2. Teater

1919 Kata
Calixto ada di dalam ruangannya hingga menjelang siang. Dia baru keluar ruangannya saat pintu ruangannya diketuk. Senyum lebar Maria langsung menyambut Calixto begitu dia membuka pintu ruangannya. “Kamu sudah berjanji untuk menemaniku,” ucap Maria. "Iya." Calixto menghela napas. Tampak jelas jika dia sebenarnya sangat enggan untuk pergi. Maria memutar bola matanya bosan. Tidak ada yang berubah dari Calixto, masih saja menjadi pria yang kaku. “Kamu harus rileks untuk semester baru ini,” saran Maria. “Bukannya kata-kata itu lebih cocok untukmu?” Maria sontak menoleh dan memelototi Calixto. Ucapan Calixto benar-benar menohoknya. Walau begitu, Maria cukup terhibur. “Aku juga mengajak James,” tambah Maria. “Oh, baguslah.” Calixto bisa sedikit bernapas lega karena tidak hanya dirinya yang akan mendengar ocehan Maria. Maria dan Calixto kemudian berjalan menuju gedung teater. James ternyata sudah berada di gedung teater lebih dulu. Mereka duduk di tribun atas, dan di sana ini hanya ada mereka bertiga. Di bangku bawah penuh dengan mahasiswa yang tampak heboh menonton pertunjukan menari dan menyanyi. “Mereka menyanyi dan menari dengan sangat bagus,” komentar James. Matanya benar-benar berbinar melihat gadis-gadis muda yang menari di bawah sana. Maria mengangguk setuju dan berucap, “Mereka jelas bukan dari Korea Selatan, kan? Tapi lagu berbahasa Korea yang mereka nyanyikan itu terdengar sangat indah. Bukan begitu Calixto?” “Masih ada beberapa pelafalan yang salah. Suara mereka juga terdengar sumbang dan gerakan mereka tidak sinkron.” Maria dan James refleks menoleh ke arah Calixto. Pria yang tengah bersedekap itu tampak sangat serius memperhatikan panggung di bawah, tapi komentar yang dia berikan terlalu tidak enak didengar. “Kamu salah mengajaknya,” bisik James. Maria menghela napas dan mengangguk setuju dengan ucapan James. “Dia hidup terlalu serius.” Pandangan Calixto memang terarah ke panggung di depannya, sayangnya pikirannya tidak berada di sini. Siapa juga yang akan tertarik melihat gadis-gadis dengan rok mini itu menari dan menyanyi. Acara nyanyian yang bising itu akhirnya selesai. Pengeras suara terdengar memberi pengumuman akan pentas drama yang akan segera dilakukan. Calixto memutuskan akan pergi dipertengahan drama yang akan dipentaskan. Begitu tirai panggung terbuka, orang-orang dengan gaun abad ke-19 terlihat. Mahasiswa dengan berbagai ras itu tampak sangat menghayati pertunjukan yang mereka lakukan. Di antara para pemain, pandangan Calixto tertuju pada gadis yang sedikit lebih pendek dari teman-temannya yang lain. Selain itu, rambut hitam yang gadis itu miliki terlihat kontras karena berada di antara rambut blonde lainnya. “James, tidakkah menurutmu pemeran utamanya hebat?” “Dia begitu karena rambut hitamnya,” jawab James. Di antara anak dengan rambut blonde, anak dengan rambut hitam pekat yang panjang itu tentu akan menjadi arah pandang orang-orang. “Dia terlihat seperti orang asia. Kira-kira darimana asalnya?” “Kenapa kalian penasaran dengan asalnya? Tidak bisakah kalian diam dan nikmati saja pertunjukannya?” Calixto melirik tidak suka. Dia menjadi terganggu untuk menikmati jalannya pertunjukan di bawah sana, apalagi jalan ceritanya tidak biasa dan itu membuatnya penasaran. Seorang gadis asia yang hidup di eropa. “Ya karena aku penasaran,” jawab Maria dengan riang. Calixto tidak menjawabnya, dia mencoba tidak mempedulikan keberadaan James dan Maria di sampingnya. Pertunjukan drama itu terlalu sayang untuk dilewatkan hingga membuat mata Calixto tidak pernah lepas dari pertunjukan itu, terutama si pemeran utama yang memainkan perannya dengan sangat baik. Intonasi suara si gadis pemeran utama terdengar sangat jelas dengan berbagai emosi yang terkandung di dalamnya, bahkan saat gadis itu sedikit menunjukkan kemampuan bernyanyinya. Dia melakukannya dengan baik dan tanpa terasa Calixto menonton pertunjukan itu hingga pertunjukannya selesai. Satu-satu dari pemain mengucapkan kalimat terima kasih dalam bahasa mereka masing-masing. Dari sana Calixto jadi tahu jika gadis si pemeran utama merupakan warga Negara Indonesia. Calixto dulu pernah datang ke sana untuk melakukan penelitian di hutan Kalimantan dan dia hanya ingat beberapa kata dasar saja, salah satunya kata ‘terima kasih’. “Astaga, aku sampai menangis.” Maria menarik napasnya dalam-dalam. Perasaannya menjadi tambah sedih setelah menonton pertunjukan drama tadi. James menyodorkan saputangannya, dia terlihat tidak begitu puas dengan pentas drama tadi “Walau tidak sempurna dan masih ada beberapa kesalahan dalam dramanya, mereka melakukannya dengan baik,” komentar James setengah hati. Calixto berdecak, dia tidak setuju dengan apa yang James katakan. “Bahkan pertunjukan drama tadi jauh lebih bagus daripada nyanyian sebelumnya!” serunya. Maria yang tengah mengusap air matanya melirik Calixto yang ada di sebelah James. “Kenapa kamu tidak suka sekali dengan pertunjukan nyanyian tadi? Bukankah kamu harus bangga karena itu bahasa yang kamu gunakan juga?” “Haruskah aku memberi mereka pujian pada sesuatu yang salah? Dan semua orang yang ada di bawah sana juga tahu jika tarian dan nyanyian tadi sangat hancur.” Calixto bangun dari duduknya. Calixto menatap Maria dan James. “Aku permisi dulu, ada hal yang harus kulakukan.” Pergi dari ruang teater Calixto kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Jam demi jam Calixto lalui di kampus, dia baru pulang saat menjelang malam karena tadi dia menghabiskan waktunya di laboratorium untuk meneliti sampel penelitian untuk jurnal terbarunya. Sepulang dari kampus, Calixto lebih dulu menyempatkan dirinya untuk berolahraga di gym langganannya. Letak gym itu tak jauh dari rumahnya dan hal itu jelas mempermudah Calixto melakukan olahraga. Ayahnya yang seorang pensiunan polisi membuat Calixto menyukai olahraga. Selain itu, kesadaran akan kesehatan tubuh yang berharga juga menjadi pemicu untuk Calixto selalu menjaga kesehatannya dengan tak lupa berolahraga. Dalam seminggu, Calixto akan pergi dua kali ke gym. Melakukan olahraga selama satu sampai dua jam dan setelah itu pulang ke apartemennya. Setiap pulang Calixto akan mendapati Mia tengah memeriksa lembar-lembar kertas dari anak murid yang diajarnya. Mereka berdua memang bekerja dalam bidang pendidikan, bedanya Mia mengajar di sekolah dasar dan dirinya di universitas. Kesamaan itu membuat mereka berdua sadar akan besarnya tanggung jawab yang mereka miliki. “Kamu ingin menggunakan kamar mandi?” Suara itu menghentikan langkah Calixto. Calixto mengangguk. “Air hangatnya tidak menyala. Aku sudah melaporkannya dan sepertinya baru akan bisa dipakai besok pagi.” “Tidak masalah, aku terbiasa mandi air dingin.” Calixto kemudian berlalu meninggalkan Mia. Air dingin membasahi sekujur tubuh Calixto. Beban-beban berat yang didapatinya di kampus seakan hilang tak bersisa. Dia menyukai sensasi dingin yang menyentuh kulitnya. Setelah mandi, Calixto mendapati Mia yang tengah membuka lemari pakaiannya. Wanita itu tampak sangat serius memperhatikan baju-baju yang ada di dalam lemari itu. Mia berbalik dan menatap Calixto yang sekarang tengah mengeringkan rambutnya. “Kamu ingatkan besok malam ada apa?” tanyanya. “Ingat,” jawab Calixto singkat. “Kalau begitu, kamu jangan sampai pulang telat.” Calixto mengangguk mengerti. Sejujurnya dia tidak suka selalu diingatkan seperti ini. Dia bukan orang yang akan lupa dengan apa yang sudah dijanjikan. Bahkan acara yang akan berlangsung besok malam itu ditulisnya dengan besar agar dia selalu ingat acara itu. * * * “Hey, kamu jadi ikut tidak sih!” gedoran pintu yang diikuti seruan itu membuat Kayra yang tengah mengaplikasikan lipstik di bibirnya menghela napas lelah. “Tunggu, sebentar!” balas Kayra. Dia memperhatikan wajahnya yang sudah di make up tipis. Wajahnya sudah tidak terlihat suram lagi sekarang. Kayra mengambil tas miliknya dan segera keluar dari dalam kamar asramanya. Begitu pintu kamar di buka, Amanda menatapnya dengan kesal. “Putri kita akhirnya keluar,” ucapnya. Mata Amanda menilai penampilan Kayra dari atas hingga bawah. Dia kemudian bergidik. “Sekalinya pakai crop top, kamu malah menggunakan jaket!” pekik Amanda tak terima. “Hey, ini dingin. Kamu mau aku mati kedinginan di luar?” Kayra menaikkan resleting jaketnya. Dia tidak mungkin akan keluar dengan memperlihatkan sedikit perutnya itu. Udara di luar malam ini cukup dingin. Tatapan tajam dari Amanda membuat Kayra akhirnya berucap, “Aku akan membukanya nanti setelah sampai di club.” Amanda memutar bola matanya bosan. “Terserah kamu, Baby,” katanya pasrah. “Apa Daniel sudah datang?” tanya Kayra. Kayra mengeluarkan ponselnya dan tidak mendapati pesan apa pun di sana. “Katanya dia akan menjemput di depan gerbang asrama.” Amanda memperhatikan jam tangan miliknya. “Mungkin beberapa menit lagi dia akan datang.” “Aku selalu benci musim panas berlalu begitu cepat,” keluh Kayra. “Itu karena negaramu yang hanya punya musim panas dan kamu sudah terbiasa dengan hal itu,” sindir Amanda. Kayra selalu saja mengeluh dengan hawa dingin yang terasa di musim gugur hingga musim dingin. “Itu disebut dengan musim kemarau dan kami memiliki dua musim. Musim kemarau dan juga musim hujan.” “Dan kamu sudah terbiasa dengan hawa panas yang terasa.” “Ya benar sekali.” Kayra tertawa. “Hawa dingin selalu membuatku malas. Aku jadi ingin membuat mie kuah.” “Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya itu!” seru Amanda. “Karena kamu tidak akan tahan dengan godaannya,” goda Kayra dan Amanda merengut kesal. Kayra selalu senang melihat Amanda yang selalu tidak bisa menahan godaannya akan makanan yang Kayra selalu masak. Makanan Indonesia yang terkenal lezat memang sangat susah untuk ditolak. “Hey girls.” Sapaan itu membuat Kayra dan Amanda sontak menghentikan kegiatan saling mendorong. Mata Kayra melebar senang melihat sosok Daniel yang ada beberapa puluh meter ada di depan mereka sana. “Ayo cepat masuk. Pesta akan segera dimulai!” seru Daniel. Kayra berlari diikuti Amanda. Kayra memilih untuk duduk di samping Daniel, sedangkan Amanda harus berpuas diri untuk duduk di belakang. “Banyak yang ingin masuk ke klub teater karena teater tadi siang,” ucap Daniel. Daniel melirik Kayra. “Tidak berniat untuk kembali lagi?” tanya Daniel. “Ya jika bukan karena aku yang memaksanya, pasti dia tidak akan mau ikut,” balas Amanda. Amanda mencondongkan tubuhnya di antara Daniel dan Kayra. “Seharusnya kamu banyak mentraktirku malam ini.” “Kalau aku tidak berniat mentraktirmu, aku pasti tidak akan mengajakmu,” ucap Daniel. Daniel melirik Kayra dan kembali bertanya, “Bagaimana?” ”Kamu ingin aku tidak lulus kuliah sepertinya,” sindir Kayra. “Kamukan pintar,” jawab Daniel cepat. “Tidak, itu hanya karena aku belajar. Yang pintar itu ada di belakang kita. Dia belajar santai dan mendapatkan nilai yang bagus.” Kayra melirik dan tersenyum simpul ke arah Amanda. “Oh aku sangat tersanjung mendengarnya.” Amanda tertawa. “Tapi dari ujian semester kemarin, semuanya sudah menjadi lebih sulit. Ah, aku bisa membayangkan kesulitan lainnya yang akan datang.” “Benar!” seru Kayra setuju. “Tidak ada waktu untuk mengikuti kegiatan klub lagi,” tambah Kayra lagi. “Aku tidak bisa memaksa gadis-gadisku.” Daniel melirik Kayra. “Malam ini kalian harus bersenang-senang dengan yang lainnya. Jangan pedulikan uang.” “Ucapanmu sudah seperti seorang sugar daddy,” sindir Amanda. “Bukankah lebih cocok seperti playboy ulung?” tanya Kayra. “No! Lihat saja senyumnya yang bangga saat akan menghabiskan uangnya untuk kita.” Amanda menunjuk Daniel. “Dia sudah terlatih untuk menjadi seorang sugar daddy nantinya.” “Jangan memfitnahku seperti itu. Aku tidak akan suka dengan bocah yang usianya jauh dari usiaku!” seru Daniel tak terima. Mata Daniel melirik ke arah Kayra yang sekarang tertawa senang. “Aku serius!” seru Daniel lagi. Kayra mencoba menahan tawanya. Dia melirik ke arah Daniel dan berakhir ke arah Amanda. “Jangan menggodanya lagi, lihat wajahnya jadi memerah.” “Tapi bakatnya sudah terlihat,” ucap Amanda senang. “Aku sebenarnya tidak habis pikir kenapa orang-orang bisa menyukai seseorang yang perbedaan usianya jauh. Perbedaan itu jelas akan membuatnya tidak mudah bukan?” tanya Kayra. “Usia bukan penghalang untuk jatuh cinta, bodoh!” balas Amanda. “Nanti kamu akan merasakannya jika mencintai seseorang yang usianya cukup jauh dari usiamu.” “Oh, aku tidak sabar untuk jatuh cinta,” balas Kayra lalu tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN