Lanna
Aku kembali dengan wajah pucat. Bosku menghamili wanita bernama Anita. Kalau bosku pria b******k dia bisa saja nanti akan mendekati aku, kalau aku menolak dia akan memberikan minuman yang diisi dengan obat tidur atau obat... aku harus mengatakan soal ini pada Kirana. Dia harus tahu kalau bosnya menghamili seorang wanita muda.
“Dia udah pergi?” tanyanya.
“Udah.”
“Bagus.” David bangkit, mengambil jasnya lalu hendak meninggalkan ruanganku.
“Dia bilang dia hamil tiga minggu.” Aku berkata dengan tatapan memelas seakan aku berada di posisi Anita. Tapi sepertinya wanita seperti Anita tidak perlu dikasihani.
David menghela napas berat. “Aku heran kenapa wanita jaman sekarang suka mengaku-ngaku.”
“Maksudnya?” dahiku mengerut.
“Wanita jaman sekarang itu ganas-ganas. Tahu maksud aku?”
Aku menggeleng semakin tidak mengerti.
“Jadi, dia berpura-pura hamil untuk menarik perhatianku. Dia mengejar-ngejarku terus menerus. Dia nyaris memperkosa aku.”
“Hah?!” aku mengatakan ‘hah’ dengan nyaring.
“Kamu nggak percaya?” dia bertanya setelah menatapku lama. Ya, aku kurang percaya pada ucapannya. Mana ada wanita mau memperkosa pria, bukannya yang ada pria ingin memperkosa wanita. Aneh! Si Anita ini lumayan cantik. Masa sih digoda wanita semenarik Anita pria menolak.
“Yaudah, aku juga nggak butuh kepercayaan kamu.” David keluar dari ruanganku seakan lelah menjelaskan sesuatu yang mungkin hanya kebohongannya dia. Dan seharusnya aku tidak terlalu memikirkan soal Anita yang hamil. Toh, wanita itu saja seperti tidak peduli. Bahkan dia wajahnya tidak sedih sama sekali.
“Kamu boleh istirahat sekarang.” David berbalik. “Tiga puluh menit.” Katanya seraya mengangkat tangan dan menggunakan jarinya membentuk angka 3 dan 0.
Aku mengangguk.
***
“Serius deh, Kir. Cewek itu bilang dia hamil tiga minggu. Buah cintanya dengan David.” Dengan sebelah tangan menggenggam cup ice cream kantin, aku bercerita pada Kirana yang sedang asyik dengan laptopnya.
“Nggak heran.”
“Nggak heran? Maksudnya David udah biasa menghamili cewek gitu?” aku memiringkan kepala agar fokus pada penjelasan Kirana.
“Hahaha, nggak heran banyak cewek yang ngaku-ngaku dihamili David. Padahal ditiduri aja nggak.”
“Kok kamu tahu?” aku menatapnya curiga. Jangan-jangan David dan Kirana pernah kencan, saling suka atau apalah.
“Ya, selera David nggak sembaranganlah. Dia ganteng, tajir dan hot. Jadi, ya, pasti dia pilih-pilih kalau mau nidurin cewek.”
Aku menelan ludah mendengar cerita vulgar dari Kirana. Memilih kembali melahap ice cream adalah cara terbaik menghilangkan pikiran negatif. Ya, secara fisik memang David nyaris sempurna dan nggak ada celah. Dia memang menggiurkan tapi apa sampai harus merendahkan diri seperti itu hanya untuk menarik perhatian David? Apa jaman sekarang memang kebanyakan wanita berlomba-lomba untuk mendapatkan pria seperti David?
“Udah nggak usah dipikirin.” Aku menoleh pada Kirana.
“Nanti kalau ada cewek lagi datang terus ngaku dihamilin David lagi, David pasti bakal nyuruh aku buat menghadapi cewek-cewek itu.”
“Ya, itu risiko kerja sebagai sekretaris.” Celetuk Kirana.
“Itu, kan, nggak masuk job desc. Aku nggak mau berurusan sama cewek-cewek begitu.”
“Tapi pekerjaan kamu mengharuskan kamu berurusan dengan cewek-cewek kaya begitu karena bosnya David. Beda kalau bosmu bukan pria muda yang tampan dan kaya.”
“Kirana!” seruku kesal.
“Lanna!” balasnya. Lalu kami terbahak.
“Jadi totalnya ada berapa cewek yang ngaku dihamili David?”
“Emmm,” Kirana memutar bola mata. “Sekitar empat puluhan.”
“Apa?!”
“Hahaha, aku becanda. Risiko punya bos yang tampan bak Arjuna.”
“Eh, tapi sebenarnya David punya cewek nggak?” entah kenapa pertanyaan ini meluncur begitu saja dari kedua daun bibirku.
Kirana diam beberapa saat.
“Ada sih yang katanya cewek pujaan hati David. Tapi nggak tahu itu gosipnya bener enggak.”
“Siapa?” aku bertanya penasaran.
“Seorang desainer muda. Namanya Sarah.”
***
Yang paling diinginkan Lanna dalam hidupnya adalah bekerja dan memiliki karir yang bagus. Di kelas Lanna termasuk mahasiswi yang pintar. Dia belajar empat kali sehari menjelang UTS dan UAS, mengalahkan minum obat. Tidak heran kalau indeks prestasi di atas 3.60. Lanna sebenarnya ingin menjadi seorang editor di perusahaan penerbitan, tapi untuk saat ini pekerjaan apa pun akan dilakoninya yang penting halal. IPK tidak penting kalau kamu tidak punya banyak keahlian. Ya, bahkan dirinya hanya dijadikan suruhan David.
Lanna menyesap teh yang mulai mendingin. Hari ini dia membuat ommelet telur sebagai pasangan nasi. Makanan sederhana karena uangnya mulai menipis. Jakarta benar-benar menguras uangnya, membuat dompetnya kurang gizi. Dia baru seminggu ini bekerja di kantor David, tapi dia sudah mulai merasa bosan. David memerintah seenaknya saja seakan Lanna bukanlah sekretarisnya tapi asisten pribadinya juga. Bahkan David meminta Lanna membersihkan mejanya yang memang sudah rapih. Meja yang sudah rapih perlu dibersihkan lagi? Lalu apa yang harus dibersihkan? Sepanjang membersihkan meja David Lanna terus menerus menggerutu dalam hati.
Otak bosnya juga perlu dibersihkan.
Telpon Lanna berdering tertera nama di layar David.
“Halo, Pak.”
“Lanna kamu cepet datang ke kantor ya. Kakek saya mau datang dari Singapur. Kamu harus ada di kantor lima belas menit lagi. Cepet!”
Tanpa menunggu balasan dari Lanna telepon dimatikan secara sepihak oleh David.
Lanna memberengut kesal. “Dasar bos, seenaknya aja nyuruh-nyuruh.” Akhirnya sebelum menghabiskan teh dan ommeletnya, Lanna menyambar tas cokelat tua buatan lokal dan segera memesan ojek online. Karena kalau dia naik busway ada kemungkinan dia sampai ke kantor sekitar 30 menit lebih. Harus menunggu busnya dan antri pastinya karena saat ini jam kerja.
Lanna sampai di kantor kurang dari lima belas menit. Dia melihat David duduk di ruangannya dengan wajah cemas. Sendirian. Ini pertama kalinya dia melihat David dengan ekspresi secemas itu.
Wajahnya lunak ketika bertatapan dengan Lanna. “Bantu aku, Lann.” Suaranya hangat penuh permohonan.
“Kalau saya bisa bantu Pak David saya akan bantu Pak David. Memangnya Pak David mau apa? Mau saya bikinkan kopi.” Dengan polosnya Lanna bertanya.
David menggeleng. “Ini masalah serius.”
“Serius bagaimana, Pak? Kantor kemalingan?” lagi Lanna bertanya polos dengan pupil melebar.
David menggeleng. “Ya ampun, Lanna.” Dia menghela napas sedih karena Lanna suka menerkea-nerka hal yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang akan dijelaskannya.
“Kakeknya belum datang ya, Pak?”
“Kakek saya di rumah. Masa dari Singapur langsung ke kantor.”
“Owalah, saya kira dari singapur langsung ke sini buat sidak.” Lanna tertawa, namun wajah masam David melenyapkan tawanya seketika.
“Begini, usiaku sudah menginjak 27 tahun—“
“Pak David ulang tahun?” terka Lanna. “Wah, selamat ulang tahun, Pak.” Lanna mengulurkan tangannya. David hanya menatap tangan Lanna.
“Lanna tolong diam.” Pinta David jengah. “Dengarkan aku dulu.”
Seketika Lanna kecewa. “Baik, Pak. Ma’af,” Ujarnya.
“Kakekku itu menetap di Singapura bersama Kakakku. Mereka punya bisnis di singapura. Hari ini mereka datang untuk...” David tertunduk sesaat. Lanna memiringkan kepala.
“Untuk memastikan bahwa aku punya calon istri.”
Kening Lanna mengerut. “Calon istri? Pak David, kan, masih muda.” Lanna memiringkan kepalanya, menatap lekat bos yang makin terlihat menawan itu.
“Iya, tapi perjanjian di keluargaku itu di usia 27 tahun aku harus menikah kalau ingin mendapatkan hak waris.”
“Hah?” Lanna mengucapkan ‘hah’ seperti mengucapkan ‘sumpeh lo?!’.
“Iya, Lanna.”
“Pak David akan menikah? Dengan siapa?”
“Itu masalahnya. Aku nggak punya calon.”
“Hahaha,” Lanna terbahak.
David melipat tangannya di depan perut. “Kenapa kamu tertawa?” tanyanya dengan nada tajam.
“Bukannya Pak David punya banyak fans ya, sampai pada ngaku-ngaku dihamilin Bapak? Kenapa Pak David masih pusing mikirin calon?”
David membuang napas. “Terus kamu pikir saya akan menikahi wanita-wanita macam itu?”
Lanna mengangkat bahu.
“Kamu mau jadi calon istri saya?” pertanyaan itu melucur bebas dari kedua daun bibir David.
Pupil Lanna melebar. Otaknya lumpuh. Tubuhnya kaku.
Awan di langit bergerak samar seakan tidak peduli hal apa yang akan terjadi di dalam ruangan lantai 16 itu.
Ditawari menikah dengan David itu semacam keberuntungan atau kutukan?
***
Esoknya David mencak-mencak pada Lanna karena suatu kesalahan yang tidak dilakukan Lanna. Dia memarahi Lanna abis-abisan dan anehnya Lanna merasa David tidak benar-benar marah.
“Pak, sumpah, saya nggak pernah ngapa-ngapain file itu. Bapak saja nggak pernah nyuruh saya buat ngebuka file itu kok.” Elak Lanna.
“Alesan!” David melipat kedua tangannya di depan perut. “Pokoknya kerugian yang saya terima gara-gara kecerobohan kamu itu sebesar seratus juta!”
“Apa?!” kedua daun bibir Lanna terbuka. Pupilnya melebar. “Saya harus menggantinya, Pak?”
David mengangguk.
“Tapi saya nggak punya duit sebanyak itu.” Kata Lanna dengan ekspresi bingung. “Apa saya dipecat, Pak?”
“Enak saja dipecat. Ini kerugiannya besar, lho.”
“Tapi saya nggak pernah nyentuh file itu, Pak. Pokoknya saya nggak terima bapak menuduh saya seperti itu.”
“Ini, kan, tugas sekretaris pasti kamu yang ngobrak-ngabrik filenya lah!”
Lanna hanya terbengong tidak mengerti. Benarkah dia yang melakukan kesalahan itu?
***