Malam itu, Shenzy duduk di ruang keluarga dengan wajah murung. Lampu-lampu di ruangan itu memancarkan cahaya hangat, tetapi tidak cukup untuk mencairkan ketegangan yang menggantung di udara. Di hadapannya, ibunya berdiri dengan ekspresi marah yang jelas terlihat, alisnya berkerut, dan bibirnya terkatup rapat seakan menahan ledakan amarah yang siap meletus kapan saja. Secangkir teh di tangan sang ibu dibiarkan dingin, uapnya sudah lama menghilang, seperti halnya kehangatan dalam percakapan mereka. Shenzy mencoba menghindari tatapan tajam ibunya. Pandangannya tertuju pada lantai kayu yang mengilap, seolah mencari jawaban dari pola-pola yang terukir di permukaannya. Tubuhnya terasa berat, beban emosi yang ia pendam seolah menekan pundaknya hingga sulit untuk duduk tegak. Ia meremas jemarin

