Rasanya membahagiakan ketika kau menggantungkan hidupmu hanya pada satu titik. Satu titik kehidupan yang sekaligus menjadi titik kelemahan juga kekuatan untukmu. Satu titik di mana yang menjadi sumber kekuatan besar kau dapati dan membuatmu tertatih bersamaan ketika meredup. Bagiku, kurang lebih seperti itu makna kehidupan sebenarnya. Karena—ya aku telah benar-benar menggantungkan hidupku pada satu titik. Satu titik yang lantas mengubahku menjadi satu tujuan.
Polos. Begitu polos. Aku sangat tergila-gila walau harus mengakui pada titik ujung terakhir. Dan berakhir bersama pada akhirnya.
Aku mungkin memang seharusnya pergi dari yang lalu tapi sungguh itu tidak bisa. Aku tidak bisa dan hatiku tidak bisa. Seperti itulah sebuah ketergantungan.
Hatiku terdorong lebih kuat. Lebih dalam untuk semakin—hanya menggantungkan hidupku padanya. Aku mengulang lagi bahwa hanya pada satu titik. Dan itu dia. Tempatku bergantung juga berbagi dunia. Menggenggam tangannya erat. Dan aku tak lagi merasakan takut ataupun hampa. Tidak.
****
Percaya atau tidak jika semuanya benar-benar terjadi. Justin, oke jangan sebut namanya lagi! Terus terang Valerie mulai marah sekarang—saat ini juga. Sungguh! Bagaimana tidak jika dengan satu tarikan napas saja sudah cukup membuat Valerie harus gila. Catat dengan baik, gila. Ya, Valerie gila. Jangan, jangan. Tidak. Kau salah. Valerie bukan gila soal semakin mencintainya, jika itu tak akan dirinya sangkal. Tapi gila di sini adalah Valerie… Kau bisa melihatnya sekarang. Astaga, bagaimana bisa dirinya mempercayai lelaki dewasa seperti Justin yang berubah sangat cerewet layaknya wanita hamil? Valerie yang tengah mengandung dan Justin yang amat sibuk mengoceh. Ayolah, kita hanya akan menyambut Ibunya tapi perlakuannya seakan-akan menyambut presiden.
"Berhenti Justin! Aku ingin tidur." Itu satu-satunya cara Valerie untuk membuat Justin berhenti merengek. Tapi... Entahlah, Valerie seakan menyukai aksi ini—tentunya sejak dirinya mengandung.
"Oh ayolah sayang. Kau suka sekali bersungut-sungut sekarang. Apa karena dia?" Dia katanya menunjuk dengan dagunya—santai membuat Valerie melotot tajam yang hanya di balas cengiran maaf. Ini anaknya dan lantas menyebut dia sesuka hati.
Valerie terdiam. Melipat kedua tangan di depan d**a dengan bibir mengerucut ke depan. Biarkan saja. Valerie suka aksi ini. Kali ini takkan dirinya biarkan Justin menang. Tidak akan pernah!
"Baiklah-baiklah. Maafkan aku sayang. Maafkan daddy sayang." Menahan senyum. Valerie yakin jika kini wajahnya tengah memerah seperti tomat lantaran menahan senyum. Geli, itu yang di rasakannya tatkala Justin mendaratkan ciuman di perut datarnya. Lelaki ini sungguh keterlaluan karena selalu tahu caranya membuat Valerie tertawa. Meski hatinya pedih.
"Aku mengantuk Justin,” katanya langsung sebagai alasan untuk membuatnya berhenti dari aksi gilanya ini. Dengan enggan, Valerie melirik melewati sudut ekor matanya dan mendapati Justin yang tengah memutar kepalanya menatap dinding.
"Baiklah sayang. Rasanya tak apa membuatmu terpejam. Mom Pattie akan sampai pukul lima sore nanti. Come on maple."
Berhasil. Valerie menyunggingkan senyum lantas memeluk erat Justin dengan kepala di atas d**a bidangnya. Jari lentiknya dengan santai membuat bulatan-bulatan kecil menyusuri tato salib miliknya. Kelemahannya, sudah pasti. Dengan jelas Valerie mendengar deru napas tertahannya—semakin membuatnya terkikik kecil.
"Apa kau benar-benar mengantuk Valerie. Atau ingin..."
"Yes daddy," sambar cepat Valerie lantas mencium kilat pipi kirinya. Segera Valerie memeluknya erat—kembali. Badan mungilnya bahkan terasa menyatu melebur dalam d**a bidang Justin. Badannya yang tegap berbanding terbalik dengan badannya yang mungil. Oh, pantas saja wanita di luar sana sangat menggilai sosoknya.
****
Terdiam mematung, Valerie menatap Justin memeluk mesra wanita paruh baya yang masih nampak cantik dan bugar. Pasti ibunya, batin Valerie. Gugup, ya benar. Ini pertemuan pertamanya dengan wanita bernama Pattie itu setelah kurang lebih satu tahun menjalin hubungan bersama Justin. Tertegun, Astaga. Valerie tak percaya ini. Justin akan menjadi calon ayah sebentar lagi tapi lihatlah tingkah manja yang ditunjukkan tanpa rasa malu. Di hadapan Valerie dan calon bayinya secara langsung.
Menggeleng kepala pelan, lantas sudut bibir Valerie tertarik ke atas menjawab salam dari Ibunya. Valerie tak percaya jika wanita cantik di hadapannya ini adalah Ibunya.
Bagaimana tidak? Valerie sedikit merasa cemburu melihat kecantikan alami calon mertuanya. Astaga, lidah Valerie terasa kelu ketika berucap seperti itu. Mata abu-abunya yang cantik dan terpancar aura ketegasan jelas tercetak di dalamnya. Rambut hitam panjangnya yang semakin menambah kesan anggun serta cantik bersamaan. Rasanya Valerie harus bersyukur memiliki ibu sepertinya, sebentar lagi. Jadi di sinilah letak pahatan sempurna Dewa Yunani yang menurun pada Justin. Bolehkah Valerie berterima kasih pada Tuhan karena sudah menciptakan Justin secara sempurna melalui wanita paruh baya cantik ini? Sepertinya ya, tanpa harus mendapat jawaban.
Valerie tersenyum dan masuk ke dalam pelukan hangatnya ketika wanita itu merentangkan kedua tangannya. Awal yang bagus untuk sebuah pertemuan yang bisa Valerie sebut terlambat. Dan, ah, Valerie tak bisa berbohong jika di sini hangat sekali. Seumue-umur Valerie belum pernah lagi merasakan pelukan sehangat dan senyaman ini, terhitung semenjak ibunya pergi.
Kelopak mata Valerie terpejam sempurna menahan lelehan panas yang tengah menjalar di sekitar kedua bola matanya. Perasaan sedih Valerie rasakan lagi. Usapan lembut ini yang tepat di punggung serta rambutnya, selayaknya perlakuan ibunya dulu pada Valerie. Valerie juga mencium aroma menenangkan dari parfum hangatnya yang menyeruak masuk secara paksa pada indra penciumannya. Ini sama seperti milik ibunya, dulu. Atau memang aroma setiap ibu seperti ini?
Melepasnya perlahan, karena Valerie merasakan uraian dengan gerakan halus. Menelisik kedua bola mata abunya, sama halnya dengan yang dirinya dapatkan. Valerie tersenyum, begitu pula ibu Justin.
"Kau baik-baik saja sayang?" tanyanya lembut sembari menarik tangannya dan di letakkan di atas pangkuannya—setelah terduduk di atas sofa apartemen. Nyaman. Valerie seperti merasa bersama ibunya sendiri—atau tidak—lebih tepatnya dirinya merindukan ibunya mendapati perlakuan manis dari Pattie.
"Apa dia baik?" tanyanya sekali lagi dan mengusap perut datar Valerie.
Tersenyum kikuk, Valerie hanya memberi jawaban anggukan. Valerie senang karena toh meski ini pertemuan pertamanya dengan Pattie dan mendapat sambutan hangat. Setidaknya, bayinya di terima dengan baik bukan?
"Kau harus menjaganya. Jangan terlalu lelah. Apa bocah itu menyusahkanmu sayang?" Tertegun, tentu saja. Valerie terdiam beberapa saat lantas menatap Justin yang tengah mendengus. Pikiran Valerie berkecamuk dengan satu pertanyaan, siapa yang di maksud dengan bocah? "Justin maksudku." Astaga. Bukankah dia putranya. Detik selanjutnya Valerie tertawa pelan dengan mengalihkan pandang menatap Justin yang tengah mencebikkan bibirnya.
"Mom!?" seruan rengekan manja dari Justin yang sedikit membuat Valerie membulatkan mata. Ya Tuhan, bagaimana nanti jika anaknya tahu ayahnya begitu konyol dan manja?
"Diamlah Justin!" Hardiknya yang lantas membuat Justin terdiam. Langkah kakinya semakin mendekat lantas melayangkan satu pelukan dengan ciuman mendarat tepat untuk Ibunya. Valerie tertawa, sungguh.
Valerie tak percaya jika lelaki dewasa sepertinya sangatlah manja. Ya, memang selama ini dirinya selalu manja kepadanya. Tapi sungguh ini berbeda. Ini sosok baru yang tengah Valerie lihat: ‘manis, Justinku sangat manis.’
Kini Valerie tahu bahwa Justin tak benar-benar dingin. Valerie mulai sadar bahwa sisi hangat pada sudut hatinya memang ada, hanya saja tersimpan. Dan orang-orang tertentu yang tahu akan hal itu. Satu pelajaran lagi yang Valerie pahami dan yakin tak akan kekurangan cinta darinya. Valerie percaya padanya, sangat. Tapi, bukankah takdir Tuhan tetap Tuhan yang memegang?
"Oh, Valerie sayang kuharap kau tak kesusahan mengurusnya. Dia, apa dia terlihat sangat manja. Aku yakin ya." Valerie kembali tersadar setelah terseret secara paksa pada kenyataan pikiran dengan mendapati tatapan lembut manik cokelat madu Justin. Mengalihkan pandang menatap abu mata Mom Pattie dan tersenyum simpul sembari menggeleng perlahan.
"Tidak. Tidak sama sekali Mrs..."
"Mom. Panggil aku Mom. Jangan coba-coba memanggilku Mrs." Ancamnya—dengan jari yang di acungkan langsung ke wajah Valerie. Oh jadi dirinya sedang mendapat ancaman, ya? Astaga. Lantas melayangkan senyum untuk membalasnya, "Biasakan untuk memanggilku Mom." Bisakah Valerie berpikir bahwa Justin dan ibunya sama? Maksudnya adalah sama-sama memiliki sifat memerintah atau bisa saja itu keturunan. Sepertinya iya. Dan Valerie berharap anaknya tidak begitu nantinya.
"Baiklah Mom," jawab Valerie canggung lantas melarikan pelukan ketika kedua tangannya memberi ijin Valerie dengan merenggangkan kedua tangannya, lagi. Oh sepertinya ini akan menjadi pelukan favoritnya setelah Justin yang pertama. Tidak, pelukan Justin yang kedua. Itu cukup adil bukan?
****
Aku menyiapkan semuanya meski ocehan Justin benar-benar masih jelas terdengar. Entah apa yang merasuki pikiran lelaki itu tapi, terus terang saja mulutnya tak mau terhenti. Menggerutu, hanya itu yang Valerie lakukan meluapkan kekesalannya. Ya Tuhan!
"Berhentilah Valerie, Demi Tuhan!" Valerie hanya mendengus setelah memandang wajah kesalnya. Menjulurkan lidah dan berlari masuk ke arah dapur, mengabaikan kicauan Justin. Suaranya bahkan naik satu oktaf membuat Valerie merasa geram. Aku tidak tuli, apa dia bodoh? Begitu umpat Valerie.
"Mom... Valerie berlari." Teriaknya tanpa tanggung-tanggung.
Memutar kedua bola mata terheran, Valerie tak menyangka jika mulutnya semacam wanita hamil yang tengah mengidam. Dan apa tadi? Valerie tak salah dengar bukan, dia melapor pada Mom hanya karena dirinya berlari. Valerie tak percaya ini. Sungguh. Bunuh saja dirinya sekarang!
"Kau tak perlu berteriak Justin. Aku belum tuli, dengar!" Melayangkan satu tarikan pada telinga kanannya yang bertindik, Valerie tertawa puas menjulurkan lidah, mengejeknya. Tentu saja Valerie merasa puas. Sepertinya Mom Pattie benar-benar yang terbaik karena dengan suka rela membalas semua kesengitannya pada sikap Justin.
"Mom... Astaga! Aku tak percaya ini. Ibu dan istriku begitu tega merusak telingaku. Oh sayang, kau harus menjadi putra terbaikku. Daddy tersiksa disini." Apa-apaan ini. Mulutnya bahkan dengan pintar bermonolog mencoba mempengaruhi bayinya.
Tukkk
Valerie menyentilkan satu jarinya tepat mengenai dahi berkerut Justin dengan bibir mengerucut. Apa peduliku? Salah siapa berbuat demikian; dengan sengaja dan sadar merayu bayiku? Valerie bahkan masih sempat melayangkan tatapan tajam meski bibir seksi merah mudanya mengerucut. Valerie bersumpah, jika bukan di depan Mom Pattie dirinya amat sangat ingin mencium Justin. Dan bagaimana bisa, lelaki dingin sepertinya sangat manja ketika bersama dengannya?
"Perayu ulung! Jangan buat bayiku menyebalkan sepertimu Justin." Tegasku memerintah paksa, mau tidak mau tentu saja.
"Ini putraku maple." Tangan kekarnya dengan pintar tanpa ijin mengusap perut Valerie—entahlah akhir-akhir ini Justin amat sangat suka menyentuh perutnya, yang sayangnya sangat dirinya nikmati. Darahnya berdesir, bahagia dan hangat. Dadanya terjalari rasa bahagia dengan ribuan kupu-kupu yang beterbangan. Memejamkan kedua bola matanya dan menyandarkan kepala pada d**a bidang Justin.
"We love you daddy."
***