RUMA

1500 Kata
Ruma berjalan cepat menelusuri lorong demi lorong kampus. Sesekali ia menaikkan kacamatanya yang melorot. Rambut ikalnya yang selalu dikuncir dua, berkibar - kibar terembus oleh angin. Ruma adalah gadis dengan tinggi rata - rata, dengan postur sedikit berisi. Ia tidak gemuk. Berat badannya ideal. Hanya saja, kebanyakan orang menganggap gadis dengan ukuran tubuh seperti Ruma adalah gemuk. Ruma sebenarnya memiliki wajah yang manis. Namun semua seakan tertutup karena ia kurang bisa berdandan. Orang lebih mengenalnya sebagai gadis culun yang pemurung. Tapi tak banyak yang mengenalnya, sih. Karena ia adalah salah satu mahasiswi tak terlihat. Ruma tak punya teman dekat, ke mana - mana selalu sendiri. Ia sedang lewat di tengah lorong yang dipenuhi mahasiswa yang duduk - duduk pada bangku panjang, tapi ia benar - benar tak dianggap. Tak ada yang sekadar melihat apalagi menyapanya. Ia senantiasa menunduk dan berjalan cepat menuju parkiran belakang kampus. Ia lalu berjalan masuk ke salah satu gang kecil. Ruma akhirnya mengangkat kepalanya, tersenyum pada seseorang yang sudah menunggunya di atas sebuah motor matic. Seseorang itu juga tersenyum padanya setelah menaikkan kaca helm. "Jangan ngebut jalannya!" goda seseorang itu. Seorang pemuda yang sangat rupawan, dan cukup tersohor di kampus, Asa. "Udah telanjur ngebut dari tadi," sahut Ruma. Ia menerima helm yang diberikan Asa, lalu memakainya. "Kita periksa dulu, terus aku anterin pulang, lalu cus berangkat megawe." Megawe artinya bekerja. Ruma mengangguk, memberikan senyuman terbaiknya. "Aku sayang banget sama lelakiku yang pekerja keras." Ruma naik ke atas motor. Ia sedikit terburu - buru sampai hampir jatuh. "Hati - hati, Ruma!" peringat Asa sembari memegangi dadanya. Jantung di dalam sana serasa hampir copot. "Oops, sorry!" Ruma malah cekikikan. "Pengin marah sama kamu, tapi nggak bisa. Kesel!" rengek Asa. Ia mulai menyalakan mesin motor. Ruma geli dengan gombalan Asa. Ia tak ragu mencubit pinggang pemuda itu. Tak peduli Asa memekik sakit sekaligus kaget. "Udah, yuk, ah. Cus!" lanjutnya kemudian. "Iya, iya, Nyonya Besar." Asa cemberut maksimal. "Rela aku mah jadi kacung kamu juga!" Keduanya menikmati sepanjang perjalanan mereka. Panasnya kota Kediri di siang menjelang sore hari tak menghalangi percik - percik riang dalam hati. Bagaimana pun keadaannya, jika bersama seseorang yang membuat nyaman, semua akan terasa baik - baik saja. "Ruma ...." "Hm?" "Ketika hari itu tiba ... akan sangat berat buat kita. Tapi aku mau kita tetep kuat." "Apaan, sih, Asa? Lebay!" "Iya, sih. Dikit. Tapi aku serius." "Udah, konsentrasi lihat jalan aja." "Tapi kita memang harus mempersiapkan segalanya, Ruma. Mental, fisik, finansial. Semuanya. Kamu tenang aja, kita akan hadapin semua bersama - sama." Asa sangat mengenal Ruma. Meski terlihat kuat dan terkesan tak peduli, tapi jauh di dalam hatinya, Ruma pasti memikirkan apa yang akan mereka hadapi lebih daripada Asa. Ruma merasakan perhatian yang diberikan oleh Asa. Ia selalu terkesan dengan apa saja yang pemuda ini lakukan padanya. Sampai sekarang saja Ruma masih sering menganggap semua adalah mimpi. Ia belum percaya sepenuhnya bahwa Asa adalah miliknya. Dan ia adalah milik Asa. Mereka saling memiliki satu sama lain. Ruma memeluk punggung kurus pemuda itu. Terasa hangat dan nyaman. "Ruma, mulai besok aku nggak mau anter jemput kamu secara sembunyi - sembunyi lagi. Aku mau anter jemput kamu secara terbuka." "Jangan! Nanti mereka semua tahu." "Bukankah pada akhirnya mereka semua bakal tahu? Kita harus nyicil mulai sekarang. Biar after effect - nya bisa sedikit terminimalisir." "Tapi aku sama sekali belum siap, Sa. Setelah mereka mulai tahu tentang kita, pasti aku bakal dapet banyak perhatian. Perhatian yang baik aja aku nggak suka. Apalagi perhatian yang dalam tanda kutip?" "Kalo kita nggak mulai sekarang, lalu kapan lagi? Ayolah, jangan buru - buru menolak dengan alasan nggak siap! Kamu pikirin dulu semuanya matang - matang, baru jawab." "Tapi Asa ...." "Kamu harus ingat, kita nggak bisa menunda terlalu lama. Lebih baik kita coba mengungkap sedikit demi sedikit. Daripada mereka tahu ketika pe - ...." Ruma mencubit pinggang Asa sekali lagi. Pemuda itu pun kesakitan dan menjerit kaget sekali lagi. "Sakit, Ruma!" Ruma tak mengindahkan kesakitan Asa. "Iya, deh. Aku bakal pikirin dulu. Dan nggak bakal buru - buru nolak. Tapi kamu juga harus janji, jangan mulai besok anter jemput secara terbukanya. Setidaknya kasih aku waktu, lah!" Asa tersenyum tanpa sepengetahuan Ruma. "Kamu minta waktu berapa lama, sih? Satu abad? Dua abad?" "Aish ... ASA!" bentak Ruma yang kesal dengan kejailan Asa. "Bercanda, Sayang. Astaga ... sensitifnya ...." "Ini juga gara - gara kamu." "Iya ... iya ... emang gara - gara aku. Semuanya emang salah aku. Belanda jajah Indonesia itu juga salah aku. Jepang ikutan jajah Indonesia, itu juga salah aku." "ASA!" Pemuda itu terkikik geli sekaligus gemas pada Ruma. "Jadi ... kamu minta waktu sampai kapan?" "Seminggu?" "Tiga hari aja lah!" Asa coba menawar. "Ya udah dua minggu." Ruma malah meminta waktu lebih lama. "Ya udah seminggu." Asa pun akhirnya pasrah. Ruma menyeringai di belakang sana. Lagi - lagi ia bisa mengalahkan Asa, dan itu membuatnya sangat bahagia. "Kamu yang terbaik emang." Ruma semakin mengeratkan pelukannya. Asa tersenyum senang dan bangga. "I know, right?" *** Dokter Ilham mengoles gel di bagian bawah perut Ruma. Ruma meringis karena sensasi dingin dari gel itu membuatnya terkejut. Ia semakin meringis kala dokter Ilham mulai menggerakkan alat ultrasound di bagian yang sama, menyebar luaskan gel di sepanjang perut, dan menambah sensasi geli. "Itu dia!" seru dokter Ilham. "Kecil, tapi sudah terlihat sempurna. Ini tangannya, ini kakinya." "Laki apa perempuan, Dok?" canda Asa. Asa sebenarnya juga sudah tahu kalau belum kelihatan. Ia hanya mencoba mengakrabkan diri. Toh setelah ini ia, Ruma, dan dokter ini akan sering bertemu. "Ya belum kelihatan, lah, Pak Asa! Kan masih 16 minggu!" Dokter Ilham menimpali candaan Asa dengan serius. Asa dan Ruma saling berpandangan, dan terkikik karena reaksi dokter Ilham itu. "Dia tumbuh dengan baik, Pak Asa, Bu Ruma." Asa dan Ruma sebenarnya masih asing dengan panggilan pak dan bu yang dilontarkan oleh dokter Ilham. Tapi mereka harus membiasakan diri mulai sekarang. Dan ... mereka lega karena bayi di dalam rahim Ruma tumbuh dengan baik dan sehat. Mereka akan berusaha menjaganya -- anak pertama mereka -- dengan sebaik mungkin. "Tolong di - print out, ya, Dok. Buat kenang - kenangan," "Siap, Bu Ruma!" Asa dan Ruma berjalan beriringan menuju tempat parkir. Ruma masih asyik memandang hasil print out USG. Merasa begitu takjub bahwa manusia kecil itu tumbuh di dalam dirinya. Ia membawa kehidupan lain di dalam tubuhnya. Asa mengendarai motor dengan kecepatan normal. Tak sampai 30 menit, mereka sudah sampai di rumah Ruma. Mereka disambut oleh Abah dan Umi, juga Haru -- adik laki - laki Ruma -- yang masih berusia 10 tahun. "Gimana hasil USG - nya?" tanya Umi. Ruma dengan antusias menunjukkan hasil print - out USG pertamanya. Umi lalu memeluk putri sulungnya, merasa tarharu, menangis karena bahagia. Abah dan Haru juga terlihat sama bahagianya. "Dijaga yang baik! Dia nggak salah apa - apa, jangan korbanin keselamatannya karena masalah kalian yang belum jelas ujungnya itu!" Abah menasihati mereka. Senyuman di wajah Asa dan Ruma menghilang. Asa terlihat menggenggam jemari Ruma untuk menenangkannya. "Kami sedang mempersiapkan semuanya, Bah," kata Asa kemudian. "Pada hari itu, semua masalah kami akan selesai. Kami jamin semua akan baik - baik aja." "Semoga semua yang kamu katakan bukan sekadar janji tanpa bukti." Asa mengangguk. "Akan kami buktikan saat hari itu tiba." "Kamu udah makan belum, Sa? Makan dulu sana, tadi Umi masak enak." Umi berusaha mencairkan suasana. Kembali muncul lengkungan di bibir Asa. "Makasih, Mi. Nanti aku makan di KM aja. Soalnya udah mepet jam masuk ini." Umi melihat jam dinding. "Eh, iya. Bentar lagi kamu masuk." "Ya udah. Aku pamit dulu, ya, Umi, Abah, Dek Haru." Asa mencium tangan Umi dan Abah bergantian. Ia lalu mengacak sayang rambut Haru. Bocah itu hanya meringis saat Asa lagi - lagi membuat rambutnya berantakan. "Mi, marahin itu si Ruma! Suruh kurang - kurangin pecicilannya!" adu Asa. Ruma kesal tentu saja. Ia ingin mencubit pinggang Asa sekali lagi. "Dasar tukang ngadu!" Sayang, Asa sudah hafal betul dengan tabiat Ruma. Ia tidak akan kena cubit lagi. Ia menghindar di saat yang tepat. "Weee ... nggak kena!" Asa menjulurkan lidahnya. "Ngeselin!" "Emang! Tapi kamu sayang, kan?" Ruma tak menjawab. Hanya mencebik kesal. Tapi ia memang sayang, sih, pada Asa. "Pecicilan gimana maksudnya, Sa?" Umi terlihat bingung. "Itu, lho, Mi. Tadi dia nggak hati - hati pas mau naik ke motor. Hampir jatuh gitu. Kan bisa berabe kalo jatuh beneran!" Asa mengatakan apa adanya. Toh semua demi kebaikan Ruma sendiri dan bayi mereka. "Ruma ... hati - hati, dong, Sayang!" tegur Ibu. Ruma cemberut kesal. "Iya ... iya .... Aku tadi nggak sengaja." Ruma melirik Asa dengan sengit. "Tukang ngadu!" "Biarin ... weeeee!" Asa menjulurkan lidahnya lagi sembari berjalan mundur menghindari cubitan maut Ruma yang siap membuat pinggangnya biru - biru. Ruma berusaha mengejar Asa, tapi dicegah oleh Umi. Juga Abi yang ikut menegurnya. Sementara Haru hanya tertawa melihat kelakuan tidak jelas Asa dan Ruma. "Assalamualaikum!" seru Asa saat sudah sampai di dekat pintu. "Waalaikum salam!" jawab mereka semua, dengan Ibu yang masih berusaha mencegah Ruma untuk tidak mengejar Asa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN