Kedatangan Tamu

1351 Kata
Bagian 1 "Sandra, aku udah enggak sanggup lagi hidup sama Mas Rian. Mas Rian ternyata menjalin hubungan dengan sekretarisnya. Aku udah enggak kuat, San." Nia menangis di pelukanku, menceritakan tentang persoalan rumah tangga yang sedang dihadapinya. "Mas Rian juga sering mukul aku. Dia ngancam mau ceraiin aku kalau aku nolak menceraikanku jika menola keinginannya buat nikah sama sekretarisnya itu. Aku nggak mau dimadu, San. Aku harus gimana, Sandra?" Nia masih menangis di pelukanku, dan aku masih berusaha menenangkan sahabatku itu. Hanya kata 'sabar' yang bisa kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku juga tidak tahu mau berbuat apa. "Sabar ya, Nia. Aku tahu, kamu adalah wanita yang kuat, pasti kami bisa melewati semua ini," ucapku padanya. "Kenapa dengan Nia? Mengapa dia nangis?" tanya Mas Ilyas-suamiku yang ternyata sudah berada di ruang tamu, tempat kami berada saat ini. Aku bahkan tidak mendengar deru mesin mobilnya, mungkin karena terlalu fokus mendengarkan curhatan Nia. "Sudah pulang, Mas?" Aku mencium punggung tangan Mas Ilyas dengan takjim, kemudian meraih tas kerjanya. "Iya, Mas sudah lama loh berdiri di depan pintu. Kalian saja yang tidak menyadari keberadaan Mas," ucap Mas Ilyas sambil menjatuhkan bobotnya di atas sofa. "Ngomong-ngomong, Nia kok nangis? Ada apa?" tanya Mas Ilyas lagi. "Nia sedang ada masalah dengan Mas Rian. Sepertinya, rumah tangga kami sudah nggak bisa dipertahankan. Mas Rian ingin menikah lagi, dan Nia nggak mau dimadu." Nia kembali menangis setelah menceritakan persoalan rumah tangganya kepada Mas Ilyas. "Jika memang benar bahwa Rian ingin menikah lagi, lebih baik kamu meminta pisah darinya. Menurut Mas, begitu jauh lebih baik." Apa aku tidak salah dengar? Mas Ilyas menyuruh Nia untuk berpisah dari suaminya? Bukankah selama ini Mas Ilyas paling membenci perceraian. Karena menurutnya, perceraian memang dihalalkan, tapi sangat dibenci oleh Allah. Makanya suamiku sangat membenci perceraian. "Kok cerai sih, Mas? Siapa tahu rumah tangga mereka masih bisa dipertahankan. Kita kan belum mendengar penjelasan dari Mas Rian," protesku yang tidak suka dengan saran Mas Ilyas tersebut. "Aku setuju dengan saran Mas Ilyas, Sandra. Sekarang masalahnya, aku mau tinggal dimana jika aku berpisah dengan Mas Rian? Kalian kan tahu sendiri kalau aku hidup sebatang kara," keluh Nia. Memang bebar, Nia tidak punya sanak saudara di kota ini. Setelah ibunya meninggal, Rini tinggal sebatang kara, ia berjuang menghidupi dirinya sendiri, sampai akhirnya ia menikah dengan Mas Rian dan mendapatkan keluarga baru. "Nggak usah khawatir, kamu tinggal di rumah ini saja, anggap saja seperti rumah sendiri. lagian, kamu kan sahabat Istriku. Kamu boleh tinggal di sini sampai kapanpun kamu mau. Iya kan, Sandra?" Mas Ilyas menatapku, ia memutuskan sepihak, tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu. Memang, aku dan Nia sudah bersahabat sejak masa SMA. Aku sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri. Tapi bukan berarti ia bebas tinggal di sini. Bukannya tidak kasihan, hanya saja aku takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan nantinya. Apalagi sekarang statusnya sudah beda. Entah mengapa, berat sekali rasanya menerima kehadiran Nia di rumah ini. "Ya sudah, mulai malam ini, kamu boleh tinggal di sini. Sandra, kamu antar Nia ke kamarnya ya. Mas mau mandi dulu." Mas Ilyas pun beranjak dari tempat duduknya. Aku merasa, ada yang beda dari sikap Mas Ilyas malam ini. Ia sama sekali tidak meminta pendapatku tentang hal ini. Ada apa denganmu, Mas? Meskipun dengan berat hati, aku akhirnya mengijinkan Nia untuk tinggal di rumah ini. Aku selalu berdoa di dalam hati agar Nia kembali kepada suaminya. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin melihat rumah tangga sahabatku hancur. *** Aku membantu Mbok Yuli untuk menyiapkan hidangan makan malam dan menatanya di atas meja makan. Setelah itu, aku mengajak Mas Ilyas dan juga Nia untuk makan malam bersama. Biasanya aku dan Mas Ilyas hanya makan berdua saja, sekarang makan bertiga karena sudah ada Nia di rumah ini. Aku mengambil piring keramik yang sudah tersedia di atas meja, menyendok nasi dan sayuran untuk kuberikan kepada Mas Ilyas. "Mas, kamu mau makan pake apa? Ayam atau ikan? Ikan saja ya, dicampur sayuran juga biar lebih sehat." Tiba-tiba Nia melakukan hal sama denganku, menyendok nasi ke atas piring, kemudian langsung memberikannya pada Mas Ilyas. Aku melongo melihat tingkah sahabatku tersebut. Bahkan ia sudah mengambil alih tugas yang seharusnya kulakukan. Apakah ia tidak sadar dengan apa yang ia lakukan? Aku masih berdiri dengan piring yang sudah berisi nasi, tapi belum dicampur dengan lauk. Melihat tingkah Nia seperti itu, membuat selera makanku mendadak menjadi hilang. "Maaf ya Sandra. Bukan maksudku untuk mengambil alih tugasmu. Itu kebiasaan yang tidak pernah bisa kutinggalkan. Saat bersama Mas Rian, aku sudah terbiasa melayaninya. Aku tidak akan makan sebelum menyiapkan makanan untuk Mas Rian terlebih dahulu," ucap Nia. Mungkin ia tidak enak melihat raut wajahku yang mulai berubah. Aku kembali duduk di atas kursi, tanpa berbicara sepatah katapun. Mood-ku sudah hilang. Ada firasat buruk yang menyelimuti hatiku. Aku takut jika Nia akan menjadi duri dalam rumah tanggaku. "Sesekali dilayani sama Nia 'kan nggak apa-apa," ucap Mas Ilyas sambil mengunyah makanannya. "Suamimu itu tidak tahu diri ya Nia. Punya istri baik seperti kamu, tapi masih tetap ingin mencari yang lain. Mas sarankan, lebih baik kamu pisah darinya, daripada bertahan tapi menyakitkan bagimu." Lagi-lagi, Mas Ilyas kembali menyarankan agar Nia bercerai dari suaminya. "Tenang saja, Mas. Nia akan menggugat cerai Mas Rian. Tidak ada gunanya mempertahankan rumah tangga yang didalamnya sudah ada orang ketiga," jawab Nia sambil menyendok sayur capcay dari dalam mangkuk keramik bergambar ayam tersebut, dan memindahkannya ke piringnya. Mas Ilyas dan Nia terlihat menikmati makan malam ini. Sementara aku, sudah tidak berselera sama sekali. Aku segera menyudahi makanku, kemudian bergegas ke kamar karena aku merasa tidak dianggap sama sekali. Sejak kehadiran Nia di rumah ini, Mas Ilyas seolah tidak lagi menganggapku ada. Padahal belum sampai satu hari, gimana kalau ia akan tinggal lama di rumah ini? Bisa-bisa, perhatian Mas Ilyas akan beralih padanya. Nia juga kelihatannya suka sekali mencari perhatian dari Mas Ilyas. Membuatku menjadi cemburu. Aku tidak suka jika suamiku lebih perhatian pada wanita lain, meskipun wanita itu sahabatku sendiri. Tok tok tok! "San … Sandra, Mas masuk ya!" Terdengar suara Mas Ilyas memanggil namaku. Ternyata, ia menyusulku. Aku tidak menjawabnya, memilih untuk diam. "Kok kamu nggak jawab sih?" tanya Mas Ilyas setelah ia membuka pintu, dan kini ia duduk bersamaku di bibir ranjang. "Kamu ngambek, ya?" Pertanyaan macam apa itu? Sudah jelas-jelas aku ngambek, tapi masih ditanya juga. Nambah kesal saja. "Kamu kok ngambek sih? Emangnya Mas salah apa?" "Mas sadar nggak sih? Mas sudah mengabaikanku. Mas malah lebih perhatian sama Nia dibanding aku, istrimu sendiri. Aku juga nggak suka, Mas menyarankan agar Nia minta pisah dari suaminya. Itu nggak boleh, Mas. Dosa loh menyuruh pasangan suami-istri berpisah," protesku sambil membuang wajah, tidak mau menatap wajahnya. "Mas hanya tidak ingin melihat Nia terluka. Jika Nia masih tetap bersama dengan suaminya, otomatis hatinya akan terluka. Makanya, lebih baik mereka pisah saja." "Tetap saja nggak boleh, Mas. Biar mereka yang memutuskan. Lagian, kita kan belum dengar penjelasannya Mas Rian. Siapa tahu mereka hanya salah paham." Aku berusaha mengingatkan Mas Ilyas, agar jangan ikut terlibat dalam persoalan rumah tangga Nia. Meskipun aku dan Nia sudah bersahabat sejak dulu, tapi ada batasannya juga. "Kamu tidak percaya padaku, Sandra? Kamu pikir aku berbohong?" Tiba-tiba Nia sudah berada di ambang pintu, ternyata ia mendengar pembicaraanku dengan Mas Ilyas. "Jika kamu tidak bersedia menerimaku di rumahmu ini, nggak apa-apa, aku akan pergi," ucapnya sambil menangis. "Bukan begitu. Bukannya aku tidak percaya padamu, Nia. Aku hanya memberi saran kepada Mas Ilyas agar menemui Mas Rian dulu. Siapa tahu rumah tanggamu dengan Mas Rian masih bisa dipertahankan." Aku berusaha meyakinkan Nia, tapi Nia tidak mau mendengar penjelasanku. "Nia, apa yang dikatakan Sandra itu benar. Sandra tidak ada maksud apa-apa. Kamu kembalilah ke kamarmu, selamat beristirahat," ucap Mas Ilyas. Nia pun berlalu dari hadapan kami, meninggalkanku dan Mas Ilyas yang masih berada di dalam kamar. *** Tengah malam, aku tiba-tiba terbangun karena dorongan ingin buang air kecil. Aku tiba-tiba terkejut saat tubuh Mas Ilyas tidak ada di atas kasur yang kami tempati bersama. Hanya ada selimut dan bantal kesayangannya saja. Kemana Mas Ilyas malam-malam begini? Apa mungkin ia haus dan pergi ke dapur untuk mengambil minum? Aku langsung beranjak dari atas ranjang, untuk mencari Mas Ilyas. Saat menuruni anak tangga, tiba-tiba ... Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN