarnya. Walaupun keluarga, ayah selalu menerapkan sikap sopan dan santun. Hendak masuk ke dalam kamar saudaranya tetap mengetuk pintu. Kecuali jika ada hal yang sangat mendesak. Bagaimana dia mencari tahu jika hanya ada foto saja. Dia pun tak tahu siapa lelaki yang ada di foto tersebut. Sepertinya dia memang harus masuk kerja lagi. Dia akan menemui wanita paruh baya itu dan berbicara empat mata. Dengan begitu dia akan menemukan setitik kebenaran. Walau rasanya tak mungkin wanita paruh baya itu adalah ibunya. Namun, melihat foto ini sungguh membuat rasa penasarannya timbul begitu saja. Dia juga bisa bertanya secara langsung bagaimana ibu kandungnya, siapa tahu wanita paruh baya itu adalah teman ibu kandungnya. Namun, mengaku-ngaku sebagai ibu kandungnya. ******* Arda merapikan penampilannya yang tampak memukau malam ini. Dia sedang memvidio call suaminya yang sedang berada di luar kota karena urusan pekerjaan. "Cantik!" Arda tersipu malu mendengarnya. "Tidak terlalu menor 'kan?" Diseberang sana Galih menggelengkan kepala. "Kamu perlu mengurangi make upmu itu. Aku tak suka banyak lelaki memandangmu nanti. Ah, dimana Ambar?" Kedua pipi Arda yang merah pun semakin memerah. "Dia lagi di kamarnya. Ini mau kuhiasi wajahnya." "Mana mau dia," ujar Galih lalu meminum segelas kopi. "Kamu jaga kesehatan dong Mas kalau aku gak ada didekatmu. Jangan sering minum kopi." "Iya, Sayang. Teman ayah masih di situ? Aku tak sempat pamit." Arda mengangguk. "Ya udah, aku tutup dulu telfonnya. Kamu makan yang teratur ya." Galih tersenyum manis. Tak lama sambungan vidio tertutup. Arda memasukkan ponselnya ke slingbag. Dia berjalan ke kamar Ambar dengan langkah pelan. Wedges dengan tinggi 5 cm mampu membuatnya tampak lebih tinggi. "Wah, mau kemana itu menantumu?" "Heh, tuh mata gak bisa diem dikit?" Ayah berkata sambil menutup mata temannya itu. Arda memilih mempercepat langkahnya menuju kamar Ambar. Dia langsung nyelonong masuk saat sampai di kamar Ambar. Untungnya adik iparnya itu sudah rapi. "Kau tak pakai make up?" tanya Arda. Ambar menggelengkan kepala. Dia memakai high heelsnya yang tingginya 7 cm. Sungguh Ambar tampak begitu cantik. Semua lelaki pasti tak pernah lepas memandangnya. "Sini biar kakak make up in." Arda meletakkan slingbagnya ke kasur. Ambar menggelengkan kepala. Dia menolak. "Pasti kamu tambah cantik lho," ujar Arda. "Begini saja udah." Arda tak bisa memaksa jika Ambar tak mau. Daripada nanti Ambar membencinya dan tak mau dia ajak kemanapun lagi. Tanpa make up pun Ambar sudah cantik.  Keduanya pun berjalan ke luar kamar menuju ruang tamu untuk berpamitan dengan ayah. Ditatap oleh teman ayah mereka membuat Ambar menahan jengkel. "Ayah, baik-baik saja ya di rumah. Arda sama Ambar mau ke acara teman Arda," ujar Arda mewakilkan. Ambar hanya diam dengan wajah datar. Ayah mengangguk. "Kamu jaga adikmu dengan baik, ya!" Arda mengangguk kemudian mengucapkan salam. Ambar memilih ke luar rumah lebih dulu tanpa mengucapkan salam. Melihat sikap Ambar membuat ayah hanya bisa menghela nafas lelah. Entah sampai kapan putri manisnya kembali ceria seperti dulu? "Dia sampai kapan di sini?" "Ha? Siapa?" tanya Arda saat hendak mamasuki mobil. "Teman ayah," jawab Ambar singkat lalu masuk ke dalam mobil. Dia memilih duduk di belakang. Membiarkan Arda duduk di depan. "Kakak tidak tahu, memangnya kenapa?" Ambar menggelengkan kepala tanpa menjawab dengan perkataan. Dia tak mungkin mengatakan alasannya. Baginya pria paruh baya itu kurang sopan. Matanya jelalatan seperti tak pernah melihat wanita cantik saja. Menatapnya begitu terpukau. Kenapa pula ayah membawanya menginap di rumah? Membuatnya merasa tak nyaman saja. Sepertinya dia harus menginap di tempat lain sambil memikirkan rencana selanjutnya untuk memecahkan kemisteriusan ini. Tak apa berjalan sendiri. Dia pasti bisa memecahkannya dengan mudah. Baginya rasa penasaran ini wajib untuk dituntaskan, bukan untuk dibiarkan. Hidup memang teka-teki, namun dia tak menyangka dia akan mengalaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN