3-Bab 3

1004 Kata
"Ambar!" "Ambar!" "AMBAR!" Suara seseorang yang memanggilnya namun lebih seperti meneriakinya. Dia menatap tajam pada pemilik suara nyaring itu. "Kenapa? Dari tadi lho mbak panggil kamu tidak nyahut-nyahut," gerutunya sambil meletakkan semangkok es buah di meja. Ambar memutar bola mata malas. Kakak iparnya itu selalu mengusik dirinya. Dia tahu suasana rumah yang sepi tentu membuat Arda merasa jenuh. "Aku tuh libur sehari kerja supaya bisa refreshing Mbak, ini malah Mbak gangguin aku," tutur Ambar tajam. Namun, bukannya tersinggung Arda justru terkekeh pelan. Ambar menggelengkan kepala pelan. Merasa heran akan tingkah Arda. Sudah dua tahun hidupnya begini-begini saja. Ramai tetapi terasa sendiri. Bersama tetapi terasa sendiri. Hatinya sudah terasa mati karena kejadian di masa lalu. Tak ada niatan juga untuk menjalin hubungan dengan para lelaki. Walaupun banyak yang mengajaknya untuk menjalin suatu hubungan bahkan ada yang terang-terangan menggodanya. Akan tetapi, dia memilih menyendiri dan menolak mereka. Baginya, terjun dalam dunia bisnis lebih penting sekarang. "Ambar, Mbak punya temen lelaki tampan lho." "Udah, gak usah diterusin Mbak." Ambar berdecak kesal. Dia tahu ujung-ujungnya pasti akan dikenalkan kepadanya. Dia muak dengan bualan para lelaki yang justru membuatnya ingin muntah. Bukan merona malu. "Dia tampan lho, suka bisnis kuliner, pintar juga. Yang pasti mapan," ucap Arda mempromosikan temannya itu. "Percuma semua itu, Mbak. Kalau tidak memiliki hati." "Loh, ya jelas memiliki hati toh." Arda mendengkus. "Mbak Arda, percuma kalau tidak memiliki hati yang tulus. Kesetiaan tidak ada, suka mempermainkan orang lain. Buat apa tampan, dan kaya. Semua itu tidak akan ternilai jika tidak memiliki hati yang tulus." Ambar melirik Arda yang terdiam. Dia memilih meraih mangkok es buah lalu memakannya. Lima menit dalam diam, entah apa yang dipikirkan oleh Arda. Hingga terdengar suara motor memasuki halaman rumah. Ambar yakin bahwa itu ayahnya dengan temannya. "Rumahmu kok sepi gini, Satrio? Anak-anakmu ke mana?" "Ya biasalah kerja." "Cari duit mulu. Bukannya anakmu ada yang udah kawin?" "Udah." "Eh, tuh siapa yang duduk," ujar pria paruh baya dengan rambut gondrong. Ambar yang melihatnya merasa kikuk. Rambut putih gondrong, bisa dibayangkan sendiri bagaimana. Belum lagi baju hitam, celana hitam. "Itulah anak sama menantuku." "Cantik-cantik. Pintar kau buat anak." "Lambemu." Ambar dan Arda duduk dengan sopan. Ayah mempersilahkan tamunya untuk duduk. Arda dengan segera ke dapur mengambil hidangan untuk tamu. Pria paruh baya yang tak diketahui namanya itu menatap Ambar dengan tatapan menyelidik hingga Ambar merasa takut melihatnya. "Ambar, tumben udah pulang?" tanya Ayah dengan heran. "Libur, Yah," jawab Ambar. Ayah mengangguk lalu menatap temannya. "Ini lho, anakku namanya Ambar. Sukanya bisnis kuliner." "Heh, calon mantu idaman ini," tutur teman Ayah dengan senyuman mengembang. Ambar hendak berdiri, namun Ayahnya mencegah. Dengan malas dia menuruti. Tak lama Arda masuk sambil membawa setoples kripik pisang dan dua kopi. "Repot kali kau, Nak. Dia menantumu?" Ayah mengangguk. Arda memutuskan untuk ikut bergabung. Duduk bersama Ambar yang tampak bosan. "Istrinya anak lelakimu itu 'kan?" "Iya, anak pertamaku itu." "Anakmu pintar kali cari istri," ujar pria paruh baya itu sambil tertawa. Tangannya menepuk paha Ayah. "Ya iyalah, turunan siapa pula," jawab Ayah dengan percaya diri. Arda terkekeh pelan melihatnya. Sedangkan, Ambar memilih memainkan kukunya. "Mana anaknya?" Pertanyaan itu cukup membuat Arda terdiam kaku. Dia selalu menghindari pertanyaan itu, tetapi kini dia mendapatkannya lagi. Para saudara bahkan tetangga selalu mempertanyakannya. Tak cukup rasanya membuatnya depresi. "Do'akan saja," jawab Ayah dengan senyuman tipis. Pria paruh baya itu mengangguk mengerti. "Ya, semoga cepat dikasih momongan. Kasihan ayahmu itu sudah tua. Anaknya sudah nikah, sibuk bekerja sama berumah tangga. Yang bungsu pasti bentar lagi mau nikah juga itu." Arda mengangguk saja menanggapinya. Hatinya berontak menginginkan seorang anak. Namun, apa daya. Dia belum dikasih sampai saat ini. Tetapi, dia tak henti untuk terus berusaha dan berdo'a berharap segera ada tangisan bayi di rumah ini. Ambar menatap raut wajah Arda yang tampak suram. Kesedihan begitu tampak di kedua matanya. Dia menghela nafas pelan. Manusia hanya berusaha, selebihnya sabar dan ikhlas yang harus dilakukan. Baginya betulah sebuah kata bahwa posisikan diri di tempat yang tepat termasuk berbicara disaring lebih dulu. Karena terkadang perkataan itu dapat menyakiti lawan bicaranya. Entah akibatnya nanti sebuah pertengkaran atau lebih parahnya sampai tinggal nama. Hal itu yang sering terjadi karena terlalu mengagungkan nafsu dibanding akal. Mulut mungkin bisa ceplas-ceplos, tetapi bisa dinetralisir dengan sering mengucap istighfar dan membiasakan berkata yang baik. Maka, akal yang akan mendominasi bukan nafsu. Jika nafsu yang berbicara maka kehancuran sudah di depan mata. "Ayah, Ambar mau ke kamar dulu." Ambar berdiri dan menatap teman Ayahnya itu dengan mengangguk sopan. Diikuti Arda dibelakangnya. Ambar memutuskan untuk mengunci pintu kamarnya dari dalam. Merebahkan tubuh di kasur sambil mengingat kejadian kemarin. Dia sengaja libur hari ini. Pikirannya kalut. Belum lagi perkataan wanita paruh baya itu terngiang-ngiang di pikirannya. Dia tak akan sekhawatir ini jika dia tak mendengar bisikan para karyawannya di mana mereka mengatakan bahwa dirinya sekilas mirip dengan wanita paruh baya itu. Dia memang tak tahu foto ibu kandungnya, tetapi dia tahu letak makam ibu kandungnya. Dia mengacak rambutnya setelah melepas jilbab. Entah apa yang akan dia lakukan. Tadi dia juga mendapat kabar bahwa wanita paruh baya itu juga datang ke restorannya kembali. Namun, satpam mengusirnya karena mengganggu ketenangan restoran. Belum lagi pembeli yang ramai, waspada jika nantinya menjadi viral. Ibu kandungnya meninggal setelah melahirkannya. Mungkin dia bisa meminta foto sama Abangnya. Jika meminta kepada Ayah jelas tak akan dikasih karena tak memiliki foto sebagai kenang-kenangan. Ayah selalu mengatakan itu seakan ingin menghapus jejak wanita yang telah melahirkan anak-anaknya itu. Akan tetapi, di era yang sudah modern ini mana mungkin ada orang yang tak memiliki foto. Setidaknya satu atau dua foto sebagai dokumen pribadi. Bahkan, untuk melamar kerja saja membutuhkan foto. Apalagi saat mau menikah juga ada foto untuk buku nikah. Kenapa dia baru sadar, pasti ada hal yang disembunyikan oleh Ayahnya. Tetapi, untuk kasus wanita paruh baya itu dia yakin pasti wanita itu sedang depresi karena ditinggal anaknya. Huh, semua bagi Ambar begitu melelahkan. Dia sudah lama berkecimpung dan mengasyikkan diri pada bisnis kuliner. Hanya kerja, kerja, uang, uang yang selalu dipikirkannya. Kini, dia harus menghadapi masalah yang begitu membuatnya penasaran akan sosok ibu kandungnya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN