EMPAT

940 Kata
Jadi cewek cantik itu susah ya, Bo. Kita nggak ngapa-ngapain aja tetap dinyinyirin. Ih, suka gitu memang. Kulit muka yang kinclong digosipin pasang susuk kayak seseartis gitu. Tubuh bagus di-ghibah-in katanya sok diet dan nggak makan makanan berlemak. Ya terus, masalah amat gitu sama hidupnya dia dan mereka? Kan dari dulu udah ada pepatah bilang; beauty is pain. Nah memang. Kalau mau cantik, ya berani berkorban dong. Kecuali kayak aku gini yang memang sudah cantik pada dasarnya. Jadi, mau aku makan sebanyak apapun karena itu memang hobiku selain baca gosip, aku nggak takut gendut. Jadi, biarin aja mereka terus-terusan punya perasaan iri. Sama kayak salah satu editor di iFood ini. Namanya Cantika, salah satu hater aku kalau kata Bos Dima. Emang bener sih, Rika bilang dia ini suka ngomongin aku di belakang gitu deh. Aku yakin itu karena aku lebih cantik dari dia. Dan dia sekarang lagi di depanku sambil masang muka bete. Soalnya, aku baru aja nolak dua naskah yang dia kasih dan cuma nerima dua yang lain. "Ga, lo nggak bisa seenaknya gitu dong main nolak. Kasih liat dulu ke Pak Dimas, dia pasti nerima naskah gue ini kok. Sesuai sama kaidah dan semua unsur." Aku pura-pura membuang debu tak kasat mata yang ada pada kertas naskahnya. "Cantika, Sayang. Kamu kayaknya perlu ngambil S2 kepenulisan deh. Atau ambil tentang seni gitu. Nasi Gandul itu udah pernah dimuat bulan lalu. Jadi, batal." "Tapi lewat angle yang berbeda, Ga!" "Hey, bagi gue, angle yang berbeda itu cuma bentuk dari reporter yang kehabisan topik. So, balik lagi sana. Minta reporter lo sama fotografernya buat cari berita lain." Aku natap dia bingung. "Bukannya setiap rapat redaksi, selalu dibahas tentang semua topik ya?" "Tapi Pak Dimas cuma kasih beberapa doang! Dan dia mintanya artikel banyak banget!" "Dialah bos kita, Girl." Aku ngibasin tangan. Kembali duduk di meja. "Udahlah, balik sana ke meja lo dan kerjain yang lain. Dua ini gue terima dan nanti gue kasih ke Bos." "Bos lagi ngapain sih di dalem?" "Indehoyan kali." Aku dengar dia mendengus gitu terus jalan lagi ninggalin aku. Lagian ya, si Cantika ini nggak mikir keren sih. Masa makanan yang udah pernah dimuat mau dimuat lagi? Dia kira pembaca sebodoh dia apa. Ya ampun, pakai alasan lewat angle yang beda. Preeeet. Nggak cerdas alasannnya. Eh, ngomong-ngomong, si Bos di dalam ngapain sih sama bininya? Anteng banget nggak keluar-keluar. Biasanya juga tiap menit ngawasin aku lewat mata elangnya itu. Sebentar, sebentar, aku mau coba kasih lihat naskah dari Cantika dan Daron yang tadi udah selesai ke doi dulu deh. Astaghfirullah, laknat dasar! Hatiku langsung menjerit nelangsa. Coba lihat apa yang ada di depanku ini,! Antara geli, jijik, tapi mupeng juga. Cuma lihat aja kakiku udah lemas gini gimana aku yang ada di posisi Audy coba. Duduk di pangkuan paha yummy-nya si Bos yang sekarang tangan kirinya lagi peluk pinggang cewek itu. Sedangkan yang kanan sibuk megang sisi wajah sang kekasih. Rasanya ciuman sama Dimas gimana ya. Kenapa nggak dikunci sih dasar! Aku kan jadi pengin bangeeeeeet. Nggak ada yang bisa diajak ciuman lagi. Aku cuma punya teman akrab itu Pak Satpam depan, Mas Anang—OB—sama Vikri yang doyanannya batangan. Ah, sialaaaan! Hampir semua cowok yang kukenal udah pada punya gandengan! Sambil meremas kertas yang kupegang, aku berjalan keluar ruangan, kembali ke mejaku. "Mau gituan pintu dikunci kek! Udah kayak bapak-bapak aja nggak sabaran." Aku ngetik sesuatu dengan huruf kapital di komputer, terus di-print. Senyumku mengembang lebar begitu aku balik lagi ke ruangan si Bos m***m. Dan ... masih belum selesai juga? Sekarang malah nambah nyiumin leher ... "Ekhem! Pak saya mau ngasih ini." Bukannya panik atau apa karena ketahuan, si cewek noleh, sementara lakinya nongolin kepala dari balik bahu Audy. "Kenapa, Ga?" sang wanita yang tanya. "Kertas ini saya tempel di mana ya? Supaya Bapak sama Mbak Audy bisa baca?" Aku mengangkat tinggi lembaran kertas HVS. "Saya bacain aja deh, 'Dilarang keras antar karyawan memiliki hubungan khusus APALAGI BERMESUMAN KHUSYUK!'" Audy terbahak, dia mengecup bibir Bos Dimas kilat sebelum berdiri dan menghampiriku. Ia merebut kertas yang kugenggam dan berjalan lagi mendekati bos. "Pantesnya ditempelin sini aja, Ga. Dijidatnya Dimas. Biar agak sabaran dikit gitu. Agresif banget." Bos kacrut itu malah terbahak. Menarik kertas dari tangan Audy, lalu membacanya keras. Setelah itu, ia melemparkan tatapan padaku. "Emang di sini karyawan nggak boleh pacaran ya, Ga?" "Bapak yang buat kaaaaan! Ya Allah, ampuni Bos Dimas ini." Aku masang wajah masam banget, bikin dia makin ngakak. Dia kan waktu itu sok-sok-an mau ngikutin peraturan perusahaan besar gitu. Pura-pura lupa lagi. "Jadi, saya tempelin di mana itu, Bos?" "Ini nggak berlaku buat saya dan Audy, Ga. Kan bapak saya yang punya kantor." Di depannya, Audy tertawa kencang. "Maaf ya, Gangika, udah bikin kamu mupeng. Si Dimas ini kayak bocah dapet mainan baru. Nggak ketemu seminggu aja udah kayak yang bakalan mati." "Sayaaang, jangan digodain Mbak Gangikanya. Kasian dia." Lelaki semprul itu pura-pura memasang wajah sedih buat aku. Dasar tukang manipulasi! Herannya aku suka gitu. "Sini duduk sini." Cepet banget, dia udah narik Audy dan dudukin lagi di atas pangkuannya. "Ga, kamu tau nggak manfaat dari kissing itu apa?" "Enggak!" "Judes amat sih, kamu. Saya sepak lho nanti." "Gitu aja terus jawabnya." Aku berbalik. Mau ke mejaku sendiri aja daripada mantengin dua orang m***m ini. "Bisa ngurangin stres lho, Ga!" teriaknya. "Supaya kamu itu agak selow dikit kalau jawab pertanyaan saya." "Kamu godain dia terus sih, Yang. Nanti naksir, mampus." Kudengar Audy berkata sambil tertawa. "Masa aku harus saingan sama Gangika. Dia itu lucu, aku nggak tega ah harus berantem sama dia." Dan, kudengar lagi suara tawa Bos Dimas menggema. "Aku nggak doyan, Sayang sama modelannya Badut ulang tahun gitu." Sialaaaaaaaaaaan! Kerja cuma buat liat tindakan kemesuman dan dengerin ejekan terhina dari Bos yang kamu taksir sepanjang sejarah. Aku mau ngadu ke DPR ah, supaya dibuatin Pansus (Pasukan Khusus) buat melindungi kaum sekretaris tersiksa kayak aku gini. Dan, siksaan bertambah berat waktu aku ambil smartphone dari tas dan menemukan undangan dari si Niko! Besok! Gimana dong, aku harus datang apa enggak nih?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN