3. Terhantam

1100 Kata
"Mamah sama Papah ... cerai?" Torro mengucapkan kata-kata itu berulang kali, ditujukan kepada dirinya sendiri, mencoba memahami maksud dari semuanya, masih menepi di pinggir jalan dan berusaha untuk bangkit dari keterkejutannya, perkataan yang Rendy sampaikan beberapa waktu lalu lewat sambungan ponsel benar-benar telah memukul telak dirinya. Cerai. Entah kenapa satu kata itu sulit untuk dapat dicerna pikirannya saat ini. Dia tak pernah menyangka bahwa pertikaian yang sering dilihat Torro akan berdampak sejauh ini pada hubungan orangtuanya. Lagi pula, Torro berpikir, usia kedua orangtuanya itu sudah tak begitu muda sekarang. Untuk apa mereka melakukannya? Merasa keningnya berdenyut nyeri, Torro turun dari motor dan duduk di trotoar jalan, mencoba menjernihkan pikiran sebelum memulai lagi perjalanan. Dan saat itulah ponsel yang tengah di dalam genggaman tangannya berbunyi. Sebuah pesan singkat telah masuk. Torro mengecek ponselnya, melihat bahwa SMS itu datang dari Ruslan yang ternyata berisi sebuah nama jalan. Lokasi trek balap liar. Lalu ia menimbang-nimbang kondisinya sekarang, kepalanya pusing dan hasrat untuk bertanding yang sempat dirasakan tadi hilang entah ke mana. Sialan lo Ren, Torro menyumpahi dan mengutuk adiknya itu dalam hati. Apa yang telah dilakukan Rendy padanya lewat sambungan telepon telah membuat konsentrasi dan fokusnya goyah. Memutuskan bahwa dirinya tengah dalam kondisi tidak baik-baik saja untuk mengikuti balapan, Torro kemudian membuka phone book dari HP miliknya, menghubungi sebuah nomor kemudian menempelkan ponsel itu ke telinganya. Nada sambung pun terdengar. "Ya, Bro! Lo udah nyampe di mana sekarang?" Suara serak Ruslan terdengar setelah nada dering keempat. Torro merasa tenggorokannya kering dan panas, maka ia berdeham singkat terlebih dulu sebelum menjawab, "Gue masih di jalan. Sorry, Bro, kayaknya gue gak jadi buat ikut balapan malam ini." Suara pria dari sambungan seluler itu terkesiap. "Hah? Jangan ngaco lo, Bro. Kenapa? Arena balapan udah siap, orang-orang juga pada ngumpul di sana. Gue enggak mungkin bisa batalin gitu aja!" "Gue ngerasa lagi gak enak body," timpal Torro memijat keningnya dengan kedua jari tangan. "Mendadak kepala gue pusing." "Ah, s****n lo," Ruslan mengumpat meski nada yang dipakainya tak bermaksud untuk menyinggung. "Terus lo mau ke mana sekarang?" Torro memikirkan jawabannya sejenak. "Balik ke rumah. Udah lama gue gak pulang." Meskipun Torro tak ingin mengakui secara langsung, tapi ia tak bisa menyangkal bahwa kabar perceraian orangtua yang diterima sangat mempengaruhi pikirannya dalam banyak hal. Torro takkan membantah dan menyangkal jika ia dituduh sebagai anak kurang ajar dan pemberontak, karena memang begitulah adanya. Namun, saat hubungan ayah dan ibunya teracam rusak, dan tahu bahwa dirinya punya andil besar dalam membuat hal itu terjadi, Torro tak bisa hanya diam dan tak bertindak sama sekali. Ada jeda yang cukup lama sebelum Ruslan kembali bersuara, "Oke, gue gak bisa maksa lo buat ke sini, karena gue tau gak baik kalau lo ikut balapan pas kondisi lagi gak enak. Tapi, lo tau, kan apa akibatnya kalau lo batalin pertandingan ini secara sepihak? Padahal gue udah sampein ke anak Thamrin itu bahwa elo terima tantangan dia." Torro akan dianggap sebagai pecundang, kalah dan menyerah sebelum bertanding. Torro sangat tahu akan hal itu, merupakan hal yang sangat memalukan jika seorang pembalap membatalkan pertandingan secara tiba-tiba dengan alasan apa pun. Dirinya juga sudah punya reputasi yang bagus di antara para pemblap liar lain di Jakarta, dan keputusan bodoh yang diambilnya malam ini pasti akan menghancurkan reputasi cemerlang yang telah dibangun Torro selama ini dalam sekejap. "Gue tahu, dan gue siap tanggung resikonya," ucap Torro ragu, ia tahu bahwa keputusannya ini akan ia sesali nanti, "yang penting gue mau pulang dulu sekarang." Terdengar embusan napas berat dari ujung telepon. "Ya udah, gue mau kabarin dulu hal ini ke mereka. Take care, Bro." Dan sambungan ponsel itu pun terputus. Torro menatap handphone itu sejenak, masih merasa ragu akan keputusannya, ia lalu mengetik sebuah pesan singkat yang ditujukan kepada nomor adiknya. Ren, tunggu gue di depan rumah, jangan tidur dulu. Gue otw balik sekarang. Dan tombol send akhirnya ditekan. Ponsel itu Torro masukkan ke dalam saku celana, segera berdiri dari trotoar dan kembali menaiki motor, memasang helm-nya kemudian melanjutkan perjalanan berteman kegelapan malam. Di dalam perjalanan, Torro melajukan kuda besinya dengan kecepatan sedang, menembus angin bersama pengendara lainnya yang meramaikan jalan raya di ibu kota. Langit di atas kepalanya masih menampakkan kepekatan, bintang serta bulan tak terlihat, hanya awan hitam berlapis-lapis yang mendominasi sepenjuru langit. Motor yang dikendarainya pun masih melaju normal. Namun, Torro masih merasa ada sesuatu yang salah pada kondisi tubuhnya, keningnya masih berdenyut sakit, kepalanya pusing, rasa mual melanda perut serta tenggorokan yang terasa gatal. Dan apa ada yang salah dengan matanya? Torro melihat jalanan yang berada di hadapannya berbayang, mencoba menggelengkan kepala guna menjernihkan pengelihatan, tapi pandangannya terasa buram tak dapat menatap dengan jelas. Tanpa Torro sadari, semua Vodka yang diminumnya sewaktu di diskotik tadi mulai mempengaruhi cara kerja badannya. Torro menaikkan kecepatan laju motornya, dengan maksud supaya sampai ke tujuan lebih cepat. Sebuah keputusan yang salah. Hal yang seharusnya tidak Torro lakukan. Bukankah tidak baik berkendara di bawah pengaruh alkohol? Pusing yang melanda kepalanya semakin mejadi-jadi. Refleks, satu tangannya menekan helm yang melindungi kepala, keningnya berkerut, mulut mengernyit dan matanya terpejam. Membuat konsentrasi berkendaranya hilang. Membuat fokusnya buyar. Membuat Torro tak menyadari bahwa lampu lalu lintas di hadapannya yang semula hijau kini telah berganti warna menjadi merah. Tetapi, motor Ducati Monster hitam yang dikendarai Torro tetap melaju dengan cepat. Suara klakson yang terdengar bertubi-tubi membuat Torro tersentak, teriakan peringatan dari orang-orang memaksa matanya untuk terbuka, dan pada saat itulah Torro melihat sesuatu yang sangat berbahaya tengah ia hadapi; sebuah truk besar yang melaju dengan cepat hanya berjarak beberapa meter dari motornya berada. Pada satu detik yang singkat, detik sebelum semuanya hancur, Torro menyadari alasan mengapa tubuhnya bekerja tidak normal. Dasar Vodka s****n, umpatnya getir. Dan tabrakan hebat pun tak terhindarkan. Bagian depan truk itu menghantam motor Torro dengan ganas, menciptakan suara derakkan keras kala motornya terseret beberapa meter. Tubuh Torro terlempar jauh, melayang di  udara selama beberapa detik, dan kemudian terseret aspal jalan, dapat Torro rasakan bagaimana rasa sakit saat tubuhnya tertekan, melayang dan menghantam tanah. Namun, tak terhenti begitu saja, seorang pengguna motor yang masih belum tahu bahwa kecelakaan telah terjadi tetap melanjutkan motornya, pengendara itu lengah, menabrak kembali tubuh Torro yang tak dapat bergerak, ban motornya menghantam d**a, derak tulang patah terdengar seiring terjatuhnya penabrak itu beserta kuda besi tunggangannya. Dua tubuh yang terbaring di aspal jalan itu tak bergerak sama sekali. Teriakan histeris dari orang-orang yang melihat kejadian itu begitu riuh, membuat sang supir truk menginjak rem tiba-tiba, sadar bahwa dirinya telah menabrak seseorang, membuat suara decitan ban yang terdengar mengerikan. Semua orang akhirnya menghentikan kendaraan mereka. Motor Torro berhenti setelah menubruk trotoar jalan di dekat tihang besi lampu lalu lintas, beberapa bagian motor rusak parah, penyok. Kaca spion yang pecah berhamburan di atas aspal hitam. Tubuh Torro sendiri terlihat dalam kondisi tak baik. Darah segar, merah dan kental merembes keluar dari raganya yang berbaring kaku. Mata dari raga Torro terpejam ... selamanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN