"Selamat pagi Nona, matahari sudah bersinar tinggi sekali. Nona ingin saya sediakan apa sebagai sarapan?" tanya sebuah suara ramah penuh sopan santun, diiringi dengan langkah kaki yang berjalan ringan sebelum menarik gorden kamar dan membiarkan sinar matahari masuk.
Margareth membuka mata, ia tidak sadar kapan ia tertidur, yang gadis itu terakhir ingat adalah saat dirinya dan Hades bicara di dalam mobil. Margareth juga mengingat ketika ia menyebutkan keinginannya, keinginan yang tidak akan pernah terwujud bahkan hingga dirinya habis nyawa. Namun, Margareth melupakan tentang apa yang Hades minta sebagai bayaran. Margareth terlalu terpaku pada apa yang ada di hadapannya, pada apa yang menyambutnya di pagi hari.
Ia berbaring di sebuah tempat tidur, tempat tidur luas yang bisa diisi lima sampai enam orang. Ruangan yang terasa hangat dan didominasi warna putih bercampur biru langit, atap kamar tinggi, lampu hias yang lebih besar dari kepalanya dan berbagai dekorasi mengagumkan lainnya.
"Hei, uhm, ada di mana aku?" tanya Margareth ragu, bukan apa-apa, Margareth takut jika ini bukan keinginannya melainkan mimpi dan ia harus segera bangun dan bekerja. Pelayan wanita berseragam rapi itu menatap Margareth bingung, seolah ia tidak paham kenapa Margareth menanyakan hal demikian.
"Nona? Nona mimpi buruk? Apa yang terjadi? Kepala Nona sakit? Sudah saya katakan bukan? Nona jangan tidur larut malam, Nona pasti tidur malam karena membaca novel romansa, 'kan?" selidik si pelayan sembari berjalan mendekat ke Margareth. Si pelayan memasang wajah khawatirnya, berdiri di samping Margareth dan menggenggam tangan Margareth hangat. "Apa mau saya panggilkan dokter? Nona pasti tidak enak badan, istirahat, saya akan bawa sup agar Nona bisa makan di kamar."
Margareth menahan senyumnya, tidur larut malam karena membaca novel romansa dan pagi harinya membuat pelayan khawatir. Persis sekali dengan apa yang ia bayangkan selama ini, persis sekali dengan apa yang ia baca di novel romansa bercampur fantasi.
"Tidak, tidak. Aku baik ... aku hanya, sedikit mengingat mimpi burukku, aku baik ... tidak usah panggil dokter," sanggah Margareth perlahan. Kepalanya ia gelengkan perlahan dengan senyum tipis menghias wajah manisnya yang tidak lagi tampak noda. Si pelayan menatap Margareth tidak percaya, kedua matanya menyipit dan bibirnya melengkung ke dalam.
"Nona selalu saja begini, selalu menganggap semuanya ringan. Nona, kesehatan dan kenyamanan Nona adalah prioritas untuk saya, jika nona sampai sakit apa lagi merasa sulit saya akan sangat sedih," lirihnya perlahan. Raut wajah si pelayan terlihat lemas dengan sorot mata khawatir yang tidak dibuat-buat, membuat Margareth merasa senang sekaligus ingin menangis. Tidak ada orang bahkan keluarga sedarahnya yang mengkhawatirkan Margareth seperti si pelayan. "Nona, Anne adalah pelayan Nona yang akan bersama Nona sampai kapan pun. Meski nanti Nona menikah dengan Putra Mahkota, saya akan ikut Nona ke istana, saya tidak akan biarkan para pelayan istana melayani Nona sesuka mereka. Jadi, jangan khawatir."
Margareth terkesiap karena Anne si pelayan menyebut nama putra mahkota, putra mahkota atau yang biasa disebut pangeran yang dipilih untuk meneruskan gelar Raja. Margareth kembali mengingat tentang permintaannya pada Hades kemarin, Margareth ingat ia meminta seorang pangeran yang akan mencintainya, tetapi Margareth tidak menyangka jika pangeran yang Hades berikan seorang putra mahkota.
"Putra ... Mahkota?" Mata Margareth membulat karena rasa tidak percaya, perlahan jari-jari kurusnya menutup ke arah bibir yang tampak setengah terbuka. Anne mengangguk membenarkan ucapan Margareth seolah itu adalah jawaban pastinya.
"Benar, putra mahkota. Nona dan Putra Mahkota memang sedang bertengkar akhir-akhir ini, tetapi saya yakin Putra Mahkota masih sangat mencintai Nona. Mana mungkin beliau melupakan Nona begitu saja, lagi pula itu kesalahan Putra Mahkota yang lebih memilih minum teh bersama putri tetangga sebelah. Padahal sudah jelas tunangannya membutuhkan beliau, saya juga jadi kesal kalau mengingat hal itu," sungut Anne dengan kening berkerut. Margareth tertawa kecil karena air muka Anne yang terus berubah-ubah, dimulai dari ceria penuh semangat, penuh khawatir dan sekarang penuh kekesalan.
"Apa Putra Mahkota akan datang hari ini?" tanya Margareth dengan wajah berserinya. Margareth tidak lagi bisa menahan senyum, ia begitu menantikan kehadiran pangeran yang sudah didambanya sejak dulu.
"Akan datang." Anne menatap Margareth dengan berapi-api. Margareth tersenyum manis karena merasa puas dengan jawaban pelayannya ini. Margareth menatap ke arah jendela besar yang tidak jauh dari tempat tidurnya, puluhan bahkan ratusan potong mawar merah menghias lengkap dengan aromanya yang menyerbak begitu menyenangkan.
"Harus pakai gaun apa aku baiknya? Aku ingin jalan-jalan ke ibu kota dengan Putra Mahkota," gumam Margareth setengah bertanya. Perlahan ia gerakkan kedua kakinya ke lantai, terasa dingin dan licin, lantai rumah yang tidak pernah ia injak sebelumnya.
"Bagaimana kalau pakai gaun dengan warna kesukaan Putra Mahkota? Putra Mahkota suka sekali warna merah, gaun yang Nona pesan bulan lalu juga sudah datang dan warnanya merah, nanti akan saya tata rambut Nona secantik mungkin. Sampai-sampai putra mahkota tidak bisa lagi melihat gadis lain!" seru Anne penuh semangat. Margareth mengangguk setuju, Anne membantunya berdiri dengan hati-hati mengantarkan Margareth menuju kamar mandi yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Anne membawa Margareth ke sebuah ruangan luas seluas rumah lamanya, di tengah ruangan terdapat bak mandi besar penuh kelopak mawar merah dan tiga orang pelayan wanita berdiri menunggu Margareth tiba.
"Selamat pagi Nona!"
"Selamat pagi Nona, Anda yang baru bangun tidur pun tetap cantik!"
"Selamat pagi, Nona, air mandinya sudah siap. Kami juga sudah menyiapkan aroma mawar kesukaan Nona."
Para pelayan itu saling menyapa bergantian, wajah mereka berseri dan penuh senyuman. Margareth ikut tersenyum karena suasana yang terasa seperti impian, ia melangkah perlahan, menanggalkan pakaian tidurnya dibantu oleh Anne sebelum masuk ke dalam bak mandi.
Hangat.
Suhu airnya terasa hangat dan nyaman ketika menyentuh kulit, punggung Margareth sandarkan, handuk lembut yang tebal sudah menopang punggungnya agar tidak pegal. Salah seorang pelayan kini sudah meraih masing-masing tangan Margareth, mereka menggosokkan sabun dan memijatnya perlahan, sementara satu pelayan lagi mengurus rambut panjangnya. Margareth bisa merasa ketika si pelayan menuangkan cairan kental ke atas kepalanya sebelum dipijat.
Aroma wangi bunga segera memenuhi ruangan, Margareth tidak pernah menyangka jika mandi bisa menyenangkan seperti ini.
"Bagaimana airnya? Tidak dingin?"
Margareth membuka mata, Anne berada di sebelahnya untuk memastikan Margareth merasa nyaman. Margareth mengangguk dan tersenyum, Anne memasang wajah lega sebelum duduk di ujung kaki Margareth dan mulai memijat jari-jari kaki Margareth.
"Bagaimana pijatannya? Apa membuat Nona nyaman? Gaunnya sedang disiapkan, setelah pakai gaun, Nona harus memilih perhiasan mana yang akan dipakai. Pakai kalung rubi pemberian Tuan Besar juga bagus, warna merah terangnya pasti sangat cocok dengan gaun yang disiapkan."
Margareth diam tidak menjawab Anne, ia mengingat tentang permintaannya lagi pada Hades tentang perhiasan yang terbuat dari batu rubi. Margareth memejamkan matanya lagi, tidak sadar bibirnya bersenandung kecil hingga beberapa waktu ke depan.
Margareth sudah kembali ke kamar, kini ada empat pelayan wanita selain Anne siap membantunya memakai gaun merah dengan bahu terbuka. Gaunnya memiliki lengan meski tidak menutup seluruh, bagian bawahnya dibiarkan menyentuh lantai dengan bagian ekor yang lebih panjang. Beberapa permata terpasang di bagian d**a dan mengelilingi pinggang, terdapat ukiran benang berwarna emas yang menambah kesan mewah pada gaun tersebut.
"Cantik." Margareth tersenyum puas.
Tubuhnya ia putar ke kiri dan ke kanan, ia tatap rambutnya yang dibuat ikal dan dihias menggunakan permata. Lehernya terpasang kalung permata, senada dengan anting dan warna pemerah bibir yang dipakai.
"Yang Mulia! Yang Mulia sungguh tidak sopan seperti ini! Yang Mulia!"
Terdengar suara teriakan pelayan wanita dari arah balik pintu kamar, Margareth spontan menoleh ke arah pintu dan tidak lama seorang pria berambut hitam panjang sebahu, bermata merah terang dengan bibir tipisnya yang tampak ingin mengatakan sesuatu. Pemuda yang berdiri di hadapan Margareth tidak memakai pakaian mewah, hanya kemeja putih longgar dan celana berwarna hitam, tetapi penampilan sederhana tidak membuat wajah rupawannya menurun.
"Maggy ...." panggilnya dengan suara perlahan. Margareth masih berdiri, masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Margareth kini bertemu dengan pangerannya.