Riset

1570 Kata
"Ind*mie memang seleraku," kata Luna puas setelah menghabiskan dua piring mie instan itu sekaligus. Cewek itu bahkan sampai bersendawa. "Habis ngamuk-ngamuk gara-gara cuman makan ind*mie malah habis dua bungkus." Arya mengejek. Padahal sendirinya habis tiga bungkus. "Jadi gimana tentang komikmu yang romance tadi? Sudah ada ide?" Arya mengalihkan fokus. "Belum sama sekali. Kayaknya emang aku beneran nggak bisa deh nulis romance deh. Gimana ya? Emang aku nggak pernah gitu pacaran yang romantis kayak di komik-komik. Pacaranku dulu penuh usaha dan penderitaan, mana akhirnya sad ending," keluh Luna sembari meletakkan kepalanya di atas meja. Arya terdiam. Padahal dia sudah menghindari membahas tentang Dika, tapi kok tetap saja akhirnya pembicaraan selalu mengarah ke sana. Apakah memang Luna masih belum bisa melupakan cowok itu. Arya menopang tangannya dengan dagu. Ya, walau bagaimanapun dia adalah cinta pertama Luna. Apalagi selama delapan tahun Luna tak pernah menyukai orang lain. Mungkin itu memang pukulan yang sangat berat baginya. "Mungkin kamu perlu riset supaya bisa nulis cerita romantis," kata Arya berusaha mengalihkan topik kembali. "Hm, riset apaan ya? Adegan macam apa  diperlukan dalam sebuah komik romance?" tanya Luna. "Hohohihe," jawab Arya gamblang. Wajah Luna seketika merona. Arya malah tersenyum tersenyum kecil melihat reaksi istrinya itu. "Aku ini nulis komik romance bukan hentai, g****k!" amuk Luna. "Ya ampun, Lun, kamu nggak perlu nulis sampai tahap itulah. Tapi seenggaknya kontak fisik itu emang perlu banget kalau di komik romance," tandas Atya. "Misalnya nih, komik kesukaanmu itu, Happy Mari. Inget nggak kamu chapter berapa yang kamu baca terus-terusan?" Wajah Luna makin merona. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Kalau aku berani nulis yang smutt kayak gitu pasti langsung dipecat jadi anak sama ibuku," keluhnya. "Komik romance ini jelas target marketnya usia dua puluh satu plus, kan? Kamu sih kebanyakan nulis cerita genre school life." Arya membuka smartphonenya dan menunjukkan pada Luna sebuah blog. "Baca deh, ini tips menulis cerita romance." "Oh, ini yang nulis Christiani Simomaro," ucap Luna tertarik, melihat nama si penulis blog adalah penulis novel romance yang cukup punya nama. Dia membaca artikel itu dan tertegun sejenak. ----------- Untuk mempermudah bayangan level sensualitas di novel romance, cobalah pakai teori "Twelve steps to intimacy" dari Desmond Morris sebagai panduan. Ingat untuk mainstream romance, tingkat keintiman yang digunakan hanya sampai nomor sembilan. 1. Eye to body 2. Eye to eye 3. Voice to voice 4. Hand to hand 5. Arm to shoulder 6. Arm to waist 7. Mouth to mouth 8. Hand to head 9. Hand to body 10. Mouth to breast 11. Hand to genitals 12. Genitals to genitals ---------- "Hem, aku nggak nyangka kalau beginian itu ada step-stepnya juga, btw siapa tuh Desmond Morris?" "Ahli zoologi asal Inggris. Gimana, apa sudah ada bayangan mau bikin adegan romantis macam apa?" tegur Arya. "Hem ... Eye to body itu maksudnya gimana? Ngelihat ceweknya b***l gitu? Atau cowoknya aja yang dikasih b***l?" Arya menepuk jidatnya. "Katanya nggak mau nulis komik hentai, kok pikiranmu itu udah b***l-b***l aja!" "Terus apaan dong! Aku nggak paham!" gerutu Luna kesal. "Baca artikel dibawahnya dong! Eye to body itu deskripsi tentang kekaguman pada fisik pasangan," jelas Arya. "Oh gitu," angguk Luna akhirnya mengerti. "Mau coba praktik?" tawar Arya. Mata Luna melebar. Dia menatap Arya kebingungan. "Apa? Gimana?" "Coba lihat aku, terus puji bagian dari wajahku yang menurutmu menarik," tantang Arya. "Oh, kayak gitu ya." Luna menatap Arya baik-baik. Meneliti bagian yang tampak menonjol dan bisa dipuji. Di mulai dari dahinya. Hm ... Dahi Arya itu nggak lebar. Sebagian tertutup anak rambutnya yang basah gara-gara habis mandi. Kedua alis, alisnya tebal bentuknya juga bagus. Luna berdecak mengingat bentuk alisnya sendiri yang hampir gundul. Bahkan dia nggak berani keluar rumah sebelum gambar alis dulu. Ketiga bulu mata, ya ampun bulu mata Arya lebat walaupun bentuknya nggak melengkung. Lagi-lagi Luna merasa iri. Keempat hidung, yah ... sepertinya emang ini bagian yang paling bagus dari wajah Arya. No comment. Kelima bibir, bibir Arya itu tebal. Pinggirnya agak menghitam sih karena cowok itu merokok, tapi kelihatannya cukup seksi. Luna terkesiap merasakan jantungnya yang tiba-tiba jadi berdebar. Ada apa ini?  Tahu-tahu, Arya menjulurkan lidah dan menjilat bibirnya. Luna sampai melotot. "Ngapain sih kamu dari tadi ngelihatin doang? Mana pujiannya? Udah berharap nih," tuntut Arya. "Ah, aku masih sulit melakukan ini. Coba deh, kamu duluan," dalih Luna. Selama dua puluh tujuh tahun dia dan Arya hanya saling hina. Tiba-tiba disuruh muji begini kok rasanya dia nggak sanggup. Arya mendengus. "Okelah," angguknya. Luna tertegun. Dia tertegun ketika melihat mata Arya yang fokus mengawasinya. Entah mengapa melihat pantulan wajahnya di bola mata Arya membuat pipinya jadi merona. Debaran jantungnya kembali meningkat. "Luna...." Luna merinding merasakan suara Arya yang terdengar dalam dan s*****l. Dia nggak tahu kalau Arya ternyata bisa mengeluarkan suara semacam itu. "Ya, kenapa?" tanya Luna. Dia gugup, berusaha menahan jantungnya tetap di tempat. "Jerawat baru ya itu di jidat sebelah kiri?" imbuh Arya sambil terkekeh. "Pujian woy!" geram Luna mendadak emosi sampai menggebrak meja. Arya malah tergelak. Kayaknya cowok itu puas banget karena berhasil mengerjainya. *** Pagi-pagi sekali Arya telah siap berangkat ke kantor. Dengan kemeja putih dihiasi dasi dan celana biru dongker dia keluar dari kamar dan menuju ruang makan. Luna sudah menata sarapan mereka di sana. Tempe goreng dan sambel terong. Makanan yang sederhana namun menggugah selera. "Makan, Sayang," ucap Luna menyambutnya. "Geli nggak sih manggil begitu?" tegur Arya sembari duduk di meja. Dia mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi, tempe dan sambel terong buatan Luna. "Yah, gimana lagi kalau kita manggil nama doang orang bakal curiga, kan? Biasakan panggil aku dengan sebutan itu," titah Luna. "Cuman buat hari Sabtu ini ya," kata Arya. Luna terdiam lalu terkekeh pelan. Arya ini emang bener-bener peka. Tahu saja dia rencana licik Luna untuk tampil mesra di hadapan Audy. "Seterusnya panggil begitu aja, temani aku riset marry life yang beneran," dalih Luna. "Oke deh," angguk Arya. Luna tersenyum senang. Bahagianya berteman dengan Arya yang mudah diprovokasi. Dia emang tipe phlegmatis yang nggak suka keributan dan males  mikir. "Ngomong-ngomong berapa orang yang bakal datang hari Sabtu?" tanya Luna. "Hm, aku nggak tahu. Kalau anggota timku ada sepuluh orang. Aku belum tanya apa mereka bawa keluarga nggak," terang Arya sembari meneguk air putih. "Kalau begitu aku pesan makanan dua puluh porsi saja ya, buat jaga-jaga," usul Luna. Dia meraih ponsel untuk menghubungi katering langganannya. "Hari ini bakal pulang sore," kata Arya, "Ayo nanti kita belanja camilan untuk hari Sabtu dan juga belanja bulanan." "Oke." Luna melenggut. Mereka lalu mulai fokus pada makanan masing-masing. Tak beberapa lama, Arya memecah keheningan. "Bagaimana perkembangan ceritamu? Apa riset kemarin membantu?" tegur Arya. "Yah, lumayan," jawab Luna. Jantungnya jadi sedikit berdebar mengingat kejadian semalam itu. "Hari Minggu mau nonton nggak?" tawar Arya. "Ada film apa?" Luna malah balik bertanya. "Itu loh, Webtoon kesukaanmu yang difilmkan." "Oh! Terlalu tamvan? Mau! Mau!" seru cewek itu girang. Dia memang sudah lama menantikan bisa melihat Webtoon yang dia tunggu updatenya tiap Minggu itu ke layar lebar. "Keren sekali ya, padahal author Webtoon itu masih kuliah katanya. Seandainya saja suatu hari komikku juga bisa difilmkan," kata Luna terkagum-kagum. "Bikin yang bagus dulu dan cari subscriber yang banyak," tutur Arya. "Semangat!" seru Luna sembari mengangkat tinjunya ke udara. "Aku sudah selesai, berangkat dulu ya, maaf nggak bantu cuci piring," kata Arya sembari bangkit. Dia meletakkan piring kotor ke bak cuci. Luna memandangi dasi suaminya itu yang sedikit miring. Dia bangkit lalu mencuci tangannya. "Tunggu sebentar, Ar," panggil Luna. "Apaan?" Arya yang sudah berjalan ke pintu depan berhenti. Luna menghampiri lelaki itu lalu membetulkan dasinya. "Ini miring," kata Luna. Arya tertegun melihat perbuatan istrinya itu tapi kemudian tersenyum. "Ini kayak di drama-drama romantis ya. Kalau kayak gini jadi kayak nikah beneran." "Yah, anggap saja begitu," jawab Luna sambil tersenyum kecil. Tahu-tahu Luna merasakan sentuhan hangat. Arya meninggal kecupan di puncak kepalanya. "Aku berangkat dulu ya, Istriku, sampai jumpa nanti." Netra Luna melotot. Wanita itu segera memprotes. "ARYA!" Cowok yang namanya diteriakkan itu hanya terkekeh lalu masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan rumah. Luna memegangi puncak kepalanya. Perasaannya kini campur aduk. "Dasar usil!" geram Luna. Dia tak mengerti kenapa sekarang jantungnya jadi sulit dikontrol kalau berdekatan dengan Arya. Tinggal serumah dan menikah sepertinya memang membawa banyak perubahan dalam hidupnya. Luna menutup pintu depan lalu masuk ke dalam rumah. Ponselnya yang masih di ruang makan bergetar ada panggilan dari Kak Tika. "Ya, halo Kak Tika." "Luna, aku sudah baca prolog naskahmu yang baru, bagus! Pasti efek nikah bikin adegannya jadi lebih real ya," cerocos editornya itu. Luna hanya tertawa kering. "Aku sudah mereview dan memberikannya pada chief editor. Dia tertarik juga. Kamu bisa setor season satu, kan? Dua puluh lima chapter ya, seperti biasanya." Luna menutup mulutnya. Nggak menyangka pagi-pagi begini dia sudah dapat kabar bahagia begini. "Ya, Kak!" serunya riang. "Ngomong-ngomong, aku mau ambil cuti lebih cepat, kemungkinan akhir bulan ini," aku Kak Tika. "Eh, kenapa? Ada masalah dengan kandungan Kakak?" tanya Luna khawatir. "Nggak ada apa-apa kok, cuman suamiku yang makin cerewet aja. Dia pengen aku istirahat mendekati persalinan ini. Jadi ya, nanti naskahmu bakal ditangani oleh editor lainnya. Aku kasih nomornya ya, coba kamu hubungi dia." "Oke Kak, selamat istirahat, semoga lancar sampai persalinan." "Aku tutup dulu ya, nanti w******p aja." "Oke." Luna mengakhiri pembicaraan di telepon. Gadis itu lalu membuka w******p. Dia tertegun melihat kontak yang dikirimkan Kak Tika padanya. Itu adalah kontak Dika, mantan pacarnya. Tangan Luna bergetar. Tiga tahun sudah berlalu namun rasanya baru kemarin. Dia kira dia tak akan berhubungan lagi dengan pria ini. Nyatanya kini takdir mempertemukan mereka kembali. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN