3

1183 Kata
Ketika cinta datang di antara hubungan bernama persahabatan, terkadang rasa itu seperti bomerang. Kembali lagi tanpa sempat mengenai seseorang, dan dengan  begitu cepat tanpa bisa ditangkap hingga akhirnya melukai diri sendiri. Tapi hal itu sering terjadi tanpa bisa disupiri. Qinay sampai kesal sendiri setiap hari harus menjada sikapnya agar biasa saja. Terlebih saat melihat sahabatnya kino lebih suka menghabiskan waktu istirahat bersama Silvi. Cewek pintar seperti kriteria cewek idaman Enoach. Qinay menghabiskan baksonya sembari mendengarkan radio agar pikirannya tak terfokus pada sepasang manusia di hadapannya. Sesekali dia melirik Enoach yang tersenyum tipis saat Silvi bicara hal lucu. "Katanya nggak mau jaim, tapi ketawa aja ditahan-tahan. Sok-sokan senyum-senyum doang," gerutu Qinay dalam hati. "Makan tuh pelan-pelan. Nih belepotan ke mana-mana," ucap Enoach, mengulurkan tangannya mengusap mulut Qinay dengan tisu. Gerakannya biasa aja, bukan mengusap dengan slow motion tapi sukses bikin jantung Qinay lepas kendali. Qinay pun menepis tangan Enoach dan berseru kencang untuk menghilangkan groginya. "Apaan sih? Gue balik duluan deh, met berduaan. Duluan ya Vi," ucap Qinay, tak lupa cengiran khasnya dikeluarkan. Qinay menuju lapangan basket, mengambil bola yang menggelundung ke arah kakinya. Dia tak melempar ke arah lapangan melainkan mendrible bolanya lalu memasukkan bolanya ke dalam ring. Mengabaikan cowok-cowok yang sedang bermain di sana. "Balikin bolanya, Nay," seru Arzee, mencoba mengambil alih bola karena Qinay sudah menganggu permainanya bersama teman-temannya seenak hati. "Lo kenapa, huh? Kesehatanmu terganggu? Sana balik ke kelas. Gangguin aja," seru Arzee lagi. "Gue ikut main deh." "Gantin kelamin baru boleh main." "Kenapa? Takut kalah?" "Gue takut sama lo? Ck, males banget berurusan sama cewek, apalagi lo! Minggir." "Pelit! Bilang aja takut." "Sejak kapan gue takut sama lo?" "Woi udah! Mau lanjut nggak nih? Berdebat aja trus sampai negara api menyerang. Heran gue sama kalian, kapan akurnya sih?" seru Hedar mendekat karena permainan basket mereka terhemti karena Qinay dan Arzee malah berantem di bawah ring. "Ck, ini nih malesnya urusan sama cewek. Banyak yang ngebela." "Biarin, lo iri? Kasihan nggak ada yang ngebela." "Astaga, Zee, Nay. Main aja situ berdua. Gue mau makan aja, mendadak laper lihat kalian berantem." "Zee yang mulai duluan." "Kan lo yang tahu-tahu gangguin kami." "Gue kan cuma mau ikut main tapi nggak boleh sama lo." "Lama-lama lo ngeselin juga. Nih main situ sendiri," ucap Arzee seraya menyerahkan bola yang sudah sempat dia ambil alih. Karena kesal Qinay melempar bola itu sangat keras ke arah Arzee dan melesat tepat mengenai kepala Arzee. Kekuatan lemparan Qinay sangat keras sesuai isi hatinya yang sedang kesal entah karena apa. Karena Arzee atau karena Enoach. "Rasain! Mamam tuh bola," seru Qinay pada Arzee yang menatapnya tajam. "Lo kalau marah sama orang lain jangan lampiasin ke gue. Kebiasaan! Gue bukan sarung tinju yang bisa dengan bebas lo tinju saat lagi marah. Ngerti?" desis Arzee di telingan Qinay. Mata Qinay seketika memanas, dia membuang muka tak berani menatap balik Arzee yang kini sudah di hadapannya lagi. Qinay lari menghindari Arzee, dia tak mau siapapun melihatnya menangis. Dia berusaha agar air matanya tak lepas begitu saja di tempat umum dan menjadi bahan gosip di sekolah. Tapi usaha tinggal usaha, dari mengambil napas panjang, menengadahkan wajah, sampai lari-lari kecil di dalam toilet tetap saja tangisnya pecah. Dia berusaha menutup mulutnya agar suara tangisnya tak terdengar yang lainnya. Saat sudah merasa sedikit lega dan tangisnya berkurang, Qinay mengusap wajahnya. Mengembalikan ekspresinya agar terlihat baik-baik saja. Dia membasuh wajahnya dan terus mengambil napas panjang. Saat dia keluar kamar mandi dia dikagetkan oleh sosok Enoach yang berdiri di dekatnya. "Lo nggak pa-pa? Katanya lo baru berantem lagi sama Arzee." "Nggak pa-pa, kok." "Lo habis nangis? Kalian kapan akur sih?" "Nunggu gue jadi power ranger pink," jawab Qinay asal. "Yakin lo baik-baik aja?" "Iya. Udah ah jangan bahas dia, gue mau balik ke kelas aja." Sesampainya di kelas, kelas sudah ramai dan sudah ada guru Geografi yang siap mengajar. Qinay meminta maaf karena terlambat masuk. Dia merasa risih saat menyadari semua teman sekelas memperhatikannya. Pasti sebentar lagi gosip pertengkarannya dengan Arzee akan jadi trending topic di sekolah. Bisa-bisa ada cewek-cewek yang ngelabrak dia lagi karena sudah membuat idola mereka marah. Mata Qinay menyapu seisi kelas dan tak mendapati Arzee di mana pun. Cowok yang sering bikin dia emosi tak nampak batang hidungnya. "Nyari siapa? Zee?" tanya teman sebelah Qinay, Syiva. "Enggak," balas Qinay. "Dia izin pulang. Tadi tiba-tiba dia minisan di kelas." "Mimisan?" "Iya, kayaknya gara-gara lemaparan bolamu deh." "Masa sih? Tadi ak--" Qinay tak jadi melanjutkan ucapannya. Dia sadar tadi melepar bolanya sangat keras dan mengenai kepala Arzee. Sekarang dia merasa bersalah. Apalagi Arzee sebenarnya memang tak salah cuma Arzee menganggu macan yang sedang marah jadilah kena imbasnya. "Lo pulang sama Noach kan?" tanya Syifa. "Kenapa?" "Gue takut lo diserbu fans fanatik Zee lagi." "Ah, iya yah. Pasti mereka bakal ngamuk idolanya udah gue buat mimisan. Ah, kayak artis aja deh dia punya fans gila. Ngeselin." "Salahmu berantem siang bolong." "Tapi Zee duluan yang mulai. Lo tahu sendiri dia ngeselinnya kayak apa. Dia selalu nganggep gue lalat yang harus dihindari. Kan ngeselin. Padahal dulu kami baik-baik aja. Tapi sejak SMA dia ngeaelin. Sok nggak mau kenal gue padahal kami sekelas." "Lo punya salah kali." "Enggak ada. Tahu-tahu aja dia kayak jihik gitu deketan gue. Gue sampe sakit hati tahu waktu dia bilang terang-terangan di kelas kalau nggak mau sekelompok sama gue dengan segala argumennya. Pasti ujung-ujungnya dia nyuruh gue ganti kelamin. Dasar gila!" "Ya udah tengokin aja dia nanti di rumahnya. Kalian kan tetanggaan." "Nanti deh kalau gue nggak diusir," ucap Qinay. Pulang sekolah Qinay masih seperti dulu nersama Enoach. Hanya saja kali ini dia duduk di belakang sementara Silvi duduk di tempat yang biasanya dia duduki. Sebenarnya dia ingin pulang semdiri tapi berhubung dia baru menganiaya idola sekolah dia takut akan ada cewek-cewek brutal yang memojokkannya. "Maaf ya gue jadi bikin kalian pulangnya jauh," ucap Silvi. "Nggak pa-pa, kok. Iya kan Nay?" "Iya, iya." "By the way tadi gue dengar lo berantem sama Zee, Nay. Kalian lucu yah?" ucap Silvi. "Apanya yang lucu?" tanya Qinay. "Ya lucu aja. Zee yang kaku itu cuma sama lo bisa gitu, sama cewek-cewek lain dia mana mau ngeladenin. Yang ada dia cuma pasang muka datar langsung pergi gitu aja." "Dia emang gitu dari dulu. Nggak tahu caranya bersosialisasi sama cewek, dari kecil malah. Tetangga yang cewek suka takut sama dia waktu dulu jaman masih kecil, Noach itu yang jadi idola cewek-cewek komplek." "Zee baik kok. Cuma dia emang sedikit pelit senyum," kata Enoach. "Bukan pelit tapi dia sejak SMA nggak tahu caranya senyum," ucap Qinay. "Tapi gue suka tipe cowok kayak Zee, dia cool," ucap Silvi. Seketika mata Qinay dan Enoach saling tatap lewat kaca spion. "Tapi gue lebih suka cowok yang ramah, sih," ucap Silvi lagi dengan senyum dikulum menoleh ke arah Enoach. Melihat tatapan Silvi pada Enoach membuat Qinay ingin keluar dari mobil detik itu juga. Kembali dia coba menghapus perasaannya, menelan kuat-kuat agar hatinya tak jadi serpihan. Istilah orang akan bahagia kalau melihat orang yang dicinta bahagia itu tak berlaku untuk Qinay. Tetap saja hatinya sakit walaupun dia sudah dari awal meyakinkan diri bahwa cintanya hanya untuk di hati saja bukan untuk bersama di dunia nyata.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN