Senja duduk di meja kayu kecil di warung bakso, bersama tiga temannya yang masih sibuk memilih menu dari daftar yang ditulis di atas papan kayu kecil. Angin sore bertiup pelan, membuat beberapa helai rambut panjangnya sedikit mengganggu pandangan. Ia menyelipkan rambut itu ke belakang telinga, sambil sesekali tersenyum mendengar obrolan teman-temannya. Namun pikirannya sedikit melayang.
Barusan, ia bertemu dengan Ali. Kak Ali, begitu dulu ia menyapanya. Nama itu terdengar begitu akrab di kepalanya, seolah-olah membawa kembali memori-memori lama yang terkubur di masa SMA. Sungguh aneh rasanya. Bukannya mereka tidak pernah berbicara lagi setelah itu, hanya saja, pertemuan mereka barusan terasa... berbeda.
"Eh, Senja, pesenin bakso urat buat gue, ya!" salah satu temannya, Rina, menyenggol lengannya.
"Iya, iya. Sebentar," jawab Senja sambil setengah tersenyum, lalu melambaikan tangan ke pelayan warung. Namun gerakan tangannya melambat sejenak saat matanya tanpa sadar melirik ke arah tempat Ali duduk bersama teman-temannya di seberang jalan.
Ali. Sosoknya memang tak banyak berubah. Ia masih tinggi, masih memiliki cara duduk yang santai tapi tampak slengekam, dan masih memiliki senyum kecil yang seperti menyimpan banyak cerita. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari auranya. Lebih dewasa, mungkin? Lebih... tenang? Atau mungkin, itu hanya perasaannya saja?
"Kok lo jadi diem? Eh, jangan-jangan lo liatin cowok yang di seberang?" goda Wulan, salah satu teman baiknya, sambil tertawa kecil.
Senja menggeleng pelan, menutupi wajahnya yang mulai terasa hangat. "Apaan sih? Enggak kok. Gue cuma... ya gitu deh, kepikiran tadi," katanya sambil memainkan sendok di tangannya. Ia tidak menjelaskan lebih jauh, tapi teman-temannya sudah cukup mengenal dia untuk tahu ada sesuatu yang berbeda.
"Senja, jangan denial deh," ujar Rina sambil terkekeh. "Itu siapaaa hayooo?"
"Iyaa ih cerita napa! Jangan peliiit!"
Tentu saja ia akan didesak. Senja hanya menghela napas panjang sambil tersenyum kecil. Tidak ada gunanya menyembunyilam. Toh, mereka tidak sepenuhnya salah. Ali memang seseorang yang istimewa di masa lalu. Tapi semuanya sudah berlalu, bukan? Tidak ada yang perlu diungkit lagi, tidak ada yang perlu dirasakan lagi. Begitu, setidaknya, yang selalu ia yakinkan pada dirinya.
"Cuma kakak kelas gue waktu SMA du," katanya, mencoba terdengar santai.
"Yaelah, seriusan cuma kakak kelas? Padahal tadi gue liat jelas lo sama dia kayak di sinetron! Tatap-tatapan terus diem-dieman! Romantis, tau!" Wulan terkikik lagi, membuat Senja semakin gelisah.
Senja hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan. "Astaga, lo terlalu banyak nonton drakor tauuk!" ucapnya sambil tertawa kecil. Namun di dalam hatinya, ia tidak bisa menyangkal bahwa pertemuan barusan memang membawa rasa yang sulit ia definisikan. Ia masih bisa membayangkan tatapan Ali yang tampak sedikit canggung, sedikit ragu, tapi juga hangat. Tatapan yang membuat ia bertanya-tanya, apakah benar semuanya sudah selesai di antara mereka? Atau mungkin, ada sesuatu yang belum selesai?
"Senja, lo kepikiran, ya?" tanya Rina lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Ia terdiam sejenak, menatap mangkuk bakso yang baru saja diantarkan oleh pelayan. Uap panas naik perlahan, membaur dengan aroma kuah yang gurih. Ia mengaduk pelan dengan sendok, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab.
"Nggak tahu deh. Gue cuma... ya, aneh aja rasanya ketemu dia lagi. Kayak..." Ia terhenti, memikirkan kalimat berikutnya. "Kayak gue baru sadar ternyata gue kangen sama suasana yang dulu. Sama semuanya, waktu masih SMA."
Wulan dan Rina saling bertukar pandang, tapi tidak ada yang berkata apa-apa. Mereka tahu, ada hal-hal yang tidak bisa dipaksa untuk dijelaskan.
Senja mengambil napas panjang, mengusir bayangan Ali yang masih berputar di benaknya. Ia harus fokus pada saat ini, pada teman-temannya, pada hidupnya yang sekarang. Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu, pertemuan itu tidak akan mudah ia lupakan. Ada bagian dari dirinya yang ingin tahu lebih banyak, tentang Ali, tentang hidupnya, dan mungkin, tentang apa yang sebenarnya masih tersisa di antara mereka.
Sementara Ali?
"Mau nyari juga bingung. Mau mulai dari mana?"
Kebingungan itu memang wajar. Tidak ada petunjuk sama sekali, jejaknya seolah hilang begitu saja.
Ali duduk di kursinya dengan pandangan kosong, meskipun di depannya ada teman-teman yang sibuk bercanda. Sesekali ia tersenyum kecil, tapi pikirannya melayang jauh. Tentu saja melayang pada Bellova.
Dia tidak pernah benar-benar lupa tentang Bellova. Tapi waktu, jarak, dan kehidupan yang berjalan membuat perasaannya terhadap gadis itu seperti tertidur lelap di sudut ingatannya.
"Bro, lo kenapa? Mukanya kok kayak orang habis ketemu mantan, nih," celetuk Dimas, teman sekampusnya yang duduk di seberang.
Ali tersenyum tipis, menggeleng pelan. "Nggak kok. Cuma lagi capek aja."
Dimas mendengus tak percaya. "Capek apaan? Lo tadi semangat banget ngajak nongkrong. Eh, sekarang malah diem kayak patung."
Ali hanya tertawa kecil, mencoba mengalihkan perhatian. Sementara itu, Senja duduk diam di kursinya, memperhatikan Ali dari jauh. Pandangannya tak sengaja tertuju pada sosok itu, meski ia berusaha keras untuk mengalihkan perhatian ke mangkuk bakso di depannya. Namun matanya terus saja kembali ke tempat Ali berada, seolah ada magnet yang menarik pandangannya.
Ali. Sosok yang begitu akrab, namun terasa asing sekaligus. Apa yang berubah darinya? Ia masih mengenali postur tubuh yang kurus, senyum kecil yang sama, dan cara Ali mengaduk minuman dengan pelan, kebiasaan kecil yang dulu sering ia perhatikan tanpa sadar. Tapi kini, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin bukan pada Ali secara fisik, tapi pada auranya-lebih dewasa, lebih terjaga. Waktu tampaknya telah membentuknya menjadi seseorang yang lebih bijaksana, atau setidaknya, lebih tenang. Walau ya ada juga sih perubahan fisiknya. Tak sekurus dulu. Itu wajar menurutnya. Kebanyakan teman yang ia kenal juga bertambah berat sejak masuk kuliah.
Ali, di sisi lain, juga merasa seperti sedang diamati. Sesekali, tanpa sadar, ia mengangkat pandangan dan menangkap sosok Senja yang duduk di warung bakso seberang jalan. Tatapan mereka berserobok sekali lagi-canggung, namun penuh arti. Ali buru-buru mengalihkan pandangannya ke meja, tapi senyum kecil terbentuk di wajahnya.
Senja merasa dadanya sedikit berdebar. Apa tadi Ali menyadari dirinya sedang memperhatikannya? Ia cepat-cepat kembali fokus ke mangkuk baksonya, mencoba mengabaikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. Mampus gue!
"Lo tau nggak sih, orang yang lo perhatiin itu juga jelas banget sering ngelirik ke sini?" bisik Wulan di telinganya, membuat Senja hampir tersedak.
"Apaan sih, Wul! Jangan ngawur!" balas Senja dengan nada terlalu keras hingga menarik perhatian dua temannya yang lain.
"Ngawur apanya? Gue liat kok!" Wulan terkekeh kecil sambil mengerling ke arah Ali.
Senja tidak membalas lagi. Ia hanya menghela napas panjang, mencoba menyusun pikirannya. Bertemu dengan Ali seperti ini sungguh tidak terduga. Ada banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalanya-tentang kehidupan Ali setelah SMA, tentang kenangan yang dulu, dan, yang paling mengganggunya, tentang apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini.
Sementara itu, Ali yang duduk bersama Dimas dan beberapa teman lain, mencoba fokus pada obrolan mereka, tapi pikirannya kembali melayang ke pertemuan singkat tadi. Senja. Gadis itu. Ia tidak menyangka akan melihatnya lagi, terutama setelah bertahun-tahun berlalu tanpa kabar.
Ali menggenggam gelas di depannya, mengingat bagaimana dulu ia sering berbincang dengan Senja. Wajahnya yang pemalu, senyumnya yang tulus-semuanya tiba-tiba terasa begitu nyata kembali, seperti film lama yang diputar ulang di benaknya. Tapi di saat yang sama, ada perasaan ragu. Apakah Senja masih seperti yang ia kenal? Atau apakah akan memaafkannya? Meski tadi tampak masih baik padanya. Tapi hati siapa yang tahu?
Di seberang, Senja masih memandangnya, meski berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Waktu memang telah memisahkan mereka, tapi sore itu, perasaan yang mereka kira telah hilang justru kembali hadir, mengisi celah di antara ingatan masa lalu dan kenyataan saat ini.
***