Bab 10

594 Kata
 Hugo sedang menikamati secangkir teh hangat ketika Jelita turun ke kedai roti. Sepotong sandwich di atas meja tampaknya menjadi menu sarapan pilihan Hugo.   Melihat sosok Hugo sudah ada di kedai sepagi itu membuat Jelita menahan langkahnya dan bersembunyi di balik dinding. Bibi Mel yang melihatnya hanya mengangkat sebelah alisnya, bertanya dalam mode tanpa suara hanya isyarat yang dipahami oleh keduanya.   Jelita hanya menggeleng . Ia menarik napas panjang mencoba untuk bersikap tenang. Kemudian bertanya dalam suara hanya menggerakkan bibirnya. “Ada si pengacara?”   Bibi Mel hanya mengangguk pada awalnya. Tak lama sebuah senyum usil muncul pada raut wajahnya. Sebuah pemikiran terlintas tidak sengaja. Perempuan paruh baya itu menyeringai menatap Jelita yang tengah mengintip ke arah kedai.   “Neng Lita, Pak Hugo ganteng ya?” bisik Bibi Mel dari belakang Jelita.   “He eh. Eh ....” Jelita langsung menutup mulutnya begitu menyadari ia keceplosan. “Bibi apaan sih? Ngagetin aja?”   Bibi Mel tertawa kecil melihat Jelita bersungut-sungut kesal.     “Udah sana samperin. Pak Hugo sengaja datang pagi-pagi memang sengaja mau ketemu sama Neng Lita.”   “Kata siapa?” tanya Lita penasaran.   “Atuh mana mungkin sih laki-laki ganteng gitu yang dicarinya kayak Bibi gini? Sana keluar.” Bibi Mel setengah mendorong badan Jelita agar tidak lagi bersembunyi. Kericuhan kecil itu yang justru memancing perhatian Hugo.   Jelita yang terlanjur terdorong dan tertangkap mata oleh Hugo hanya melemparkan senyum. Mau tidak mau ia akhirnya menghampiri pria muda yang kini tak lagi mengenakan setelan formalnya.   “Tumben pagi-pagi sudah di sini?” Gadis itu menarik sebuah keusi di hadapan Hugo dan duduk.   “Mulai hari ini saya tinggal di sini.” Hugo menjawab lalu meletakkan cangkir tehnya.   “Hah.” Jelita terkejut dengan dua kata terakhir yang diucapkan oleh pria berhidung mancung itu. “Di sini?”   Hugo hanya mengangguk.   “Maksudnya di sini, di kedai ini? Di Delish Bakery? “ Hugo terbatuk mendengar pertanyaan Jelita.   “Ehm. Maksud saya, saya menginap di kota Bogor mulai hari ini. Saya sudah menemukan sebuah tempat untuk menginap selama beberapa minggu.” Hugo terpaksa memberikan penjelasan hanya agar Jelita tak lagi mengajukan pertanyaan aneh.   “Kenapa sekarang kamu, eh, saya harus panggil apa ya? Enggak mungkin kan kalo ‘kamu’. Itu nggak sopan.”   Hugo sedikit terkejut dengan alasan kesopanan Jelita. “Menurut siapa itu tidak sopan?”   “Semua orang tau kan, kalo kita wajib menghormati yang lebih tua. Baik itu secara usia maupun secara strata sosial.”   “Darimana kamu tau saya lebih tua?”   “Karena nggak mungkin kamu lebih muda. Ayah bilang kamu bertahan paling lama kerja sama Ayah. Setidaknya beda usia kita lima tahunan deh.” Jelita menjelaskan dengan santai.   “Kalo gitu, kamu bisa panggil saya Kakak.”   “Oke. Jadi, kenapa sekarang Kakak Hugo harus tinggal di Bogor? Cuti? Liburan?”   Hugo menatap Jelita tak percaya. “Kamu ingat apa yang kamu bicarakan dengna Pak Rayhan kemarin?”   Jelita mengangguk.   “Kamu ingat syarat yang diberikan oelh Pak Rayhan?” Sekali lagi Hugo memastikan.   Jelita mengangguk satu kali. Tapi kemudian matanya tampak seperi mengingat-ingat sesuatu. “Sya ... rat? Maksudnya syarat yang mana ya?”   Hugo tertawa kecil. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Tangan kanannya menutupi mulutnya yang berusaha untuk tidak tertawa.   Jelita merasa jengkel namun ia tidak bisa marah. Ia tampak menikmati bagaimana ekspresi Hugo.   Setelah bertahan beberapa menit akhirnya Hugo kembali memasang wajah seriusnya. Ia meletakkan selembar brosur di atas meja.   Jelita terperangah melihat judul brosur itu.   Royal Academy “Sekolah kepribadian?” Jelita berusaha memperjelas maksud Hugo.   Sementara yang ditanya hanya mengangguk tersenyum. “Kamu nggak perlu ikut kelas penuh. Saya sudah mendaftarkan kamu supaya ikut kursus kilatnya saja. Skitar tiga sampai empat minggu.”   “Apa?!”   “Kenapa kaget? Bagus kan? Kamu nggak usah repot-repot lagi. Kamu tinggal datang dan ikuti kelasnya.”   Jelita memberengut tak suka. Ia memonyongkan bibirnya dan terus menggembungkan pipinya.   “Kapan dimulai kursusnya?” tanya Jelita pada akhirnya setelah Hugo mlahasyik menyantap sandwich dibanding menanggapi aksi kesalnya.    “Hari ini.”   Sebuah payung cantik layak Jelita terima  karen sudah kesekian kalinya ia terkejut dengan berita di pagi ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN