Memories-1 THEN

1983 Kata
Cuap2 dulu ya sebelum mulai membaca. Cerita Just Memories adalah rangkaian dari Dark Side of Love series (Cerita Oh My Darling-cerita tentang Irza tidak termasuk dalam series ini). Dark Side of Love series terdiri dari: 1. Yes Daddy? (Story about Luthfi Khawas) 2. Just Memories (Story about Melody Lerina Khawas) 3. It's Crazy It's Love (Story about Symphony Carolina Khawas) By the way cerita Just Memories ini menggunakan alur maju mundur. Setting waktunya dimulai dari sembilan tahun yang lalu, sebelum cerita Yes Daddy bermula. Sudah gitu aja perkenalannya. Selamat membaca semuanya. ^vee^ ~~~~~ Melody menyapa riang petugas keamanan yang sedang berjaga saat memasuki menara AIF, gedung tempat Melody bekerja setelah tamat kuliah enam bulan lalu. Meskipun Melody adalah putri bungsu dari pemilik Khawas Group, raksasa bisnis di berbagai bidang usaha terutama property dan konstruksi, tidak lantas membuat Melody besar kepala dan bersikap menerima beres segala hal yang telah disiapkan oleh Khawas Group. Melody yang terbiasa mandiri lebih suka mengerjakan hal-hal yang sesuai dengan kata hatinya. Seperti saat ini, Melody lebih memilih bekerja di AIF Group atau PT. Auto International Finance , sebuah perusahaan milik asing yang memfokuskan usahanya ke pembiayaan sepeda motor dengan merek dagang tertentu pada bidang pembiayaan konsumen secara retail, ketimbang mengurus usaha bisnis milik mendiang ayahnya. "Sudah ada Bang Luthfi dan Kak Syfo. Khawas Group nggak bakal bangkrut meski aku nggak berkecimpung di dalamnya." Seperti itu yang dikatakan Melody ketika dia mengambil keputusan bekerja di luar perusahaan yang dimiliki Khawas Group. Melody biasa memulai harinya dengan sarapan yang lebih suka dia lakukan di kantor daripada di rumah sendiri. Melody menyapa salah satu teman yang sudah terlebih dulu duduk di salah satu bangku yang ada di kafetaria pagi ini. "Lo udah denger kabar mutasi besar-besaran nggak, Mel?" tanya Popy, teman yang disapa Melody beberapa saat lalu. Melody menggeleng sembari menusuk kotak s**u UHT miliknya dengan sedotan yang telah tersedia. "Baru denger sekarang ini," jawabnya setelah meneguk s**u rasa coklat itu hingga tersisa separuh kotak. "Gue takut dipindah ke cabang nih," keluh Popy. "Emang kenapa? Di cabang kalau lo jadi manager kan lumayan tuh salary-nya." "Iya kalau manager? Kalau cuma staf doang? Gaji pokok gue alamat berkurang, ngikutin tren standar gaji di kota tempat cabang berada." "Ya berdoa aja, semoga dipindahinnya nggak jauh-jauh dari Jakarta, jadi standar gajinya masih sama." "Lo, sih, enak! Mau gaji berapa juga hidup lo tetap makmur dan sejahtera. Secara, harta lo nggak bakal habis tujuh turunan, Mel." "Kita mati nggak bawa harta, cuma bawa kain putih selembar nggak sampai tiga meter. Lagian harta itu cuma titipan Tuhan, bukan punya kita, Pop," jawab Melody mengangkat telunjuk kanannya ke arah atas. Popy mendengkus resah. "Seenggaknya kan lo nggak mesti mikir keras, apa gaji lo bakal cukup untuk bayar kosan dan makan sampai tanggal gajian bulan berikutnya datang," ucapnya lesu. "Selama ini gue makan dari gaji kerja di AIF Group kok, bukan Khawas Group," jawab Melody, masih berusaha santai menanggapi keluhan demi keluhan temannya itu yang membanding-bandingkan nasib mereka. "Tetap aja hidup lo jauh lebih enak dari pada gue, Mel." "Ya udah sini tukeran. Lo jadi gue, terus gue jadi elo. Gimana? Deal?" tantang Melody, mulai kehabisan kesabaran. "Ya nggak gitu juga konsepnya, kakak," jawab Popy malas. Melody tertawa hingga hingga memamerkan lesung pipit di pipi sebelah kanannya. Dia melingkarkan lengan di leher Popy, merangkul hangat teman baiknya itu. Melody lantas mengajak Popy bergegas menyelesaikan acara sarapan, lalu segera kembali kembali ke lantai lima belas, tempat bilik kerja mereka berdua berada. *** Mutasi besar-besaran yang dikatakan oleh Popy ternyata bukan isapan jempol semata. Baru setengah jam yang lalu Melody dan Popy kembali ke bilik kerja masing-masing, manager mereka memanggil satu persatu staf karyawan yang berada di divisi managemen kredit. Willy menyampaikan perihal mutasi staf karyawan yang berada di bawahnya secara personal, tidak seperti manager di divisi lain yang lebih memilih menyampaikan soal mutasi di forum rapat. Seluruh wajah menunggu dengan perasaan harap-harap cemas saat ini. Suara bisik-bisik mulai terdengar. Kursi-kursi beroda mulai saling mendekat membentuk sebuah lingkaran kecil demi bisa berbagi info dari rekan yang sudah dipanggil ke ruang manager. Tiba giliran Melody dipanggil oleh Willy ke ruang manager, gadis itu terlihat lebih santai dibanding teman-temannya yang lain. Padahal Melody adalah staf terakhir yang dipanggil hari ini. Dia sama sekali tidak terganggu oleh ekspresi teman-temannya yang sudah terlebih dahulu mendapatkan surat mutasi. Dia menganggap bahwa mutasi adalah sesuatu yang wajar terjadi di sebuah perusahaan, terlebih perusahaan tersebut perusahaan besar yang memiliki cabang usaha di berbagai kota. Seperti itu yang kerap diajarkan oleh abangnya ketika Melody mengambil keputusan lebih memilih bekerja di tempat lain, sebagai pembuktian bahwa dia bisa survive meski tidak berada langsung di bawah payung bisnis Khawas Group. Setelah duduk nyaman di kursi yang ada di depan meja Willy, pria berwajah oriental dan berkacamata itu mulai menerangkan soal mutasi pada Melody. Terutama perihal lokasi dan posisi Melody bila mutasi nantinya. Mengerti dengan penjelasan atasannya, Melody hanya menanggapi dengan anggukan tenang tanpa sedikitpun memberi bantahan seperti staf Willy yang lain. "Kamu siap kalau ditempatkan di kantor regional, Mel?" tanya Willy setelah memberikan penjelasan singkat perihal mutasi pada Melody. "Posisi saya nanti sebagai apa, Pak? Tetap di divisi managemen kredit atau pindah divisi?" "Tetap di divisi managemen kredit, dan kamu masih berada di bawah pengawasan saya sepenuhnya. Untuk posisinya nanti namanya regional credit manager." Melody menggeleng. Dia tahu betul pekerjaan dan tanggung jawab posisi yang disebutkan oleh Willy itu. Melody pernah mempelajari struktur organisasi AIF Group saat training, sebelum resmi menjadi karyawan AIF Group. "Bukannya terlalu cepat bagi saya yang hanya seorang staf biasa divisi managemen kredit, tiba-tiba menjadi seorang regional credit manager? Pak Willy mau mempermalukan saya atau bagaimana, Pak?" tanya Melody sembari tersenyum masam. "Loh, memangnya kenapa? Saya akan membimbing kamu dan tidak akan meninggalkan kamu begitu saja dalam mengemban amanat ini, Mel." "Saya tidak bisa, Pak. Bukan saya tidak mau dimutasi-" "Ini bukan sekedar mutasi, tapi promosi bagi kamu, Mel." "Maka dari itu saya menolak promosi ini." "Lantas mau kamu apa? Saya tidak berani mengambil risiko kalau sampai Abang kamu tahu soal mutasi kamu tapi tanpa kompensasi menguntungkan," ucap Willy akhirnya, lesu menyampaikan alasan mengapa dirinya memberi jabatan setinggi itu pada Melody yang notabene belum lama menjadi karyawan AIF Group. "Jangan bawa-bawa Abang saya ke dalam pekerjaan saya," timpal Melody tidak terima dengan pembelaan Willy. "Saya mau-mau saja dimutasi ke kantor regional meski tanpa kompensasi apa pun," jawab Melody penuh kepastian. "Kalau ada apa-apa sama saya gimana, Mel?" "Ini nggak ada sangkut pautnya sama sekali. Saya bisa memastikan soal itu, Pak." "Oke, fine! Saya akan menghubungi bagian HRD regional, menanyakan posisi yang kosong di regional sana untuk kamu. Regionalnya tidak bisa pilih ya, Mel. Tetap regional yang sebutkan di awal tadi." "Iya, saya bersedia ditempatkan di manapun asalkan mendapatkan posisi jabatan yang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan saya, Pak." Willy tersenyum lantas berlalu dari hadapan Melody.  Dia menghubungi HRD regional Jawa Barat I untuk mencarikan posisi yang diinginkan oleh Melody. Setelah sepuluh menit mengobrol melalui sambungan telepon pribadi, Willy kembali ke mejanya menemui Melody. "Oke, Mel. Awal bulan kamu resmi menjadi staf administrasi divisi managemen kredit Regional Jawa Barat I. Hari ini saya akan urus berkas-berkas mutasi kamu. Mungkin tiga atau empat hari hari lagi form pemindahan divisi kerja akan mendapat persetujuan semua pejabat terkait. Nanti form yang sudah signed akan saya kirim ke kamu melalui email," jelas Willy. Melody tersenyum puas karena Willy mendengarkan permintaannya. Saat keluar dari ruangan manager Melody disambut oleh teman-temannya yang sudah terlebih dulu mendapatkan kabar soal mutasi masing-masing. "Awal bulan depan gue udah nggak ngantor di menara AIF lagi," ucap Melody santai. "Lo mutasi di mana, Mel?" "Regional Jawa Barat I. Divisi masih tetap seperti sekarang, cuma ganti tempat kerja doang." "Lo kok, bisa santai gitu, sih, Mel? Regional Jawa Barat I kantornya di Bandung, kan? Lo pindah ke Bandung dong?" "Santai ajalah. Masih Bandung ini. Daripada Regional JABAR II, kantornya di Banjar." "Ya, sih." "Setidaknya gue punya alasan kuat untuk keluar dari rumah abang gue yang lo semua bilang bak istana dewa dewi itu," ujar Melody tak acuh, kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya. Dia hanya punya waktu beberapa hari kerja saja untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya di kantor pusat AIF Group, sebelum resmi pindah kantor di Regional Jawa Barat I. *** Ketika usia Melody baru beranjak remaja, dia terpaksa tinggal bersama istri dan anak abangnya. Hal itu dikarenakan Luthfi tidak tega membiarkan adik-adik perempuannya tinggal hanya berdua saja di rumah besar orang tua mereka semenjak ayah mereka meninggal, tidak berselang lama setelah kematian ibunya secara mendadak akibat kecelakaan tiga belas tahun silam. Symphony, Kakak perempuan Melody sendiri memutuskan kuliah di Singapura setelah menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Symphony juga tinggal di apartemen pribadi setelah didapuk untuk memegang kendali salah satu anak perusahaan milik Khawas Group. Akhirnya tinggallah Melody sendiri di kediaman abangnya yang dianggapnya seperti tempat asing akibat perlakuan istri Luthfi yang selalu bertentangan dengan keinginan Melody. Maka dari itulah tadi saat di kantor Melody mengatakan dengan lantang bahwa setidaknya dia punya alasan kuat keluar dari rumah abangnya, yang orang lain bilang bak istana dewa dewi tetapi bagai neraka bagi Melody. Setelah makan malam bersama Abang dan kakak iparnya, Melody menyampaikan perihal mutasi dirinya. Awalnya Luthfi mendengarkan dengan seksama penjelasan Melody. Dia terlihat berpikir keras untuk menerima penjelasan adik perempuannya itu. Namun tanggapan beda disampaikan oleh kakak ipar Melody. "Daripada kamu jadi kacung di perusahaan orang lain, mending kamu jadi bos di perusahaan sendiri, Melo! Kamu tinggal duduk ongkang-ongkang kaki tanpa perlu repot-repot mutasi sana sini," ketus Ana, kakak ipar Melody. Melody menatap tidak suka pada Ana. Berdecak sekali, dia menjawab. "Kak Ana sendiri yang selama ini selalu bilang kalau aku itu cuma anak bawang, iya kan? Mending aku jadi bawang beneran di perusahaan orang lain daripadi cuma jadi anak bawang di perusahaan orang tuaku," ketus Melody, seolah ingin meluapkan kekesalan yang selama ini terpendam di hatinya, pada Ana. "Kalau kamu serius ya, kamu juga bisa jadi bawang beneran. Selama ini kan kamu cuma main-main sama hidup kamu sendiri. Dari mulai sekolah kamu itu hobinya memang nyusahin diri sendiri dan orang lain. Dikasih hidup enak kok mau milih hidup melarat. Nggak ada bedanya sama ibu kamu tuh." "Rhiana!?" suara Luthfi terdengar memekakkan telinga saat menghardik istrinya. Ana hanya tertunduk sedangkan Melody sudah siap menangis karena ucapan Ana yang begitu menyayat hatinya. Meski ini bukan untuk yang pertama kalinya Ana mengucapkan hal merendahkan seperti itu, tetapi Melody masih belum terbiasa mendengar ucapan pedas kakak iparnya itu. Tidak kuasa lagi membendung air matanya, Melody memilih meninggalkan ruang makan tanpa memedulikan makan malamnya yang baru tersentuh tidak sampai seperempatnya itu. Di kamarnya Melody meluapkan kesedihan dan kemarahannya. Andaikan Symphony melihat kejadian seperti di ruang makan tadi, kakak perempuan Melody yang terkenal ketus itu tidak akan segan memaki Ana yang memang tidak pernah bosan menghina orang lain dengan mulut pedasnya. Beberapa jam kemudian tangis Melody sudah mereda. Suara ketukan di pintu kamar membuat Melody menghentikan isak tangisnya. Dia segera meraih tisu untuk membersihkan bekas air mata yang membekas di seluruh wajahnya. Setelah itu Melody beranjak turun dari ranjang menuju pintu untuk melihat siapa yang menghampiri kamarnya. "Bang Luthfi mau marahin aku karena sudah bersikap kurang ajar sama Kak Ana?" tanya Melody ragu, melihat bahwa abangnya yang sedang berdiri di balik pintu kamarnya. Luthfi tertawa kecil dia menyodorkan dua kaleng minuman soda tepat di depan hidung mancung Melody. "Temanin Abang ngobrol ya. Tapi di dekat kolam aja, sekalian cari angin," ucapnya setelah Melody menerima salah satu kaleng minuman soda yang tadi disodorkan padanya. "Kenapa nggak keluar rumah aja sekalian, kalau mau cari angin," jawab Melody asal. "Boleh juga. Kebetulan Abang lapar, bagaimana kalau kita cari makan di luar." "Bukannya tadi Bang Luthfi sudah makan?" "Kurang kenyang, Melo. Buru ganti baju, Abang tunggu di bawah ya." "Nggak usah bawa Darno. Biar aku aja yang nyetir," ucap Melody, menyebutkan nama sopir pribadi abangnya itu. "Oke!" ucap Luthfi singkat, berlalu meninggalkan pintu kamar Melody. Gadis itu tersenyum getir kala melihat punggung lebar abangnya yang perlahan berlalu menghilang dari pandangannya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN