Bab 5

2495 Kata
Suasana tempat perbelanjaan yang begitu ramai tak menyurutkan niat seorang ibu paruh baya yang tengah antusias memilah-milah sebuah pakaian di salah satu toko dengan merk ternama. Yasmin tengah bersenang hati memilih jas yang akan dipakai putra bungsunya untuk melamar gadis pilihanya nanti malam. Tangan dan matanya dengan jeli memilih banyaknya jas yang tertata rapi di sana, memilih jas yang paling bagus dan sempurna untuk Aksa. Saat tangannya mengambil sebuah jas berwarna grey dengan sedikit motif dibagian d**a kiri tanpa sengaja matanya menangkap sekelebat bayangan calon menantu yang tentu wajahnya sudah sangat ia hafal. Ia hendak memanggil sang calon menantu yang juga berada di toko yang sama sampai ia menyadari bahwa ia menantu tak sendirian. Ada seorang pria berambut merah yang merangkul calon mantunya mesra. “Belanja lah sesukamu, Sayang.” Ucapan pria yang merangkul Sherly membuat Yasmin terdiam membatu. Niat hati ingin memanggil calon mantu ia urungkan dan mulai mendengarkan pembicaraan keduanya tanpa mereka sadari. “Alex, bagaimana bisa kau menyuruhku belanja sesukaku di toko jas pria?” Sherly dengan sengaja memasang wajah cemberut membuat Alex mencubit hidungnya gemas. “Hahaha … maksudku belanjalah sesukamu untukku, Sayang,” ucap Alex dengan mengacak asal helaian rambut Sherly. Sherly masih cemberut dengan bersedekap d**a. “Tahu begini aku malas pergi denganmu,” katanya. “Anggap saja ini bayaran karena nanti malam ada kekasih orang dilamar orang cacat,” suara Alex kini terdengar datar dan marah. Sherly segera merangkul Alex saat mendengar nada bicaranya mulai serius. “Kau cemburu? Ayolah Sayang ... kau tahu maksudku menikah dengan pria cacat itu. Jangan membuat ini rumit, lagipula yang aku cintai tetap dirimu.” Sherly berucap dengan suara menggoda dan manja. Yasmin seolah tak percaya mendengar dan melihat gadis yang selama ini ia anggap baik ternyata bersifat busuk. Tak kuasa menahan sakit hati, jas yang digenggamnya jatuh ke lantai. Ia benar-benar merasa bodoh, sangat-sangat bodoh. “Hiks ... hiks ... maafkan ibu, Aksa.” Ia menangis terisak dan bergumam pada dirinya sendiri. Seketika amarahnya muncul, ia mengusap air matanya dan menatap mantan calon menantunya kejam. Ia seorang wanita dan ibu yang baik, tapi jangan lupa bahwa seorang ibu yang baik dapat menjadi jahat saat menyangkut anak tercintanya tersakiti. Yasmin memasang wajah angkuh dan menghampiri Sherly serta kekasihnya. “Hai Sherly, apa yang kau lakukan disini?” Yasmin tersenyum teramat sangat manis kepada Sherly yang mungkin jantungnya serasa mau meloncat keluar melihat calon mertuanya. “Bi-- bi … ada disini?” suara Sherly seakan tercekat di tenggorokan melihat Yasmin menatapnya dengan senyum palsu yang jelas terlihat. Ia segera melepas rangkulan mesranya dengan Alex. Yasmin menatap Sherly dan Alex bergantian. “Sebenarnya aku ingin mencari jas untuk putraku, karena nanti malam akan melamar seorang gadis. Tapi kurasa Aksa tak membutuhkannya lagi sekarang. Sepertinya gadis itu tak cocok untuknya.” Yasmin berkata dingin dan angkuh. Glek … Sherly menelan ludahnya kasar. “A-- apa maksud Bibi?” Plak! Yasmin menampar Sherly dengan keras, ia tak bisa lagi membendung amarahnya. “Kau gadis kurang ajar, kukira kau berbeda dengan gadis murahan di luar sana, kukira kau gadis yang baik tapi ternyata kau lebih buruk dari itu.” Yasmin mengeluarkan isi hatinya yang benar-benar kecewa. Alex yang melihat kekasihnya mendapat tamparan segera mendekati Yasmin. “Hei, jangan kau pikir karena kau orang tua aku tak berani melawanmu. Seharusnya kau sadar, anakmu itu cacat, tak akan ada wanita manapun yang sudi menikahi pria cacat seperti anakmu. Kau benar-benar orang tua tak tahu diri.” Alex mendorong Yasmin hingga terjatuh. “Alex, hentikan.” Sherly mendekati Yasmin dan mencoba membantunya berdiri namun tangannya segera ditepis. “Jangan menyentuhku gadis sialan.” Yasmin mencoba bangun dan menatap Alex tajam. “Anakku memang cacat fisik, tapi tidak dengan hatinya. Berbeda dengan kalian dengan hati busuk kalian,” katanya tak gentar sedikitpun mendapat tatapan tajam Alex. Ia kemudian mendekati Sherly. “Ucapkan selamat tinggal pada perusahaan ayahmu gadis sialan,” ucapnya penuh penekanan di akhir kalimat. Setelah mengucapkan itu Yasmin segera pergi dari sana meninggalkan Sherly yang terduduk lemas. Alex hendak mengejarnya dan memberi Yasmin pelajaran namun ia urungkan saat melihat Sherly terduduk dengan menangis terisak. “Hiks ... bagaimana ini, perusahaan ayah….” Tangis Sherly kian menjadi, rencananya hancur sudah. Alex memeluk dan menenangkannya. “Tenang saja, aku akan memberi orang tua itu pelajaran.´Matanya memancarkan kebencian menatap Yasmin yang sudah pergi meninggalkan mereka. Yasmin tak peduli meski orang tua Sherly adalah temannya sekalipun, ia sudah sangat kecewa mengetahui sifat Sherly yang sebenarnya. *** Sesampainya di rumah, Bramono telah menunggunya di depan rumah. “Dimana barang belanjaanmu?” Bramono menatap heran dengan istrinya yang pulang dengan tangan kosong. Yasmin hanya diam kemudian memeluknya. “Hiks ... hiks ... maafkan aku, seharusnya aku mendengarkanmu, Suamiku.” Yasmin menangis terisak. “Ada apa? Sudahlah kita bicarakan di dalam.” Bramono membawa Yasmin ke dalam rumah dan memintanya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian Yasmin menceritakan perihal kejadian yang sebelumnya ia alami. “Hiks ... hiks ... maafkan aku ... sekarang bagaimana aku menjelaskannya pada Aksa, ia pasti sangat kecewa.” Yasmin tak tahu bagaimana ia menjelaskan semuanya pada Aksa, ia pasti akan sangat kecewa. Bramono memijit kepalanya yang terasa sakit. “Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya Yasmin.” “Sudahlah Bu, jangan menangis.” Aksa menghampiri ibunya dan mencari dimana ibunya itu duduk. Ia meraba wajah sang ibu dan mengusap air matanya. “Air matamu terlalu berharga untuk menangisi jalang itu.” “Maafkan ibu, Aksa.” Yasmin semakin menangis saat mendengar apa yang dikatakan Aksa. Sebenarnya Aksa mendengar semua pembicaraan kedua orang tuanya. Mendengar tangisan ibunya dan ia merasa iba. Ia marah pada dirinya sendiri, karenanya ibunya harus mengalami hal memalukan seperti ini. Semua ini karena ia cacat. “Jangan meminta maaf, ini bukan salahmu Bu.” Tatapan kosong Aksa mengarah pada Yasmin dengan ibu jarinya yang masih menghapus jejak air matanya. “Tapi Aksa … tetap saja ini semua karena kebodohan ibu. Hiks … maaf.” Yasmin terus saja meminta maaf dan itu semakin membuat Aksa kesal dengan dirinya, dengan keadaannya. Bramono pun tak dapat berkata apapun, ia tak dapat menyalahkan istrinya karena ia tahu istrinya hanya ingin yang terbaik untuk Aksa. Dan sore itu menjadi sore buruk bagi keluarga Mahardika *** Beberapa hari telah berlalu pasca kejadian yang menyadarkan Yasmin. Kini kehidupan keluarga Mahardika itu berjalan seperti hari-hari sebelumnya. “Ayah Sherly menghubungiku dan meminta maaf.”Bramono membuka pembicaraan saat Yasmin tengah membantu melepas jasnya saat pulang dari kantor. Wajah Yasmin seketika muram mendengar suaminya kembali membicarakan mantan calon menantunya yang kurang ajar itu. “Lalu?” tanyanya. “Aku membatalkan memberi suntikan dana untuk perusahaannya. Sebenarnya urusan pribadi tak seharusnya kubawa dalam urusan pekerjaan, tapi kelakuan putrinya benar-benar tak bisa dimaafkan,” kata Bramono yang terlihat menahan emosi, meski orang tua Sherly temannya sendiri ia tak bisa menerima kelakuan putri mereka. “Dimana Aksa?” tanyanya saat melewati kamar Aksa dan tak melihat putranya itu dalam kamar. “Dia bilang ingin menghirup udara segar. Dia pergi ditemani Bambang, kau tahu dia tak pernah ingin aku yang menemaninya,” ujar Yasmin dengan menunduk sedih mengingat Aksa. “Jangan berpikiran buruk, Istriku. Aksa pasti punya alasannya sendiri kenapa ia tidak ingin ibunya menemaninya keluar rumah.” Bramono merangkul Yasmin dan mengusap lembut bahunya. “Ya aku tahu, tapi aku sama sekali tidak keberatan jika menemaninya keluar. Bagaimanapun juga dia anakku, seperti apapun keadaannya aku sama sekali tidak merasa malu jika semua orang tahu dia adalah putraku,” ucapan Yasmin bernada sendu. “Sudahlah, lagipula Bambang bersamanya, mungkin ia hanya tidak ingin kau merasa lelah jika harus mendorong kursi rodanya,” kata Bramono agar istrinya itu kembali berpikir positif. *** Aksa kini berada di taman di tempat biasa ia menghabiskan waktu jika ingin mencari udara segar. Semilir angin mengingatkannya saat kejadian dimana ia kehilangan penglihatan dan tak bisa berjalan, sampai sebuah suara menghamburkan segala ingatannya. “Tuan? Kau ada disini? Setelah beberapa hari aku baru melihatmu lagi.” Gadis itu adalah Khaila Naura, gadis yang mungkin tiga kali ini ditemuinya di taman. “Boleh aku duduk disini?” tanya Naura dengan sedikit ragu. “Terserah.” Aksa berkata dingin. “Terimakasih.” Naura berucap tulus dan segera duduk di sebelah Aksa. Seperti biasa ia akan mengeluarkan alat lukisnya dan melukis sesuatu. “Oh ya … kemarin aku belum meminta maaf. Maafkan aku, sepertinya kemarin kau terganggu hingga meninggalkan tempat ini.” Naura menoleh dan menatap Aksa dengan pria itu masih tetap menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Tak mendapat jawaban, Naura justru menikmati wajah tenang Aksa dari samping. Tanpa sadar ia mengamati wajah tenang dan tampan itu dan menyalurkannya pada kertas di tangannya dengan goresan pensil yang teratur. “Andai saja pria ini tidak buta dan cacat mungkin ia akan jadi aktor terkenal dengan ketampanannya,” batin Naura. Wajah tampan nan rupawan pria ini tak dapat diragukan lagi. Seakan baru tersadar, Naura justru terkejut melihat kertas yang sebelumnya kosong kini telah berisi wajah Aksa yang tenang dengan semilir angin yang mengibarkan rambutnya yang sedikit memanjang. Blush... tiba-tiba Naura merasa wajahnya memanas. Ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain dan memasukkan hasil sketsa gambarnya yang hampir selesai ke dalam tas. Meski pria di sampingnya ini tak dapat melihat tapi ia merasa malu karena menggambar wajah pria itu. Ia segera mengambil kotak makan yang ia bawa dari dalam tas berusaha mengalihkan pikirannya yang sepertinya mulai terganggu dengan hasil goresan tangannya. “Tuan … um … entahlah siapa namamu, aku membawa makanan, cobalah.” Naura menyodorkan kotak makanannya pada Aksa namun ia sama sekali tak bergeming. Tak mendapat respon apapun Naura mengambil sesendok salad sayur buatannya ditambah dengan irisan tomat kemudian mendekatkannya ke mulut Aksa. “Kau tenang saja, aku tak akan meracunimu. Anggap ini sebagai permintaan maafku karena dua kali kita bertemu sepertinya aku selalu membuatmu marah.” Naura mengerti pria di sampingnya ini pendiam dan selalu berkata dingin namun ia mengabaikan itu. “Apa mak--” Belum sempat Aksa menyelesaikan kalimatnya, Naura memasukkan sesendok salad dengan irisan tomat itu tepat di mulut Aksa. Dengan terpaksa Aksa mengunyah makanan dengan rasa tomat kesukaannya. “Kau benar-benar lancang,” ucap Aksa setelah menelan makanan Naura suapkan. Meski mulutnya berkata demikian, namun rasa yang ditinggalkan makanan tersebut membuatnya ingin kembali menikmatinya. “Maafkan aku. Bagaimana?” Tanpa rasa berdosa Naura justeru menanyakan rasa makanan buatannya. “Lihat, kau tidak mati kan?” Ia menyuapkan makanan yang sama ke mulutnya dan berkata, “Aku juga memakannya kau dengar?” Mendekatkan mulutnya ke telinga Aksa berharap Aksa mendengar jika ia juga mengunyah makanan yang sama. Mendengar kunyahan Naura justru membuat Aksa ingin lagi menikmati makanan yang menurutnya lumayan enak itu. “Apa kau selalu bersikap tak sopan seperti ini pada setiap orang?” Aksa mencoba menghilangkan rasa inginnya menikmati lagi makanan itu dengan berkata sarkastik pada Naura. “Kau menganggapku tak sopan?” tanyanya sarat nada tak terima. “Kenyataannya seperti itu.” Aksa berucap dengan enteng seakan tak peduli perasaan Naura. “Baiklah maafkan aku. Aku merasa tak baik mengabaikan seseorang. Kau ada di sebelahku, mana mungkin aku mengabaikanmu dan menganggapmu tak ada? Aku tak bisa, diabaikan itu menyakitkan, kau tahu?” ujar Naura panjang dengan nada kesedihan di akhir kalimatnya. “Kau sedang menceritakan masalahmu?” sindir Aksa dan menoleh pada gadis di sebelahnya. “A-- apa? Tentu saja tidak, kau bertanya dan aku menjawab.” Naura mengibaskan kedua tangannya di depan d**a menyangkal tuduhan Aksa padanya. Setelahnya suasana kembali hening tak ada suara lagi dari Aksa maupun Naura. Sampai tanpa sengaja tangan Aksa menyenggol kotak makanan yang Naura letakkan di sampingnya. Melihat hal itu Naura mencoba kembali mencairkan suasana. Ternyata pria di sampingnya ini masih bisa diajak bicara meski dengan kosakata yang menurutnya sedikit menyebalkan. “Apa kau ingin lagi?” tanya Naura dan mengambil kembali sushi dari kotak makannya. “Tomat,” pinta Aksa. Sepertinya ia tak bisa menahan rasa yang tertinggal di mulutnya dan ingin kembali menikmati makanan itu. Sesuai keinginannya, Naura mengambil potongan tomat yang lebih besar dan menyuapkannya pada Aksa. Aksa membuka mulut dan mengunyah potongan buah kesukaannya itu. Aksa tak tahu kenapa, mungkin karena ia tak bisa menahan diri dari buah kesukaannya hingga ia mau disuapi oleh orang asing. “Jadi kau suka tomat?” tanya Naura yang kini menatap Aksa dengan tatapan yang sulit diartikan. Aksa hanya diam dan menikmati rasa lezat yang masih tertinggal di mulutnya. Ia ingin mengatakan sesuatu sampai gelak tawa dari beberapa orang pria terdengar jelas olehnya. “Wah … wah … wah … kalian romantis sekali. Hahaha….” Beberapa pria berjalan ke arah Aksa dan Naura. “Daripada kau suapi pacarmu yang cacat itu lebih baik suapi aku saja, hahaha….” Suara orang-orang itu dapat terdengar jelas oleh Aksa saat mereka berjalan mendekati Naura. “Kasihan sekali, wanita secantik dirimu memiliki kekasih yang cacat. Ayo ikut dengan kami saja.” Salah seorang pria berucap dengan nada menggoda pada Naura dan menatap Aksa dengan tatapan menghina. “Hah….” Naura menghela nafas dan menatap Aksa yang hanya diam. Tangannya sedikit mengepal. “Setidaknya kekasihku tak memiliki mulut busuk seperti kalian.” Naura berucap dengan senyum yang teramat manis namun terlihat jelas itu hanya senyum palsu. “Apa! Berani sekali kau!” Satu dari empat pria itu hendak menarik Naura sampai seketika ia berdiri dari duduknya dan berteriak dengan sangat keras. “Pak Polisi … tolong … ada preman yang menggangguku, tolong Pak polisi!” teriaknya keras dan melambaikan tangan ke arah dua polisi yang berada tak jauh dari tempatnya. Ia sudah sangat hafal bahwa di jam ini akan selalu ada polisi yang melakukan patroli keliling. Mendengar suara sirine polisi mendekat ke arah mereka, orang-orang itu segera berlari kalang kabut. “Apa yang terjadi Nona?” Polisi itu tiba setelah segerombolan pria tadi sudah kabur. “Tadi ada empat pria ingin mengganggu kami Pak, tapi mereka segera pergi saat aku berteriak dan melihat anda menuju kesini. Terimakasih.” Naura membungkuk 45 derajat dan mengucapkan terimakasih. “Apa mereka melukai kalian? Kami akan melakukan pengejaran,” ucap polisi itu dengan melihat padanya dan Aksa guna memeriksa keadaan keduanya. “Tidak Pak, kami baik-baik saja. Mereka tidak sempat melukai kami setelah anda segera datang. Sekali lagi terimakasih.” Naura kembali membungkuk hormat sebagai ungkapan terima kasihnya. “Baiklah jika seperti itu, kami akan berpatroli kembali. Terimakasih atas keberanianmu dengan segera berteriak memanggil. Kami akan memastikan orang-orang itu tidak akan kembali mengganggu pengunjung taman ini,” kata salah satu polisi itu. Setelahnya dua polisi itu pergi kembali melakukan tugas mereka. “Hah ... yang tadi itu hampir saja....” Naura menghela nafas lega. Ia beruntung karena saat dimana polisi itu melakukan patroli keliling. Ia kembali duduk di samping Aksa dan menyandarkan punggugnya pada pohon di belakangnya. Tanpa Naura sadari Aksa tersenyum tipis. “Kau cukup berani Nona,” pujinya namun terdengar seperti sindiran meremehkan di telinga Naura. “Terimakasih Tuan….” Naura memutar mata malas. Pria disampingnya sama sekali tak menghargai rasa takut yang sebenarnya ia rasakan saat berkata dingin pada orang-orang itu. “Darimana datangnya polisi-polisi itu?” tanya Aksa, ia masih tak percaya tiba-tiba ada dua polisi yang datang setelah Naura berteriak. “Polisi itu memang selalu melakukan patroli keliling di jam seperti ini,” ungkap Naura. “Darimana kau tahu?” tanya Aksa kembali. “Aku sering kesini di jam ini, jadi aku hafal betul kebiasaan yang terjadi di area taman ini,” ucap Naura kemudian mengambil botol air mineral dari dalam tas dan hendak meminumnya. “Sejak kapan aku jadi kekasihmu?” Brus…. Mendengar pertanyaan terakhir Aksa membuat Naura terkejut hingga menyemburkan air mineral yang hampir saja melewati kerongkongannya, untung saja ia tidak tersedak. Wajahnya memerah, bukan karena tersedak melainkan malu mendengar pertanyaan terakhir Aksa. “I-- itu karena aku ingin melindungimu.” Naura memalingkan muka, wajahnya masih terasa panas hingga ke telinga, meski tahu Aksa tak dapat melihat bagaimana wajahnya saat ini tetap saja rasanya ia benar-benar malu. “Namaku Aksa, senang bertemu denganmu Khaila Naura.” Dan detik itu juga mata Naura membulat sempurna, ia menatap Aksa tak percaya. Ia tak menyangka pria di sampingnya ini ternyata masih mengingat namanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN