Bagian 2. Aku Tidak Rela

1759 Kata
Bayarlah hutangmu pada saudaramu, siapa tahu dia sangat membutuhkannya saat ini. Jangan sampai hutangmu menjadi penghalang rezekimu kelak. *** "Bagaimana, Dek?" Safwan menatap wajah kesal istrinya penuh tanya. "Apanya yang bagaimana?" jawab Arlina ketus. "Kak Lesti bayar hutangnya?" tanyanya lagi. Jawaban ketus istrinya barusan menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam hatinya. "Menurut, Abang?" Wanita itu menatap sinis. Rautnya masam. Hingga Safwan menelan ludah pahit karenanya. "Ayo, pulang!" Arlina menghenyakkan tubuh pada jok sepeda motor dengan kesal. Tangannya meremas pelan perut yang mulai terasa sering sakit. Bibirnya mendesis. Air mata mengalir begitu saja, antara menahan sakit di perut dan sakit di hati. Setiba di rumah, ia bergegas turun. Melangkah lebar-lebar. Abai dengan kondisi yang sebenarnya sangat kepayahan. "Hati-hati, Dek." Safwan mengejar khawatir. Berusaha merangkul pundak istrinya untuk menuntun. Namun, perempuan itu lekas menepis. "Kita mau ke bidan apa ke rumah sakit?" tanyanya ketika Arlina meraih tas perlengkapan lahiran yang sudah dikemas beberapa hari lalu. Segera ia mengambil alih benda itu dari tangan istrinya. "Antarkan ke rumah Umak," jawab Arlina datar. "Kenapa ke rumah Umak?" tanya Safwan bingung. Alisnya bertaut. Tak menjawab, perempuan itu melangkah tak acuh menuju sepeda motor. "Dek?" "Ayolah, cepatan. Perutku sakit!" "Lalu kenapa ke rumah Umak? Kamu mau melahirkan." "Aku mau melahirkan di rumah Umak." "Di sana ada bidan?" "Apa Abang ada uang untuk bayar bidan?" "Kalau begitu kita ke puskesmas, pakai BPJS." "Hari minggu, puskesmas tutup." "Kalau begitu UGD rumah sakit saja." "Abang pikir cukup hanya berbekal BPJS ke rumah sakit? Dulu sewaktu Umak masuk rumah sakit, ada obat-obat yang tidak ditanggung BPJS, ada juga yang kebetulan habis di apotik rumah sakit sehingga harus beli di luar. Belum lagi pasti ada saja keperluan tidak terduga di sana." Safwan mencelos. Wajahnya seketika memucat, menyadari betapa pentingnya uang yang dulu ia pinjamkan kepada kakaknya. "Tapi Abang khawatir kondisimu, Dek," ucapnya penuh rasa bersalah. Netranya berkabut melihat Arlina yang acap meringis memegang perut. "Harusnya Abang berpikir sejak awal bahwa keperluan orang melahirkan itu banyak. Jadi perlu persiapan dana. Aku sudah menyiapkannya sejak lama, seenaknya Abang kasihkan kepada keluarga Abang. Keluarga Abang itu memang tidak peduli, datang kalau sedang butuh saja. Kalau tidak butuh, lupa. Senangnya menggerogoti. Jadi sekarang, biarkan aku dengan keluargaku. Mereka peduli padaku." Arlina terisak meluahkan kekesalan di hatinya. "Maafkan, abang, Dek." Safwan memegang tangan istrinya. Air matanya perlahan lolos. Rasa bersalah dan khawatir berpadu. "Giliran menagih, Abang tidak mau. Seolah tidak peduli bahwa istrinya akan melahirkan, akan bertaruh nyawa mengantar anaknya ke dunia," isak perempuan itu pilu. Hatinya benar-benar kecewa, "Sekarang mau antar aku ke rumah Umak, gak? Atau aku harus bayar ojek?" Safwan tercekat. Getir, ia men-starter sepeda motor bebeknya, meletakkan tas perlengkapan bayi di depan, lalu menunggu Arlina duduk sempurna sebelum melaju. "Kalau di sini, siapa yang akan membantu kelahiran, Dek," tanyanya pelan. Melangkah perlahan, ia menggandeng istrinya yang semakin kepayahan menuju pintu masuk rumah mertua. "Ada Bude Barokah." "Bidan kampung? Apa gak apa-apa, Dek?" "Mau bagaimana lagi?" Arlina berucap dingin. Bersikap tak acuh. Hati Safwan terasa membeku. Laki-laki itu gamang. Kondisi perempuan yang sedang di ambang perjuangan mengantar benihnya ke dunia itu tampak lemah. "Kita ke rumah sakit saja ya, Dek. Nanti kamu ditemani Umak dulu, Abang cari uangnya. Abang janji," bujuknya. Berharap Arlina berlembut hati menerima. "Gak. Aku gak akan ke rumah sakit sebelum ada uangnya. Iya kalau Abang dapat uangnya, kalau enggak?" "Tapi Abang khawatir, Dek." "Khawatir kenapa?" "Bagaimana jika kamu gak kuat?" "Ya biar saja. Abang 'kan gak peduli. Sudah tahu istrinya hamil, uang persiapan lahiran malah dipinjamkan semuanya. Biar aku mati melahirkan sekalian. Supaya Abang tahu rasanya." "Dek!" seru laki-laki itu lemah. Hatinya tersaruk-saruk membayangkan ucapan perempuan di depannya itu menjadi kenyataan. Cairan bening begitu saja deras mengalir dari sudut netra, "Jangan ngomong begitu, Abang minta maaf," ucapnya serak. Arlina tak acuh. Hatinya masih gusar, baik kepada suaminya, juga kepada Lesti. Langkahnya gontai menuju pintu masuk. "Assalamualaikum," ucapnya pelan. Energinya hampir habis, terkuras oleh emosi yang masih bertahan. "Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam. Tidak berapa lama, seorang perempuan paruh baya muncul. "Nak," sambut perempuan itu langsung memeluk dan menciumi Arlina penuh haru, lalu menggandeng wanita itu ke salah satu kamar. Sementara Safwan kembali menuju sepeda motornya, mengambil tas yang masih tertinggal di sana. Mak Yati, ibunda Arlina segera menyiapkan tikar untuk putrinya, lalu meminta perempuan itu berbaring dengan kondisi siap lahiran. Di kamar itu, sudah menunggu seorang perempuan lanjut usia yang masih tampak segar. Beliau, yang Arlina sebut Bude Barokah. Lembut, ia mengusap wajah Arlina, meraba perut, juga tangan. "Kondisinya lemah," ujarnya pelan. "Apa tidak sebaiknya dibawa ke klinik saja. Takutnya tidak kuat mengejan nanti," lanjutnya sambil menatap Safwan. Laki-laki itu menghela napas berat, lalu duduk di samping Arlina. Meraih tangan istrinya, ia mendekatkan wajah pada wanita itu. "Kita ke rumah sakit ya, Dek," bujuknya parau. "Enggak," Arlina menjawab ketus. "Abang akan cari uangnya." "Abang mau cari di mana? Aku gak mau punya hutang," sahutnya lemah. "Abang yang tanggung jawab. Insya Allah." "Aku gak mau ke rumah sakit kalau uangnya belum ada." "Dek, jangan menyiksa diri sendiri. Abang khawatir." "Biarin," perempuan itu menyentak tangan dari genggaman suaminya. Safwan kembali menghela napas berat. "Kalau begitu tunggu, ya. Janji, kamu harus kuat. Abang cari uangnya. Abang akan kembali secepatnya," ucap laki-laki itu sambil mencium kening Arlina. Matanya berkabut, "Kuat ya, Sayang." Ia mengusap pelan pucuk kepala istrinya, lalu beranjak. "Saya titip Arlina ya, Mak," ucapnya pada ibu mertua yang duduk tidak jauh darinya. Perempuan paruh baya itu menjawab dengan anggukan. Safwan melesatkan sepeda motornya menuju rumah Lesti. Meskipun tidak yakin apakah tujuannya itu benar, tetapi dia perlu bertemu dengan kakaknya itu. "Aku sudah bilang sama Arlina, uangnya sudah tidak ada," sahut Lesti ketika ia menanyakan utangnya, "Aku memberikan pakaian bayi bekas Alif, dia malah menolak." "Pakaian bayi sudah ada, Kak. Arlina meminjam dari Kak Arni. Dia hanya butuh uangnya sekarang. Kakak janji waktu itu hanya sebulan." Safwan yang sejatinya sudah emosi karena cemas, mencoba bicara tenang. "Iya. Cuma waktu itu lalu ada keperluan. Jadi uangnya terpakai." "Kakak usahakanlah, karena Arlina benar-benar butuh uangnya. Dia akan melahirkan." "Kakak bilang uangnya sudah terpakai." Suara Lesti meninggi, mulai kesal karena Safwan yang kukuh menagih. "Iya. Kakak usahakan bagaimana agar uang itu ada. Pinjam atau apalah. Lagipula aku tidak yakin uang itu benar-benar habis," sahut Safwan dengan suara yang ikutan meninggi. Dia mulai tidak bisa mengontrol emosi. Lesti menatap tajam. Hatinya tidak bisa menyangkal ucapan Safwan, bahwa memang uang itu ada. Sebagian dia masukkan ke dalam tabungan. Hanya saja ada rasa sayang dihatinya untuk mengurangi nominal tabungan itu. "Kakak tidak perlu lunasi dulu, seadanya saja berapa. Yang penting bisa untuk pegangan Arlina di rumah sakit." "Tidak ada, ya, tidak ada Safwan!" Lesti semakin emosi. Orang yang bersalah, jika terpojok memang akan cenderung terpancing emosi. "Kakak jangan zolim. Ingat, Kak, doa orang yang terzolimi itu makbul." "Kamu mengancam? Mau mendoakan yang buruk? Memangnya kamu mau mendoakan kakak apa?" tanya perempuan itu sambil mengangkat dagu. "Kamu memang tidak tahu berterima kasih, Safwan. Kamu dipungut orangtuaku sejak bayi, dibesarkan hingga kasih sayang mereka nyaris semua untukmu. Aku tersisih. Berapa banyak Uang orangtuaku yang habis untuk membesarkanmu, sekarang hanya karena lima juta itu kamu mengancamku?" Lanjutnya sembari menatap bengis Safwan menghela napas berat. Sejak kecil, Lesti memang tidak pernah menyukainya. Wanita itu cemburu karena merasa dirinya merebut kasih sayang kedua orangtuanya. Safwan terlahir yatim, dan menjadi piatu pada usia tiga hari. Ibunya adalah adik dari ayah Lesti. Safwan dibesarkan dan dianggap anak sendiri oleh orangtua Lesti. Mereka yang memang mendambakan anak laki-laki, sangat menyayangi Safwan. Suatu kebetulan pula, mereka tidak pernah lagi diamanahi anak setelah itu. Sehingga kehadiran Safwan kecil benar-benar membawa kebahagiaan untuk mereka. Beragam cara dilakukan Safwan untuk mencuri kasih sayang Lesti, menunjukkan bahwa dia sangat menyayangi kakaknya itu. Dia menuruti semua keinginan Lesti, termasuk meminjamkan uang milik Arlina. Namun, sayang, sepertinya hati Lesti benar-benar telah tertutup. "Urusan kita berbeda, Kak. Tidak ada sangkut pautnya dengan Arlina," ucapnya pelan, "Satu yang perlu Kakak ingat, jika sesuatu yang buruk terjadi pada Arlina, aku tidak rela dunia akhirat atas semua ini." Laki-laki itu melangkah gontai. Hatinya menyesal karena telah bodoh percaya pada wanita yang notabene adalah kakaknya sendiri itu, meskipun bukan kandung. Dia pikir, sebagai saudara, kakaknya tidak akan tega menahan uangnya apalagi tahu kalau itu adalah untuk persiapan lahiran istrinya. Namun, sepertinya hati sang kakak telah buta. "Ada apa, Wan?" Di halaman rumah, Yusuf bersama Alif muncul. Sepertinya mereka dari lari pagi. "Bang." Safwan menatap laki-laki berwajah teduh itu. Harapan baru muncul. "Sepertinya cemas?" Yusuf menelisik wajah Safwan. "Arlina akan melahirkan, Bang." "Terus?" "Uang persiapan lahiran Arlina dipinjam Kak Lesti." "Berapa?" "Lima juta." "Astagfirullah." Yusuf mengusap wajah kasar, "Sebentar," ucapnya lalu melangkah lebar menuju rumah. Terdengar seruan cukup keras laki-laki itu kepada Lesti. Lalu terdengar suara keduanya sahut menyahut cukup kencang. Beberapa saat senyap, tidak berapa lama Yusuf keluar menemui Safwan. "Maaf, Wan. Abang tidak tahu kalau kakakmu pinjam uang kalian. Abang pun tidak bisa ganti karena semua gaji dia yang pegang. Abang hanya pegang uang bensin saja. Ini kamu bawalah, dari Abang pribadi untuk istrimu. Semoga sehat, selamat, lancar dan dimudahkan. Untuk uangmu itu, nanti akan Abang bicarakan lagi dengan kakakmu," ucap laki-laki tiga puluh delapan tahun itu sambil mengulurkan lima lembar ratusan ribu. "Terima kasih, Bang." Safwan menerima pemberian Yusuf. Lima ratus ribu, masih kurang. Paling sedikit dia butuh satu juta untuk meyakinkan Arlina agar mau ke rumah sakit. Ia kembali melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi menuju pangkalan ojek. Meminta bantuan teman-temannya, itulah yang ada dipikirannya. Ah, memang bodoh. Jika saja dia tidak sok pahlawan meminjamkan uang itu kepada Lesti, atau meminjamkan separuh saja, maka tidaklah akan susah seperti ini. Meminjami orang yang keperluan mendesak itu wajar, tetapi Lesti? Benar kata Arlina, biaya sekolah bukanlah kebutuhan mendadak. Seharusnya sudah disiapkan sejak lama. Lagipula, rata-rata sekolah di sini membolehkan siswa membayar uang pangkal dengan mencicil dalam satu tahun pertama. Hanya gengsi Lesti saja untuk membayar lunas. "Aku hanya punya segini, Wan. Bawa saja, tidak usah diganti." Satu per satu teman seperjuangan Safwan menyerahkan lembaran rupiah, merah, biru, dan hijau. Seberapa ada yang mereka mampu. "Saya akan ganti, Bang," ujar Safwan sambil meraih kertas berharga itu. "Tidak usah, kamu juga selalu membantu saat kami butuh," sahut salah satu di antara mereka. "Selamat ya, Wan. Semoga dimudahkan. Istri dan anakmu sehat selamat." "Aamiin." Safwan memeluk sahabat-sahabatnya penuh haru. Kemudian berpamitan dan kembali melesatkan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Kumpulan dana dari belasan sahabatnya lebih dari jumlah minimal yang dia inginkan. Ditambah dengan pemberian Yusuf, cukup baginya membawa Arlina ke rumah sakit. Dengan penuh harap, ia membelokkan kendaraan menuju rumah ibu mertua, memarkirkan kuda besi itu dengan cepat di sembarang tempat. Namun, rumah itu sunyi. Pintu dan jendela tertutup rapat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN