Episode 2

1105 Kata
Meski Irene sendiri telah berhasil mendengar cemoohan tentang dirinya, namun ia tidak pernah ambil pusing dan selalu menganggapnya bagai angin lalu. Bagi Irene yang tengah merasa bahagia menjalani kehidupannya yang mungkin terlihat begitu ambisius di mata orang lain, ia merasa baik-baik saja meski orang-orang menganggapnya tidak. Bagi Irene, menikah di usia 30 tahun ke atas bukanlah hal yang menyedihkan meski sebenarnya ia pun ingin segera menikah. Namun, bagaimana bisa ia menginginkan sebuah pernikahan di saat ia belum berhasil menemukan laki-laki yang tepat? Meski tak sedikit orang yang menilai Irene sebagai sosok yang pemilih dan sangat perfectionist, jadi tak heran mengapa dirinya hingga saat ini masih belum juga berhasil menemukan tambatan hatinya. Jam istirahat tiba, dengan wajah yang lesu, Irene beranjak keluar dari dalam ruangannya menuju kantin untuk menikmati makan siang bersama yang lainnya. Sambil memegang tray selama mengantre makanan, Irene menoleh saat Dae-hyun tiba lalu kemudian berbaris di belakangnya. “Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu terlihat begitu lesu?” tanya Aaron pada Irene. “Selamat siang, Nona Park.” sapa salah seorang pelayan catering yang bertugas memberi beberapa macam lauk ke atas tray para karyawan di kantor. “Selamat siang.” sahut Irene tersenyum. Setelah berhasil keluar dari dalam antrean, Aaron terus berjalan di sebelah Irene seraya menunggu jawaban atas pertanyaannya tadi. Namun, Irene hanya terdiam sampai keduanya berhasil menduduki salah satu meja yang tersedia di kantin. “Apa kau akan terus menikmati makan siangmu dengan wajah yang seperti itu?” Aaron kembali bertanya saat Irene masih terus terlihat begitu lesu seperti tidak memiliki keinginan untuk hidup. Irene mulai menaruh sumpitnya lalu memegang kedua pipi Aaron untuk menatapnya, “Apa menurutmu aku terlihat begitu menyedihkan?” Aaron yang heran karena Irene tiba-tiba memegang kedua pipinya pun hanya bisa terdiam lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Ah, aku benci sekali bertambah dewasa.” Irene melepaskan tangannya dari wajah Aaron lalu melipatnya di atas meja dan menenggelamkan wajahnya di atas kedua tangannya yang telah terlipat itu. “Kau baik-baik saja kan?” tanya Aaron lagi. Irene menggeleng, lalu kembali mengangkat kepalanya untuk menatap Aaron, “Berapa usiamu?” “Tentu saja sama denganmu.” sahutnya sambil melahap irisan daging yang dimasak dengan saus teriyaki. “Ah, benar juga. Lalu, apa orang tuamu pernah mendesakmu untuk segera menikah?” Kini Aaron yang menggelengkan kepalanya, sementara Irene menghela napas panjang sambil kembali merebahkan kepalanya di atas meja, “Ah, menyebalkan sekali.” “Apa orang tuamu memaksamu untuk segera menikah?” Masih dengan wajah lesunya, Irene mengangguk. “Lalu kenapa kau bisa sampai terlihat sefrustasi itu?” Sontak, Irene kembali mendirikan kepalanya sambil terduduk dengan tegap dan menatap tajam wajah Aaron yang tengah asyik mengunyah makan siangnya, “Hei! Menurutmu? Apa bagimu perjodohan bukanlah sesuatu hal yang menyebalkan?” “Tidak juga.” sahut Aaron dengan santai. “Ah, tidak. Rupanya kau lebih menyebalkan dari Ibuku.” cibir Irene. “Andai saja kau tahu jika Ibumu seperti itu karena ia khawatir pada anak sulungnya.” “Tentu saja aku tahu! Tapi, apa harus sekhawatir itu?!” sahut Irene dengan tatapan jengkelnya. Ya, hanya di hadapan Aaron lah Irene bisa menjadi dirinya sendiri. Irene yang menyenangkan, ramah, menyebalkan, cerewet, hampir semua sifat Irene telah berhasil Aaron ketahui di saat seluruh karyawan di Perusahaan ini mengenal Irene sebagai sosok yang tegas selain mengenal sifat ramahnya. Selama masa-masa Sekolah Menengah Atas, Aaron menjadi salah satu sahabat baik Irene di sekolah. Meski keduanya hanya pernah merasakan satu kelas di kelas 10, namun hingga detik ini, persahabatan mereka masih berjalan dengan sangat baik. “Masa depan seperti apalagi yang ingin kau raih? Bahkan saat ini, dibanding teman-teman yang lain, hanya masa depanmu lah yang paling bersinar. Jadi, bukankah sudah seharusnya kau memikirkan untuk mencari pasangan hidup?” ujar Aaron kemudian. “Jika saja mendapatkan pasangan hidup semudah yang kau ucapkan, tentu aku akan menikah saat ini juga. Lalu bagaimana denganmu? Kau juga masih belum menikah hingga saat ini, bahkan kau juga sudah cukup sukses.” Kini Irene yang bertanya. “Belum ada desakan dari kedua orang tuaku.” Irene mendengus, “Lalu, kau tidak akan menikah sampai orang tuamu mendesakmu? Seperti itu?” Melihat wajah jengkel Irene yang menimpali ucapannya, Aaron pun tertawa, “Bukan begitu, hanya saja aku juga sedang mengusahakannya.” Masih dengan wajah jengkelnya, Irene mencoba melahap irisan daging dengan kedua sumpitnya. “Jadi, bagaimana? Apa kau akan menerima perjodohan dari kedua orang tuamu?” Setelah terjadi jeda beberapa saat di antara mereka, Aaron kembali bertanya. “Entah, aku meminta waktu untuk mempertimbangkannya terlebih dahulu sebelum menerima ajakan makan malam yang akan diadakan pada akhir pekan nanti.” Aaron tertawa kecil, lalu mulai bangkit dari tempat duduknya sambil membawa tray makan siangnya yang telah bersih dari sisa-sisa makanan. “Good luck!” ujar Aaron yang menepuk bahu Irene pelan sebelum akhirnya beranjak pergi. Irene hanya terdiam dengan wajah jengkelnya sambil terus memperhatikan langkah Aaron yang berjalan menuju salah satu pelayan catering yang bertugas menerima tray bekas makan siang untuk mereka cuci. * Irene mulai merenggangkan tubuhnya sejenak sambil melirik ke arah jam yang menempel di dinding yang saat ini menunjukan pukul 2 siang, di mana 2 jam lagi bel pulang kantor akan berbunyi. Saat hendak kembali menatap layar laptopnya, seseorang mengetuk pintu ruangan Irene. “Masuk.” teriak Irene dari kursinya. Seorang perempuan dengan rambut terikat rapi mulai berjalan masuk ke dalam dengan perlahan, “Permisi Nona Park, bagaimana dengan proposal dari Perusahaan Difour Company, apa sudah selesai ditandatangani?” “Ah, itu. Masih belum. Nanti dua puluh menit sebelum jam pulang kantor, saya akan memberikannya langsung ke mejamu.” “Tidak perlu, Nona. Kau bisa meneleponku untuk mengambilnya di ruangan. Kalau begitu, saya permisi untuk kembali bekerja.” ujar perempuan tersebut. Setelah mendapatkan anggukan dari Irene, perempuan itu pun kembali melangkahkan kakinya lalu keluar dari dalam ruangan Irene. Kini, tangan Irene kembali menarik laci mejanya lalu meraih sebuah proposal yang hingga detik ini masih belum juga ia tandatangani. Sudah yang kelima kalinya sejak proposal ini ia terima hanya bisa ia perhatikan lalu kembali menaruhnya masuk ke dalam laci. Irene mencoba mengambil sebuah pulpen yang juga tergeletak di dalam lacinya. Dengan helaan napas panjang, Irene membuka tutup pulpen tersebut lalu mulai menandatangani sebuah proposal kerjasama dari Perusahaan Difour Company. Dan seperti apa yang Irene katakan, dua puluh menit sebelum jam pulang kantor tiba, ia pun bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menghampiri sekretaris pribadinya. “Yeri, ini proposalnya dan sudah selesai kutandatangani.” ujar Irene saat tiba di depan meja perempuan bermarga Kang itu. “Ah, baik Nona. Terima kasih. Maaf telah membuatmu membawakannya langsung padaku.” Sambil membungkukan badannya, Yeri mengambil proposal tersebut lalu menaruhnya di dalam laci meja tempatnya bekerja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN