Ketimplaaaak!!!
Hp jadul Dahlia sempurna mendarat di dadaku. Sakit sekali. Sepertinya jantungku sudah lepas karena kekuatan lemparannya sampai membuatkan meringis menahan sakitnya.
"Aku hanya praktek lempar tikus, gimana? Kira-kira tikusnya mati gak kalau lemparnya kayak gitu?"
"Cewek gila! Ini sakit tau! Iiissh!"
Aku mengelus dadaku, menikmati sakit yang semakin mudar. Ingin rasanya kucekik gadis di depanku ini, tapi ekspresi tawanya yang berbinar menyipitkan matanya cantik itu membuatku luluh. Sekarang aku yang terlihat payah.
"Ambil lagi hpmu sebelum kuinjak sampe remuk!"
Aku menendang hp jadul itu dengan keras, hingga benda itu meluncur cepat menabrak kaki Dahlia. Gadis itu memungutnya sembari masih manahan tawa.
"Aku mau pulang. Tapi aku harus menemukan baju dan rokku yang tadi," desisnya setelah meneguk air mineral kemasan.
"Buang saja! Baju itu sudah cocok jadi kain lap," ketusku tak peduli dia tersinggung. Dadaku masih nyeri gara-gara serangannya itu.
"Apa kamu tak bisa menghargai orang lain dan barang yang dimilikinya? Dasar tikus!" umpatnya membelakangiku dan melenggang keluar.
Eeeih ... dia bilang apa tadi?! Enak sekali mulutnya menyamakan aku yang terawat ini dengan tikus.
"Jaga ucapanmu ya! Bagaimana kamu bisa menyamakan aku dengan binatang pengerat itu?!" berangku mengejarnya serius.
"Ya. Sama-sama menyebalkan."
Aku melotot dan berniat menangkap bahunya. Namun tiba-tiba, Cristi muncul.
"Tuan, mau pulang?'
" I-iiya," jawabku singkat mencoba menetralisir suasana.
"Mbak, maaf, baju saya yang tadi, apa masih?" tanya Dahlia yang membuatku membuang wajah karena malu.
Bagaimana dia masih mencari baju kumuhnya itu setelah ia mendapatkan pakaian indah dan elegan?! Aku hampir tak percaya ini. Luar biasa ciptaan Allah.
"Ooh, tentu saja, Mbak. Kami akan menyiapkannya," jawab Cristi tersenyum lalu menekan tombol di telinganya.
"Tolong baju customer yang tadi itu, dibawa ke lobi," perintah Cristi seperti sedang terhubung melalui alat di telinganya itu.
Tak lama, seorang karyawan cantik sedang mendekati kami dengan membawa goodiee bag. Kalau ada lobang di depanku sekarang, aku pasti langsung lompat dan bersembunyi. Gadis yang kubawa ini sungguh menguras keelitanku.
"Terimakasih ya, Mbak-Mbak semua atas kerja kerasnya hari ini. Maaf saya banyak merepotkan," ujar Dahlia dengan nada lembut dan sedikit membungkuk.
Wow! Bisa juga dia terlihat elegan dan santun.
"Sama-sama. Sudah menjadi kewajiban kami melayani dengan sepenuh hati. Ngomong-ngomong, Mbak Dahlia sangat beruntung karena Mbak adalah wanita yang pertama kali dibawa Tuan ke sini," ujar Cristi.
Perasaanku sangat malu. Dahlia pasti sangat besar kepala.
"Itu mungkin karena hanya sayalah yang memiliki stok sabar yang melimpah, Mbak," jawab Dahlia dengan senyum yang tertahan.
"Sepertinya begitu," tanggap Cristi tertawa renyah.
Aku yang mendengar pembicaraan dua wanita itu hanya bisa tersenyum kecut. Setelah berpamitan dan keluar dari klinik, Dahlia berhenti ketika akan menuju parkiran mobil.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Aku mau pulang sendiri. Aku akan ke toko, mau beli diapers Nadia dan beberapa kebutuhan lainnya. "
"Aku bisa antar," tawarku.
Dahlia menggeleng.
"Tolong, biarkan aku sendiri. Saat ini, aku ingin menikmati waktuku sendiri," ujarnya terlihat serius.
Aku tak punya pilihan selain mengangguk. Kurogoh dompetku dan mengeluarkan sepuluh lembaran merah gambar presiden pertama.
"Bawalah!" seruku menyerahkan uang itu tanpa ragu.
Dahlia menggeleng. Ia justru membuka goodie bag, seperti merogoh kantung kain. Gadis itu lalu memperlihatkan buntelan uang sembari tersenyum mengeleng-gelengkan kepalanya menggodaku. Aah manis sekali. Rupanya ada uang di kain lusuh yang dipakainya. Dasar wanita, ada saja tingkahnya! Aku tersenyum lebar.
"Ck! Apaan?! Ini tambah. Belikan bayi itu yang terbaik. Kamu jangan korupsi!" ancamku mendecak, menahan senyumku.
"Nilai Pkkn ku masa SD paling tinggi. Hmm ... Terimakasih ya," ujarnya masih tersenyum, meraih uang itu.
Entah kenapa, suasana ini terasa hangat meskipun aku melangkah pergi meninggalkannya.
***
POV AUTHOR
Dahlia asik membaca komposisi pada bubur bayi yang baru saja dibelinya. Plastik putih yang bertuliskan nama toko tempatnya berbelanja diletakkan begitu saja di atas meja bundar. Beberapa meja juga berderet tepat di depan toko itu, seperti memang sengaja disediakan untuk para pengunjung untuk duduk.
Tiba-tiba seorang pemuda tampan dengan rambutnya diikat santai meletakkan juga belanjaannya di meja yang sama dengan Dahlia. Ada sedikit poni di depan dahinya. Wajahnya begitu sempurna dengan hidungnya yang menjulang tinggi di antara dua rahanganya yang terlihat kokoh. Kedua mata pemuda itu teduh namun sangat tajam. Ia sedang memeriksa poselnya dengan serius.
"Hallo. Pak Husen? Iya. Toko yang di depan apotik itu. Ooh. Oke dah. Ini saya jalan, Pak. Tunggu di situ, ya!" seru Dahlia meraih plastik putih yang berada di depannya lalu beranjak pergi.
Tak lama, pemuda tampan itu merogoh plastiknya, mencari minuman kemasan yang barusan dibelinya. Ia sangat kaget, justru yang di tangannya adalah botol s**u bayi. Sekelebat ia langsung melepas pandangannya ke segala arah. Terlihat seorang wanita berkerudung sedang berjalan mendekati laki-laki berjaket hijau yang sedang di atas motor. Wanita itu menenteng plastik yang ia yakini itu miliknya sebab sepintas tadi, wanita itu ada di depannya.
"Heey! Heeey!! Tunggu!!!" teriaknya segera bangkit.
Ponselnya berdering. Ia melirik benda yang sedang bergetar itu.
Mama Calling ...
Meski harus mendecak, ia terpaksa mengangkat panggilan itu. Bila tak mau mendengar omelan sepanjang kereta api.
"Hallo, Ma! Telponnya nanti ya! Im in rush!"
"Terburu-buru kenapa, Dareen?!"
"Ada wanita yang sedang membawa milikku, Ma!"
"Aduuh, kamu ini! Sudah cukup hari ini Aditya yang buat Mama pusing, jangan sampai kamu lagi!"
Dareen langsung menutup panggilan dari ibunya lalu meraih kasar plastik di depannya. Pemuda itu segera masuk ke dalam mobil mewahnya lalu melaju kencang mengejar gadis berhijab merah jambu yang sedang di atas motor ojek.