02: Selamat Tinggal Om

1473 Kata
Beberapa minggu telah berlalu, sejak kematian Safira keluarga Bagas seperti kosong. Fina yang biasanya ceria sekarang selalu diam menyendiri, Bagas tak tau harus bagaimana, mana mungkin ia sempat membuat persiapan untuk keadaan seperti ini? "Pah aku berangkat sekolah dulu." Pamit Fina mengulurkan tangan. "Ayo biar Papah antar." Bagas beranjak dari kursinya. Fina mengernyit aneh. "Nggak usah, lagian Papah juga harus kerja." Bagas memang selalu sibuk, tapi sejak sekarang ia berjanji akan meluangkan waktu sebanyak mungkin untuk Putri tersayang nya ini. "Nggak kok, udah ayo berangkat." Fina akhirnya menurut saja, tapi sejujurnya Fina kurang suka saat Papah nya mengantarnya ke sekolah karena teman-temannya pasti nanti akan heboh alay, cukup Dara saja yang membuat Fina tidak keberatan saat blak-blakan mengagumi Ayahnya, tapi kalau orang lain Fina akan risih dan ilfil. "Temenmu tumben gak pernah main lagi ke rumah? Harusnya disaat seperti ini dia tunjukin dong jati diri nya sebagai teman." Komentar dari Bagas sedikit membuat Fina tidak nyaman. "Dara juga punya masalah sendiri Pah." Bela Fina. Bagas mengernyit tak percaya, gadis slengekan macam Dara bisa punya masalah apa coba? "Masa sih?" "Hng, dia bakal pindah ke Sulawesi." Ujar Fina makin lemas, rasanya ia seperti tak punya lagi semangat hidup. Ibu dan temannya pergi bersamaan. Bagas hampir reflek mengerem mobilnya mendadak kalau tidak ditahan, lelaki itu akhirnya bisa menguasai mimik wajahnya. Namun tetap saja wajah kaget nya masih nampak. "Sulawesi? Kenapa?" "Orang tuanya mau pindah, dia ikut juga." "Emangnya dia gak bisa tinggal disini sendiri sampe tamat sekolah?" "Nah itu." Fina mendesah berat. "Sebenarnya beberapa minggu lalu kita sempet bicarain ini, dia minta ijin sama aku buat tinggal di rumah kita Pah. Tapi setelah insiden itu Dara tiba-tiba bilang mau pindah ke Sulawesi aja." "Padahal Papah gak keberatan dia tinggal di rumah, biar kamu ada temennya kalo Papah kerja." Ujar Bagas tulus. Fina mengerucutkan bibirnya kecut. "Aku juga udah bujuk tapi dia ngotot, mungkin Dara udah capek temenan sama Fina." "Hus gak boleh ngomong begitu, meskipun otak gadis itu sedikit miring tapi bisa Papah lihat dia tulus kok sama kamu." "Iyaaa Papahku sayang, aku cuma bercanda kok." Bagas menggeleng pelan. Lalu melepas seatbelt nya setelah menghentikan mobil membuat Fina jadi mengernyit heran. "Papah ngapain?" Bagas menoleh, "ya nganterin anak Papah dong." "Gak-gausah! Udah gini aja cukup." Lalu Fina mengecup pipi kanan Bagas. "Udah sana Papah pulang!" "Kok Papah berasa diusir ya?" Fina mencebik. "Ya soalnya kalo Papah sampe turun yang ada besok aku jadi kurir surat cinta dari Bu Guru sama temen-temen!" Omel Fina galak malah membuat Bagas tergelak. "Yaudah, kamu belajar yang pinter. Banggain Papah, 'okay?" "Yes captain!" Bagas terkekeh pelan, menatap punggung Fina yang hilang di koridor. Lelaki bersweater navy itu handak menyalakan mesin mobilnya sesaat sebelum bola matanya tertuju pada satu obyek. "Dara!" Dara menegang di posisinya, meskipun belum melihat si empu pemanggil tapi dari nada suaranya Dara sudah hapal bukan kepalang kalau itu adalah Om Bagas. Dara memejamkan matanya rapat, lalu memutar badannya untuk berbalik pergi. "Dara!" Shitt! Bagas mencekal pergelangan tangan gadis di depannya ini, ekspresi wajahnya menggambarkan betapa bingungnya ia sekarang. "Kamu sedang menghindari saya?" Dara mengangguk. "Nggak kok!" Bagas jadi mendelik. "Bener apa nggak sih?" Tanyanya karena gerakan tubuh Dara bertolak belakang dengan ucapannya. Dara akhirnya mengangguk, karena ... mau bagaimanapun caranya ia tidak akan pernah bisa bohong dengan lelaki ini, lelaki yang menjadi crush nya. Bagas tanpa diduga menarik lengan Dara pergi, entah kemana, Dara sedang tak ada tenaga buat ngelawan. Di mobil. Oh, ternyata Dara cuma diajakin ke mobil, padahal ke KUA Dara siap nih. "Kenapa kamu hindarin saya?" Dara menoleh, berkedip-kedip lucu. "Om kepo ya?" "Saya serius Dar!" Geram Bagas jadi jengkel. Dara tersenyum kecil, menyandarkan punggungnya ke kursi mobil mencoba terlihat biasa saja. "Saya hindari Om karena saya mau pindah ke Sulawesi." "Kalau itu saya sudah tau." Dara kembali menoleh, namun guratan kaget jelas tercetak di wajahnya. "O-om gak papa aku pergi?" Bagas tanpa diduga malah tertawa geli, yang berefek menyengat di d**a Dara. Aish ... kalau ngimpi gak usah ketinggian deh Dar, mana mungkin Om Bagas takut kehilangan dirinya. Dara tersenyum kecut. "Ya gak papa lah, emang saya harus kenapa?" Damn it! "Tapi yang saya ingin tanyakan itu kenapa kamu menghindari saya? Bahkan kamu juga menghindari Fina, kamu tidak kasihan dengan Fina?" "Maaf Om, sebenarnya saya tidak menghindari Fina, tapi saya cuma lagi mempersiapkan diri karena sebentar lagi saya akan pergi jauh jadi saya ingin coba mandiri tanpa Fina." Dara menundukkan kepalanya pelan. "Dan untuk Om ... "Bagas jadi mengernyit saat Dara justru menggantung ucapannya. "Kenapa?" Tanya Bagas. Dara meneguk ludahnya mencoba memberanikan diri. "Saya menghindari Om karena saya sedang menata hati saya." *** "Dar!" Gadis berjaket levis itu menoleh, mendapati Riki sedang melangkah kearahnya. Dara mengangkat sebelah alisnya. "Yo wassup Man!" Dara sudah keren mengangkat tangan ingin mengajak high five tapi malah dikacangin Riki, Dara jadi mencebik. "Gue mau ngomong serius sama lo." "Ih kayak bisa aja!" Cibir Dara membuat Riki yang geram langsung memasukkan kepala Dara ke dalam pelukannya dan mengapitnya dengan jaket yang dikenakan nya. Dara terbatuk-batuk sengak. "Uhuk ... uhuk-uhuk woy sesek napas gue!" "Makanya serius dulu!" "Ck, iya-iya! Lo mau ngomong apa?!" Jengkel Dara masih dendam. Riki menarik napas panjang, "lo mau pindah ke Sulawesi?" "Iya." "Kenapa?" "Bonyok gue pindah." Tatapan mata Riki terlihat menurun sayu. "Lo gak bisa tinggal disini? Sampe lulus?" Dara menggeleng. "Sorry, I can't." Riki mengusap wajahnya kasar, Dara jadi terkekeh geli sembari menepuk-nepuk ujung kepala sahabatnya ini. "Gue masih di bumi, Indonesia, lo gak usah setakut itu kali ah." Guyonnya bermaksud memecah suasana. "T-tapi ... jauh Dar." Dara tersentak mendengar suara bergetar Riki, what?! Nih cowok nangis?! "Ya ampun lo laki bukan sih Rik? Masa nangis sih!" Omel Dara tapi tetap memeluk Riki untuk menangkan lelaki ini, padahal Riki ini bukan orang yang emosional tapi entah kenapa hari ini ia jadi sangat sensitif. Riki akhirnya menjatuhkan kepalanya ke bahu Dara, lelaki itu sesenggukan kecil yang dibalas usapan lembut Dara di belakang kepalanya. Tanpa mereka ketahui, Fina yang membawa sesuatu di tangannya sedang merasakan patah hati. *** Dara melangkah memasuki rumah megahnya yang lebih cocok disebut mansion itu, beberapa pembantu terlihat sibuk mengemas barang-barang yang akan dibawa pindahan. "Sayang, udah pulang?" Dara menghentikan langkahnya, tersenyum kecil sembari melangkah mendekat kearah Mamahnya. "Maaah." Rengek Dara manja. Bela, Mamah Dara itu terlihat mengernyitkan dahi melihat anaknya yang terlihat tak bersemangat. "Kenapa hm? Kok lemes gini?" "Kita harus banget ya pindah?" "Iya sayang, ini karena pekerjaan Papahmu." "Kan yang kerja Papah kenapa Mamah sama Dara harus ikut sih?" Gerutu Dara. "Ya jelas harus dong!" Sahutan dari belakang membuat Dara menoleh, melihat Papah nya yang berjalan kearahnya. "Kalo kamu sih aslinya gak wajib, tapi kalo Mamahmu harus ikut. Papah gak bisa hidup semenit tanpa belahan jiwa Papah." Nah-nah kumat alay nya! Dara rasanya ingin memuntahkan semua isi perutnya saking gelinya. "Yaudah kalo Papah gak mau Dara ikut, Dara disini aja! Huh!" Dara ngambek. "Ih jangan dengerin apa kata Papahmu, kalo kamu gak ikut Mamah nanti juga gak ikut." Ujar Mamah Dara. "Loh sayaaaang." Heri terlihat merajuk, lelaki paruh baya yang sudah hampir berkepala 5 itu kelakuannya benar-benar ngalahin ABG yang lagi masa bucin-bucinnya. "Udah ah aku ke kamar aja, gumoh nanti kalo kelamaan disini!" Sindir Dara membuat Heri justru tertawa renyah. Dara menghempaskan tubuhnya diatas kasur, menatap langit kamarnya dengan hembusan napas pelan. Sekelebat ingatan beberapa jam lalu saat dirinya tengah bertemu dengan Bagas kembali berputar. Flashback on Dara meneguk ludahnya mencoba memberanikan diri. "Saya menghindari Om karena saya sedang menata hati saya." Bagas terlihat terkejut, sangat terkejut. "Dar kamu serius suka sama saya?" "Masa Om baru sadar?" Tanya Dara balik. Bagas terlihat menarik napas panjang. "Saya pikir kamu godain saya cuma untuk main-main." Jujurnya pelan. Dara langsung mendelik, iyasih ia akui saat masih bocil dulu ia cuma main-main saja, tapi semenjak ia tumbuh dewasa kata main-main itu berubah menjadi sungguhan. Perasaan Dara sungguh untuk lelaki ini. "Dar kamu harus sadar saya adalah Ayah Fina, teman kamu sendiri. Rasanya kurang pantas ada hubungan seperti itu diantara kita." Terang Bagas mencoba persuasif. Dara menggigit bibirnya kuat-kuat. "K-kalau saya bukan teman Fina ... Om mau jadian sama saya?" Bagas mengusap wajahnya kasar, "bukan ... bukan seperti itu maksud saya Dar." Ujarnya terlihat sangat frustasi. Bagas menatap lurus wajah Dara, menyorot serius. "Meskipun kamu bukan teman Fina kita tidak akan bisa sampai pada hubungan seperti itu." Dara meneguk ludahnya berat. "Saya bener-bener nggak ada kesempatan Om?" Tanyanya getir. Bagas membasahi bibirnya sekilas, "iya." Jawabnya mantap. Dara meneteskan air mata, Bagas terkejut, ingin menyentuh wajah Dara tapi gadis itu langsung menepisnya. Dara menatap luka wajah Bagas, sesakit apapun hatinya Dara tetap berusaha menyunggingkan senyuman manis. "Okey, selamat tinggal Om." Flashback off Dara melenguh panjang mengingat semua itu, lengan kanan gadis itu sudah bertumpu diatas matanya yang berair. Dara menangis dalam diam. Ternyata menyukai orang yang tidak menyukaimu itu sangat menyakitkan. "Sepertinya," Dara menjeda ucapannya. "Gue harus move on." *** TBC. Bagus gak ceritanya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN