5. Harapan

2214 Kata
"Kita pesen jjukumi aja, gimana? Makan berdua, soalnya porsinya gede." Renat menawarkan sembari terus membolak-balikkan buku menu. "Jjukumi apa?" Abi bertanya lagi sebab ketidaktahuannya. "Itu yang kayak orang sebelah makan." Renat melirik sekejap ke arah kanan sehingga Abi dapat mengerti maksudnya. Abi berpikir sesaat, menatapi meja pengunjung di sebelahnya saja sudah membuat perut Abi kenyang seketika. "Itu gurita, Re?" Renat mengangguk walau kepalanya masih setia menunduk menatap menu. Perempuan itu masih bingung harus memesan makanan apa untuk Abi. Dia jelas tahu bagaimana selera pria satu itu. Abi memang sedikit sulit bila dalam urusan makanan. Sikap pemilihnya harus Renat ubah pelan-pelan. Renat mendongak, menatap Abi seraya berpikir. "Kamu mau nggak? Jjukumi enak kok. Jadi itu guritanya ukurannya yang kecilkan, nah entar dia dipakein saus namanya gochugang. Enak banget, aku nggak bohong. Kalau nanti dimasak apinya juga mesti gede." Abi menekan bibirnya, diam sesaat. Bila dipikir-pikir, kasihan Renat. Ia terlihat begitu sabar menanggapi keinginan Abi yang terlampau macam-macam. Tanpa mempedulikan lagi perihal seleranya, Abi bersuara. "Kamu mau?" "Kalau aku ya pasti aku makan. Kamunya gimana? Atau kamu mau makan yang porsi biasa aja? Yang makanan kuah apa kering?" "Pilihin yang kuah deh." Abi mengusap tengkuknya, merasa benar-benar buruk. "Kamu kenapa, sih? Aku nggak apa-apa kok nungguin kamu mau mesen apa. Lagian kan biasanya kalau kamu ke sini kita makannya emang di rumah. Aku juga awal tinggal di sini susah adaptasi lidahnya." Renat memberikan senyum tulus pada Abi, kemudian dengan pelan mengambil gelas dan menuangkan teh untuk Abi. "Santai aja. Kamu suka tahu, kan? Aku pesenin sundubu jjigae, ya. Itu sup tahu pedes." "Yaudah itu aja." Renat akhirnya tersenyum ketika melihat makanan yang ia cari terdapat di dalam menu. "Kalau kamu nggak mau jjukumi, kita pesen bulgogi aja. Daging kok." "Kenapa nggak bilang dari tadi?" Abi dengan wajah geram menatap Renat yang kini sibuk tertawa geli. Sambil menunggu bulgogi, sundubu jjigae, dan dua mangkuk nasi, Abi dan Renat menghabiskan waktu untuk bercerita. Seperti biasa, Renat yang cerewet sementara Abi yang sabar memberikan tanggapan. Kadang kala keduanya tertawa akan guyonan tidak penting milik Renat. "Abi-ssi." Renat memulai. "Nggak lucu," ujar Abi datar. "Abi-ssi, poppo." Abi menghela napas panjang, kemudian meletakkan telapak tangannya ke bibir. Dan secara menggemaskan, memindahkan telapak tangan itu ke pipi Renat. "Udah." "Lucunya." Tawa Renat berhasil lepas lagi sebab perbuatan Abi. Pria itu memang melakukan hal yang Renat minta, tapi ekspresi datar Abi benar-benar membuat perut Renat terguncang. "Udah ketawanya," peringat Abi dan Renat menuruti. Tepat setelah itu, makanan yang mereka pesan datang. Abi refleks memundurkan sedikit badan sebab terkejut kala kompor berukuran cukup besar diletakkan di tengah meja. Beberapa macam sayuran hijau di letakkan bersusun, serta saus lalu sendok dan sumpit. Dan Abi memperhatikan semua itu dengan seksama. Masih berlanjut, sundubu jjigae yang dipesankan Renat untuk Abi pun ikut melengkapi meja makan mereka. Diam-diam, Abi mencium makanan di depannya. Aromanya cukup menggugah selera makan Abi. Pun semoga dengan rasanya. Abi memperhatikan gerakan Renat ketika wanita itu mengambil sumpit dan tanpa ragu mengambil satu-satu jenis makanan untuk mencium baunya. "Seger banget sayurannya," ujar Renat dan Abi masih mengernyit. "Emang nggak apa-apa cium makanan kayak gitu?" Renat menatap Abi, lalu mengangguk dua kali. Senyum manis terpasang di wajahnya. "Ini Korea, Bi." Abi hanya mengangguk patuh, kemudian mengambil sendok dan mencelupkannya dengan cepat ke dalam sup tahu. Pelan namun pasti, Abi menyuapkan makanan itu ke mulutnya. "Enakkan?!" Renat bersuara lagi, meminta pendapat Abi terhadap makanan yang ia pesankan. "Lumayan," ujar Abi dan kini mulai menyendok nasi. Sup tahu ini enak. Hanya saja, Abi tidak yakin dapat menghabiskannya dengan cepat. "Abis ini kita kemana lagi?" Renat yang tengah asik membakar daging bertanya. Senyum lapar itu benar-benar tidak luntur dari wajahnya. Diambilnya selada, lalu dengan cekatan mengatur sedikit nasi serta beberapa bumbu tambahan lain ke dalamnya. Daging yang sudah matang ikut Renat masukkan ke dalamnya, dan dengan lihai menggulungnya selada tersebut. "Buka mulutnya, deh." Abi yang menerima perlakuan Renat menurut, dibukanya mulut dan mengunyah makanan itu dengan semangat. Ini enak. "Sekarang kamu yang makan." Renat mengangguk, kemudian kembali sibuk dengan kegiatannya. Abi sendiri tertawa sebab melihat betapa lahapnya Renat makan. Semua makanannya tetap dapat masuk ke dalam mulut bila terdapat cukup ruang. Tangannya pun cekatan mengganti sendok dengan sumpit, seperti sudah ahli. Sedang Abi, sup tahunya saja belum sampai tersuap lima kali. "Bi," panggil Renat kini terdengar lebih serius. Abi mendongak, melepaskan perhatiannya dari sup tahu di hadapannya. Dilihatnya Renat yang tidak lagi memegang sumpit maupun sendok. "Kenapa?" "Tentang Tae Joon---" "Kamu sedeket itu sama dia?" Renat menahan napas sesaat, merasa terpojokkan oleh pertanyaan Abi. "Dia temenku di sini, Bi." Abi mengedikkan bahu, mengalihkan tatapannya dari Renat. "Aku harap bukan dia alasan kenapa kamu nolak aku dulu." "Bi, enggak gitu." Renat menanggapi cepat. "Dia banyak bantu aku di sini. Kenapa sekarang aku bisa dapet kerjaan bagus juga karena Tae Joon." "Kamu satu kerjaan sama dia?" "Satu gedung rumah sakit, tapi beda bagian." Abi diam, sebenarnya enggan bercengkerama dengan topik semacam ini. Rasanya wajar-wajar saja bila Abi menaruh rasa cemburu pada seorang pria yang menghabiskan waktu lebih banyak bersama Renat dibanding dirinya. Tapi wanita di seberang Abi sekarang, Renat, dia tidak paham. "Yang tadi, dia ngomong apa sama kamu?" Rasa penasaran Abi kembali muncul. "Ngomong apa?" "Sebelum dia ngasihin tas kamu. Dia ngomong panjang banget, aku nggak ngerti. Dia ngomong apa?" Renat menunjukkan senyum aneh. Dia merasa akan sedikit lucu bila mempermainkan Abi sekarang. "Dia bilang, kamu lucu." "Apa?" Abi mengernyit. Tidak mungkin Tae Joon memyebutnya lucu dalam kalimat panjang tadi. Terlebih ekspresi wajah Tae Joon yang terlihat serius ketika berbicara. "Aku serius, Re." "Aku juga." Renat mengangguk dengan wajah polos. "Dia nggak mungkin bilang itu." "Seriusan dia bilang kamu lucu. Dia juga pengen kamu jadi temennya." Abi menatap Renat beberapa saat, sebelum akhirnya menunduk dan menyuapkan kembali sup tahu ke dalam mulutnya. Pria itu memilih untuk tidak melanjutkan lagi, lebih baik diam dan lanjut menghabiskan makanannya. "Bi," panggil Renat pelan. "Hm?" "Cemburu, ya?" Renat menahan senyum gelinya, tidak sabar menunggu jawaban Abi. Dengan santai Abi menanggapi, "Cemburu kenapa?" Renat berdehem, wajahnya sukses menjadi merah sebab respon mengesalkan seperti itu. Apa susahnya menjawab jujur pertanyaan sederhana yang Renat tanyakan. Padahal Abi tidak perlu belajar dan membuka buku terlebih dahulu hanya untuk mengatakan tiga kalimat yang Renat harapkan. 'Iya, aku cemburu.' Pria dewasa memang menyebalkan. Masih dalam suasana dongkol, Renat mengambil daun selada dan lagi-lagi membungkus daging ke dalamnya. Lalu menyuapkannya tanpa perasaan ke mulut Abi. "Tuh, telen." Abi tidak menanggapi, lebih parah lagi, ia mengunyah daging lembut tersebut dengan semangat. Benar-benar berakting tidak peka terhadap apa yang Renat inginkan. Ketika mulutnya kembali kosong, Abi baru memanggil Renat. "Re." "Kenapa?" tanya Renat sedikit sewot. "Bikinin lagi." Renat bersumpah, jika pria di depannya bukanlah seseorang yang berarti, ia sudah akan membuang Abi dan membiarkannya tersesat di tengah kota Seoul. Membiarkan Abi memakan tteokbokki setiap hari. Namun sepertinya, hati dan otak memang sering tidak sejalan. Sebab tangan Renat kini kembali sibuk mengambil daging dan meletakkannya di atas daun selada---entah ia sadar atau tidak. ♦ r e t u r n ♦ "Masih jam segini," ujar Abi sambil melihat jam di pergelangan tangan kirinya. "Kamu temenin aku ke hotel dulu, mau?" Renat yang tengah menatap jalanan menoleh dan mengerjap pada Abi. Telinga Renat sepertinya sedikit bermasalah dalam mendengar. "Hotel?" Abi yang tampak santai mengangguk, kemudian meraih tangan Renat untuk kembali berjalan bersama. Walau masih dilanda keterkejutan akan ajakan Abi, Renat tetap menurut. Terlebih, Renat tersenyum dalam diamnya. Digenggamnya tangan Abi lebih erat, takut saja bila pria itu tiba-tiba menghilang. "Re." Abi menatap Renat yang kini melihatnya penasaran. "Seoul bikin kamu nyaman, Re?" Jantung Renat kembali berdetak tidak normal. Renat tahu kemana pembicaraan ini akan berujung, dan ia sangat tidak ingin mereka menghabiskan hari ini dengan bertengkar. Namun pada akhirnya, Renat mengangguk pelan. "Aku nyaman." "Kenapa?" tanya Abi lirih. Dirinya terlalu takut akan jawaban Renat. "Ada tiga hal yang bikin aku nyaman." Renat diam sesaat, menikmati cuaca cerah yang tengah semesta suguhkan. "Mama, Seoul, terus kamu." Abi kembali menatap Renat, kali ini untuk waktu yang lebih lama. Senyum tipis pria itu terukir sesaat. Sebab setelahnya Abi kembali ragu atas ucapan Renat. Benarkah dirinya termasuk? Atau hanya sebuah dalih agar Abi tidak terlalu tampak menyedihkan untuk Renat. Jika Abi memang menjadi alasan untuk sebuah kenyamanan yang Renat maksud, lantas mengapa ia menerima penolakan? "Tapi lucunya, tiga hal yang buat aku nyaman, itu malah jadi musuh besarku di awal. Aku yang dulu selalu salah paham sama mama, ngebentak mama seakan-akan dia bukan ibuku. Sampai mama bilang kalau dia bakalan pindah dan mau bawa aku ke Seoul. Aku juga nggak terima. Aku benci hidupku diatur-atur sama mama, dulu. Dan kamu. Dulu, aku selalu nilai kamu buruk. Abi yang sok jagoan, Abi yang pengen dipandang wow sama satu sekolahan, Abi yang cueknya nggak pernah surut ke aku." Abi diam, tetap setia mendengarkan Renat bercerita. Sesekali, tangan Abi mengelus pelan tangan Renat. Mencoba memberi wanitanya satu hal yang orang-orang sebut dengan ketulusan. "Tapi waktu kamu mulai ulurin tangan buat bantu aku, mungkin dari situ aku mulai jatuh ke kamu. Ternyata Abi yang aku nilai sok jagoan, bener-bener jagoan. Abiku baik." Renat menatap Abi serius, lalu tertawa sehingga wajahnya terlihat lucu. "Gitu juga sama Seoul. Aku udah jatuh hati sama kota ini. Tapi harusnya, nggak peduli dimanapun aku, kalau masih ada kamu atau mama, aku tau aku bakal tetep baik-baik aja." Abi seketika berhenti melangkah, membuat Renat jadi menatapnya penuh tanya. Abi masih belum bersuara, sebaliknya, ia membawa Renat pelan dalam dekapannya. Tidak peduli apa yang akan orang-orang pikirkan tentang mereka. Sebab merengkuh tubuh mungil tersebut, adalah hal yang begitu Abi inginkan sekarang. "Aku sayang kamu, Re," ujar Abi dengan suara rendah. Renat tersenyum, dia tahu bahwa prianya akan mengatakan ini. Diusapnya pelan punggung Abi, mencoba membalas sikap lembut pria itu. "Aku juga sayang kamu, Bi." Abi membebaskan Renat dari dekapannya, menatap manik mata wanita itu serius. "Ayo, aku mau tidur sebentar di hotel." "Abi!" Renat berujar sebal, namun tidak melawan kala Abi menariknya ke tepi jalan untuk memberhentikan taksi. "Naik bus aja. Taksi mahal." "Aku yang bayar." "Aku juga bisa bayar," celetuk Renat kian sebal. Lagipula, untuk apa dia menemani Abi menuju hotel? "Kamu punya hutang sama aku, Re." Abi bersuara tepat setelah taksi berhenti di dekat mereka. Dibukanya pintu agar Renat masuk lebih dulu, setelah itu Abi menyusul. Sebelum menjawab ucapan Abi, Renat menyebutkan nama hotel tempat Abi menginap kepada sang supir. Kala taksi mulai berjalan, ia buru-buru bersuara. "Hutang apa? Aku nggak punya hutang apa-apa sama kamu." "Kamu harus bayar hutang kamu waktu kita sampai di hotel." "Abi, aku nggak punya hutang sama kamu!" Renat bersikeras, namun Abi sudah menutup matanya terlebih dahulu. Entah benar tertidur atau sedang berpura-pura. "Bi, seriusan. Kalau kamu suruh aku bayar biaya nginep kamu, aku harus pulang dulu, aku nggak bawa uang banyak." "Sepuluh menit," ujar Abi dengan mata terpejam. Kemudian dicarinya bahu Renat untuk menjadi sandaran. "Biarin aku istirahat sepuluh menit. Aku nggak tidur semalam." Renat diam. Menatap wajah damai Abi dalam tidurnya, berhasil membuatnya nyaman. ♦ r e t u r n ♦ Abi membuka pintu kamar hotel dan membiarkan Renat masuk lebih dulu. Pria itu tertawa kecil. Renat tampak benar-benar ketakutan, seperti ada tulisan besar di dahi wanita itu yang mengatakan bahwa ia tengah khawatir mengapa Abi mengajaknya kemari. Renat mencoba bersikap normal, berjalan menuju sofa dan menyalakan televisi. "Aku punya hutang apa sama kamu?" "Mau bayar sekarang?" "Tapi hutang apa dulu, Bi." Renat menjawab dengan gemas. Entah Abi tengah mempermainkannya atau tidak, Renat tidak tahu pasti. "Kamu mau bayar hutangnya di sofa atau tempat tidur?" Renat melotot, kali ini benar-benar tidak suka. "Maksud kamu apa, sih? Apa yang sofa? Apa yang tempat tidur? Kamu ngapain segala bawa aku kesini? Kalau niat kamu iseng, nggak lucu tau, nggak?" Renat baru akan berbalik ketika Abi dengan cepat meraih lengannya. Rasa bersalah seketika membanjiri Abi dari kepala hingga kaki. "Aku mau tidur. Tapi nanti kita bangun lagi jam empat sore." Abi akhirnya berjalan sendiri ke tempat tidur, memilih bertelungkup berharap dengan begitu degub jantungnya bisa kembali normal dengan cepat. Benar, tidak seharusnya Abi membawa Renat kemari dan sibuk berkata bahwa wanita itu memiliki hutang padanya. Renat tidak berhutang apa-apa. Sementara Renat masih berdiri, mencoba mencerna apa yang Abi inginkan. Tepat di detik berikutnya, Renat tersentak. Melihat Abi seperti ini, entah kenapa bayangan ketika pria itu sakit seperti terlintas begitu saja di kepalanya. Seharusnya Renat sadar bahwa tempo hari ketika Abi jatuh sakit, Renat sama sekali tidak melakukan apa-apa dan malah mengajak Abi bertengkar. Kini ia yakin, bahwa Abinya membutuhkan pelukan. Perlahan, Renat melepas sepatunya sehingga hanya menyisakan kaus kaki putih. Ia mendekati tempat tidur, memberi Abi selimut kemudian berbaring tepat di sebelah pria itu. "Abi," panggil Renat lembut sambil mengelus rambut Abi. Kemudian ragu-ragu bersuara. "Kalau kamu tengkurep gitu, aku nggak tau gimana cara meluknya." Tanpa Renat duga sebelumnya, Abi merubah posisi telungkupnya menjadi menatap Renat. Kemudian dengan pelan, mengajak wanita cantik tersebut untuk masuk dalam dekapannya. Abi tetap diam, sembari sibuk mencium wangi rambut Renat. Dia suka. "Aku harap Jakarta sama aku juga berhasil bikin kamu nyaman. Persis kayak Seoul sama mama kamu. Supaya nggak ada lagi alasan buat kamu nolak aku." Dalam hangat dekapan Abi, Renat akhirnya sadar bahwa Abi tengah terluka. Namun Renat juga ingin dimengerti, bahwa lamaran Abi sukses membuat luka-luka lama yang Renat simpan kembali muncul dan berhasil menjatuhkannya. ♦ r e t u r n ♦
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN