2. Hari Pertama

2576 Kata
Jika pada umumnya orang-orang mendapatkan pekerjaan yang lebih tinggi dari apa yang dia harapkan akan merasa senang dan bahagia, tapi berbeda dengan aku. Aku tidak senang atau bahagia. Aku tidak senang karena harus kembali bertemu dengan Damian. Beberapa hari ini tidak bertemu dengannya, aku merasa tenang. Entah apa jadinya nanti jika aku harus setiap hari bersamanya. Jika saja bukan karena Revan atau orang tuaku, mungkin aku akan menolak pekerjaan ini. Aku lebih memilih menjadi pelayan restoran daripada menjadi sekretaris Damian. Ini seperti petaka bagiku. Aku bagaikan berjalan di kaca yang basah. Harus hati-hati dalam melangkah agar aku tidak terpeleset. Dan aku harus menyiapkan mental untuk menghadapi Damian setiap hari. Semoga aku kuat menghadapinya. Aku keluar dari kamar untuk sarapan bersama dengan Kak Sabrina dan Dania. Ini hari pertama aku kerja. Aku tidak boleh terlambat apalagi mengecewakan Kak Sabrina dan Kak Jordan. Mereka sudah baik padaku dan memberiku pekerjaan. Aku sudah berjanji pada mereka akan melakukan yang terbaik untuk menjadi sekretaris Damian. “Pagi, Kak.” Aku menyapa Kak Sabrina ketika tiba di ruang makan. “Pagi, Dania.” Aku duduk di samping Dania. “Pagi, Syah.” Kak Sabrina tersenyum padaku. “Pagi juga, Kak Aisyah.” Dania membalas sapaanku. “Sepertinya kamu sudah siap untuk bekerja dengan Damian. Kamu jangan khawatir. Damian sebenarnya baik.” Kak Sabrina menasehatiku. “Iya, Kak.” Aku membalasnya. Malas pagi-pagi bahas dia. Awalnya, aku menolak karena Damian bagiku sangat mengesalkan. Tapi Kak Sabrina selalu membelanya dan mengatakan jika Damaian baik, ramah, dan pengertian. Kalau saja Kak Sabrina tahu jika Damian berbeda dari apa yang dia katakan. Intinya Damian di mataku buruk. Dia tak baik seperti apa yang Kak Sabrina katakan. Kakiku melangkah keluar rumah setelah selesai sarapan dan berbincang dengan Kak Sabrina. Aku jenuh dengan obrolannya yang membahas Damian, Damian, dan Damian. Apa tidak ada topik lain selain membicarakan orang itu? Aku muak mendengar nama laki-laki itu. “Ke sekolah Nona Dania terlebih dahulu atau ke kantor Tuan Damian terlebih dahulu?” tanya Alex ketika aku masuk ke dalam mobil. “Ke sekolah Dania aja dulu, Mas. Takutnya nanti Dania terlambat. Waktuku masih panjang untuk sampai di kantor.” Aku membalasnya. Dania masuk ke dalam mobil ini. Alex pun melajukan mobil ini menuju sekolah Dania. Aku rasa masih lebih baik Alex daripada Damian. Dia lebih menghargai aku. Dia ramah, murah senyum, dan yang pasti dia pengertian. Sangat jauh dari Damian yang sombong. “Apa nanti saat Nona Aisyah pulang perlu saya jemput?” Alex menawariku. “Yaelah, Mas Alex, jangan lebay begitu, dong. Panggil aku nama saja. Aku sama Mas Alex lebih tuaan Mas Alex, harusnya aku yang lebih menghormati Mas Alex. Jangan panggil aku itu lagi. Aku nggak mau.” Aku protes pada Alex. “Tidak bisa, Non.” Alex kukuh. “Aku juga nggak mau dipanggil itu.” Aku masih protes. “Kak Aisyah sama Om Alex kenapa, sih? Kok seperti Om Damian sama Kak Aisyah, suka berantem?” Dania menyela. “Nah, kalau Mas Alex masih panggil aku seperti itu, maka aku akan panggil Mas Alex seperti Dania memanggil Mas Alex. Gimana?” Aku menatap Alex dengan senyum kemenangan. “Baiklah. Nona Aisyah ingin kupanggil apa?” Alex menyerah. “Ais saja, itu sudah cukup.” Aku tersenyum. “Itu masih kurang. Apa tidak ada imbuhan lain supaya lebih sopan?” Alex tak terima. “Itu bagiku sudah sopan. Sudah, jangan protes lagi.” Aku menimpali. “Tapi-“ “Om Alex.” Aku menatap Alex tajam. Perhatianku teralih saat mendengar Dania tertawa. “Kak Ais sama Om Alex lucu.” Dania menggoda. “Lucu dari mana, Dania? Om Alex bukan badut.” Aku menimpali Dania. “Nggak Om Alex, nggak Om Damian, selalu berantem sama Kak Ais.” Dania menambahi. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Entah kenapa aku merasa aneh saja pada diriku sendiri. Aku selalu berdebat jika orang itu salah. Dania sudah kuantar sampai depan kelas. Aku pun kembali melanjutkan perjalanan menuju kantor. Kini aku hanya berdua dengan Alex. Dia orang kepercayaan Kak Jordan. Sudah lama dia ikut dengan suami Kak Sabrina. Kak Jordan pun menaruh kepercayaan penuh pada Alex. Alex cukup tampan. Dia seperti yang sudah kukatakan sebelumnya. Dia baik, sopan, dan pengertian. Aku lumayan suka dengannya. Suka sebatas wajar, tidak lebih. Aku menghargainya karena dia baik. Ah, kenapa aku jadi memuji Alex. “Bagaimana dengan pertanyaanku tadi, Ais?” Perhatianku teralih ke arah Alex. Senyum kuukir. “Pertanyaan yang mana?” tanyaku tak mengerti. “Yang menjemputmu?” katanya. “Itu gampang. Aku bisa naik ojek,” balasku. “Jika butuh jemputan, saya siap menjemput jika tidak sibuk,” imbuhnya. Aku tertawa. Dia sepertinya takut aku kenapa-napa. “Ini amanah dari Nyonya Sabrina.” Alex menambahi. Tawaku mereda. “Iya, aku mengerti.” Aku mengangguk padanya. Setelah itu, kami hanya diam. Alex fokus pada kemudi. Aku sibuk mengetik pesan untuk Revan. Dia belum tahu jika aku sudah mulai bekerja hari ini. Akhir-akhir ini, dia sangat sulit dihubungi. Pesanku pun lama dibalas olehnya. Aku kirim pagi ini, dia balas nanti malam. Mungkin dia sibuk dengan pekerjaan barunya. Mobil yang kunaiki tiba di basemen kantor Damian. Aku akan membuka pintu mobil, tapi Alex sudah mendahuluiku. “Terima kasih karena sudah mengantarku, Mas Alex,” ucapku tulus padanya. Alex hanya mengangguk dan tersenyum. “Semoga betah bekerja dengan Tuan Damian,” balasnya. Betah? Terpaksa aku membetahkan demi harga diri dan pembuktian jika aku bisa bekerja lebih baik dari Revan. Aku meninggalkan Alex, melangkah memasuki kantor Damian. Langkahku mendekat ke arah resepsionis. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis itu. “Saya Aisyah, adiknya Kak Sabrina.” Aku mengenalkan diri. “Oh, iya, maaf Bu Aisyah. Ada yang bisa saya bantu?” Dia mengangguk padaku tanda sopan. “Aku ingin menemui Om Damian. Maksudku, Pak Damian.” Aku meralat. “Pagi, Pak.” Terdengar sapaan seseorang di belakang tubuhku. Tatapan resepsionis pun mengarah ke belakang tubuhku. Aku menoleh kebelakang. Kulihat Damian berjalan memasuki kantor ini. Aku menghela napas karena harus kembali bertemu dengannya. “Perhatian untuk semuanya!” Damian angkat suara. Tubuh kubalikkan, menghadap ke arah Damian. Dia terlihat sempurna dengan balutan jas, kemeja di baliknya, dan dasi. Dia terlihat-. Aisyah! Tetap fokus pada pikiranmu. Damian sudah membuatmu kesal. “Mulai hari ini, Aisyah adalah sekretarisku. Bantu dia jika memerlukan bantuan. Tegur dia jika melakukan kesalahan. Aku harap kalian bisa bekerja sama dengannya secara baik.” Damian menjelaskan. Kepalaku mengangguk pada karyawan yang ada di ruangan ini. Malu ketika Damian mengumumkan aku di depan mereka. Damian berlalu pergi setelah semua karyawannya mengangguk tanda paham. Aku bergegas mengejar Damian karena kupikir ruanganku pasti tak jauh dari ruangannya. Kulihat semua orang menunduk ketika aku dan Damian berjalan menuju ruangannya. Damian benar-benar dihormati oleh semua karyawannya. Tapi aku tidak. Aku tidak mau hormat dengannya. Aku terkesiap ketika tubuhku menubruk punggung Damian. Aku menyentuh dahi karena anak rambut terurai menghalangi pandangan mataku. Selalu saja seperti ini. “Bisakah lebih fokus ketika berjalan?” katanya tanpa menoleh ke arahku. “Maaf,” balasku singkat. “Itu ruanganmu.” Damian menunjuk ke meja yang tak jauh dari tempatku berdiri saat ini. “Tugasmu adalah mengoreksi setiap berkas yang akan diajukan padaku, mengatur jadwal pertemuan dengan kolega, dan menyiapkan apa pun yang kuperlukan dalam masalah pekerjaan di kantor ini.” Dia menjelaskan. Aku merasa seperti pembantunya. Mengoreksi berkas, mengatur jadwal, dan menyiapkan keperluannya. Ini lebih dari pembantu. “Aisyah!” “Iya, Om.” Aku membalasnya. Damian memutar tubuh. Dia menatapku tajam. “Jangan sebut aku dengan sebutan itu di sini. Kamu harus profesional. Aku tidak segan mengingatkanmu jika kamu salah. Tak peduli di depan orang lain. Di sini tidak ada ikatan saudara. Di sini kita profesional dalam bekerja. Aku harap kamu paham,” ucapnya dengan nada tegas. Kepala kuanggukkan. “Silakan ke ruanganmu.” Damian mengusirku secara halus. Aku mematuhinya, berlalu menuju ruangan yang sudah ditunjuk olehnya. Damian pun masuk ke dalam ruangannya. Dia sama saja. Tetap sombong dan dingin seperti beruang kutub. Tubuh kudaratkan di atas kursi kerja. Senyum kuukir untuk mengawali hari pertama kerja. Aku harus semangat demi tujuan utama. Pandanganku teralih pada tumpukan map di atas meja, lalu menatap ke arah sekitar. Semua sibuk dengan tugasnya masing-masing. Aku tak tahu ini berkas apa saja. Aku sama sekali tidak tahu. Apa lebih baik aku bertanya pada Damian? Tapi aku takut dia akan memarahiku karena tidak mau belajar. Tapi pada siapa lagi aku akan bertanya selain dengannya? Dia bos di sini, jadi wajar jika aku bertanya padanya. Kuraih tumpukan map, lalu membawanya menuju ruangan Damian. Kubuka pintu ruangan Damian dan kudapati dia sedang memejamkan mata. Aku menghela napas. Enak sekali dia. Di luar, semua karyawannya bekerja, tapi dia malah enak-enakan tidur. Bos macam apa? Aku berjalan menuju meja lalu meletakkan tumpukan map di atas meja. Kulihat Damian terkejut. Dia membuka. “Bisakah lebih sopan memasuki ruangan orang? Kamu bisa ketuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam ruanganku!” Damian menatapku tajam. “Saya sudah mengetuk pintu Bapak, tapi Bapak sepertinya sudah nyenyak sampai ketukan pintu saja tidak terdengar oleh telinga Bapak.” Aku menatapnya datar. Terpaksa berbohong padanya. Aku sengaja masuk tanpa mengetuk ruangannya terlebih dahulu karena kupikir dia sedang mengerjakan sesuatu. Jika aku jujur, dia pasti akan lebih panjang untuk menyalahkan aku. “Ada apa?” tanyanya datar. Dia terlihat mengakui kesalahannya jika benar-benar tidur. Yes! Aku menang. “Aku ingin bertanya mengenai berkas-berkas ini. Anda tahu kalau aku di sini baru, jadi aku butuh bimbingan.” Aku duduk di kursi yang ada di seberang meja kerjanya. “Kamu bisa bertanya pada staf lain. Jika aku menjelaskannya padamu, maka sama saja aku yang mengerjakan semuanya. Untuk apa aku mempekerjakan kamu,” balasnya. “Bapak di sini bos. Tidak akan rugi jika hanya mengajari aku untuk hari ini. Dan lagipula, aku di sini baru dan tugas saya bersangkutan dengan Anda. Lalu apa masalahnya?” Aku menimpali. “Baiklah, jika Anda merasa aku merugikan Anda, maka aku akan bertanya pada karyawan lain. Jangan salahkan aku atau karyawan Anda jika ada yang salah dalam pekerjaan ini,” lanjutku tanpa ingin menunggu balasan darinya, memunguti tumpukkan berkas di atas mejanya, lalu bergegas pergi dari hadapannya. Dia benar-benar bos yang sombong. Sebelum dia jadi bos, tidak mungkin dia tidak belajar. Hanya untuk mengajari sekretarisnya saja dia tidak mau? “Tunggu.” Langkahku terhenti. Tak ada keinginan untuk membalikkan tubuh. Apalagi yang dia inginkan? Dia akan mengolokku atau ingin membuatku kesal? “Kemari,” perintahnya. “Untuk apa?” tanyaku. Masih tak membalikkan tubuh. “Mengajarimu mengenai berkas-berkas itu.” “Tadi Anda bilang sama saja bohong jika aku meminta Anda menjelaskan berkas ini. Lalu kenapa Anda berubah pikiran ingin mengajariku? Nanti Anda rugi jika membuang waktu untuk mengajariku,” balasku masih pada posisi membelakanginya. “Bersikap sopanlah pada atasanmu. Kamu tidak sopan jika berbicara memunggungi atasanmu seperti itu.” Dia mengingatkan. Sesaat aku menghela napas, membalikkan tubuh dengan gerakan malas. “Maaf,” sahutku singkat. “Aku akan mengajarimu. Bawa kemari laporan-laporan itu.” Nadanya terdengar sopan. Langkah kuayun mendekati meja kerjanya. Kuletakkan tumpukkan map di atas meja. Damian meraih satu map, lalu membukanya. Dia menjelaskan isi map itu dan menyuruhku agar mengoreksi isi dokumen itu. Aku pun menyimak penjelasan darinya. Aku menemukan satu sifat pada diri Damian selain sifat-sifat buruknya. Dia sangat teliti mengoreksi atau menjelaskan setiap pertanyaan yang kulontarkan mengenai apa saja yang tidak kumengerti. Dia sangat serius ketika menyangkut pekerjaan. Tak ada yang luput dari ucapan setiap penjelasannya. Beberapa penjelasan cukup untuk kupelajari dan kuingat. Langkah kuayun untuk kembali ke ruanganku, lalu mempelajari tumpukan berkas yang diberikan padaku. Sampai sebanyak ini, apa yang Damian kerjakan selama ini? Apa tidak ada waktu untuk mengoreksi semua ini? Laporan keuangan, laporan pengeluaran, dan laporan-laporan penting lain tak dia lihat. Kerjanya selama ini apa? Aku tak tahu dan tak mau terus memikirkannya. Lebih baik aku mengerjakan laporan-laporan ini sebelum Damian mengomel karena aku lambat menangani. Tak terasa waktu begitu cepat. Waktu menunjukkan jam makan siang. Aku menutup map yang ke sekian kupelajari, lalu melangkah pergi untuk menuju kantin kantor. Aku dapat sedikit uang dari Kak Sabrina karena hasil jerih payahku membantunya di katering. Setidaknya ini bisa jadi uang jajan selama aku belum mendapat uang makan dari kantor ini. “Aisyah!” Langkahku terhenti ketika mendengar seseorang memanggilku. Aku menoleh. Kulihat staf memanggilku. “Iya,” balasku ramah. “Pak Damian mencarimu. Anda disuruh ke ruangannya,” katanya menyampaikan. Aku mengangguk, memutar balik untuk menemui bos besar. Ada apa Damian memanggilku? Apa ada masalah? Aku rasa kita sudah tidak ada masalah. Laporan yang kukerjakan semuanya benar. Tangan kugerakkan untuk mengetuk pintu ruangan Damian ketika tiba di depan ruangannya. “Masuk!” Terdengar suara Damian menyuruhku masuk. “Ada apa, Pak?” tanyaku ketika sudah tiba di dekatnya. “Tolong siapkan berkas untuk meeting dengan klien siang ini,” perintahnya. “Tapi, saya-“ “Saya butuh berkas itu sekarang juga.” Dia memotong ucapanku. “Saya belum makan, Pak. Saya mau makan dulu.” Aku menolak. “Saya tidak mau tahu. Kamu bekerja di sini untuk mengerjakan tugas di saat kondisi apa pun. Tetap profesional.” Dia mengingatkan aku. Napas kuhela. “Baik.” Aku berlalu dari hadapannya. Masih tidak menyangka jika dia akan otoriter padaku dalam pekerjaan. Aku belum makan, dan perutku terasa lapar, tapi aku harus menunda karena tugas dari Damian. Langkah kuayun menuju ruanganku, lalu membuka komputer yang ada dihadapanku untuk mencari berkas itu. Aku terpaksa menunda makan siang. Mataku meneliti setiap tulisan yang tertera di layar komputer untuk mengoreksi. Aku terkesiap ketika telepon di atas mejaku berdering. Gagang telepon segera kuraih, lalu menempelkan pada telinga. “Halo,” sapaku. “Cepat selesaikan berkasnya. Aku akan pergi sebentar lagi,” sapanya di seberang sana. Ya, dia Damian. “Iya, Pak. Ini sebentar lagi selesai,” balasku. Sambungan telepon terputus. Aku menatap gagang telepon. Napas kembali kuhela. Aku kembali menatap komputer lalu mengirim dokumen itu pada Damian. Waktu makan siang sudah habis, dan aku belum makan siang. Sekarang aku masih harus melanjutkan tugasku mengoreksi map-map yang masih menumpuk di atas meja. Telepon di atas mejaku kembali berdering. Aku segera mengangkatnya. “Halo,” sapaku. “Print dokumen itu dan bawa ke sini.” Damian menginstruksi. “Iya, Pak.” Aku membalas. Panggilan telepon kembali terputus. Kuletakkan gagang telepon di tempatnya. Aku bergegas melakukan perintah Damian. Kurapikan kertas-kertas dokumen ke dalam map setelah selesai diprint, lalu bergegas menuju ruangan Damian untuk memberikan dokument ini. Kuketuk pintu ruangannya. “Masuk!” Pintu kubuka. Kulihat dia sedang menatap laptop. Aku berjalan mendekatinya. “Ini berkas yang Bapak inginkan.” Aku meletakkan map itu di depannya. Dia mengangguk. Aku berlalu pergi dari ruangannya. Harus tetap sabar. Ini hari pertama aku kerja, jadi aku harus menyemangati diriku sendiri agar suasana tetap tenang. Ini pengalaman baru untuk masa depan yang lebih baik lagi. Walaupun aku tidak begitu menguasai bidang ini, setidaknya aku sudah belajar melalui google bagaimana tugas menjadi seorang sekretaris sekaligus asisten Damian. Perhatianku teralih ketika mendapati seseorang berdiri di depan meja. Damian berdiri persis di depan meja kerjaku. “Aku akan keluar untuk menemui seseorang. Kamu tetap di sini dan kerjakan semua laporan-laporan yang masuk,” katanya. Siapa juga yang nanya? Mau kamu pergi atau nggak itu bukan urusan aku. Lebih baik kamu pergi saja supaya aku bisa bebas tanpa gangguan dari kamu. “Aisyah.” Aku terkesiap. “I-ya, Pak,” sahutku gugup. Damian berlalu dari hadapanku. Dia benar-benar mengesalkan. Tapi syukurlah jika dia pergi. Aku bisa dengan tenang mengerjakan laporan-laporan yang masih menumpuk ini. Semoga saja cepat selesai sebelum malam. Aku pusing melihatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN