Bab 11 Akhirnya Bisa Menghirup Udara Bebas

1807 Kata
Adinda Mulyo Tojewo adalah mantan narapidana yang berbeda sel dengan Ruby, tapi wanita itu kadang-kadang berbaik hati untuk menemaninya secara diam-diam agar tidak begitu merasa kesepian. Keduanya tahu kalau sering bersama akan mendatangkan masalah, maka dari itu merahasiakan kebersamaan dan kedekatan mereka selama ini. Ruby dulu hendak menolak rasa kasihan yang diberikan kepadanya, tapi karena Bu Adinda memaksa, maka dia pun perlahan luluh. Wanita tua itu cukup banyak menolongnya di dalam penjara secara diam-diam, tapi karena masa tahanannya sangat singkat, maka tidak bisa menemani Ruby berlama-lama. Melalui perantara orang lain, mereka kadang bertukar kabar setiap beberapa minggu sekali. Bu Adinda tidak berani muncul menjenguknya sendirian, dan Ruby juga lebih dahulu menasihatinya untuk meminimalkan hubungan mereka, karena tahu dirinya pasti akan memberinya masalah jika terekspos terang-terangan. Sekarang, dirinya sudah bebas, dan juga sudah tidak memiliki hubungan apa pun dengan Alaric Jiang atau pun Aidan Huo, atau pun juga dengan keluarganya sendiri yang tidak peduli kepadanya bagaikan anak adopsi, jadi sudah bisa hidup semaunya, bukan? Tidak ada yang akan mengusik hidupnya yang sederhana kali ini. Tidak perlu punya hubungan dengan mereka semua di masa lalu lagi. Sekiranya, itulah yang Rubyza Andara pikirkan setelah keluar dari penjara. Tidak tahu kalau sebuah neraka baru di luar sana sedang menunggu untuk memberinya siksaan dan penderitaan baru lainnya. “Ayo, kita makan semangkuk tahu untuk buang sial setelah keluar dari penjara! Kebetulan ada warung dekat rumah yang jualan tahu sangat enak!” Ruby linglung menatapnya. Bu Adinda tertawa lepas, menjelaskan penuh semangat, “aku lihat di drama Korea, katanya kalau keluar dari penjara, ada baiknya makan tahu. Tidak tahu apa maksudnya, tapi sepertinya itu juga bagus untuk kesehatan. Kamu kurus begini, sekali ditiup angin, pasti akan terbang ke langit!” “Anda terlalu banyak menonton film, Bu Adinda,” kekehnya serak dengan suara jeleknya. Bu Adinda menetapnya prihatin, sangat kasihan dengan fisik Ruby yang sudah sangat rusak dan berantakan. Suaranya juga sangat buruk, bikin kuping siapa pun pasti tidak nyaman mendengarnya kalau tidak terbiasa. “Ruby... kamu sungguh kuat bisa bertahan di dalam neraka itu,” ucapnya tulus dan dalam kali ini, mengusap-usap kedua bahunya penuh sayang. Senyum samar-samar Ruby muncul di wajah jeleknya, terlihat pahit dan sedih, “sekarang semuanya tidak penting lagi, Bu Adinda. Saya tidak mau mengingat masa lalu hanya untuk menyakiti hati sendiri.” Bu Adinda mengangguk cepat, kening bertaut dalam. “Benar. Benar. Kamu ada benarnya juga. Walaupun mereka menyiksamu sedemikian rupa, yang terpenting kamu masih bertahan dan sudah bebas dari mereka sekarang. Apa yang kamu bawa ini?” tanyanya sejurus kemudian, mengangkat kantong plastik bening yang dibawa olehnya. “Beberapa dokumen tidak penting dan sedikit uang,” balasnya pelan, suaranya merendah sedih, tapi segera dihapus dengan sebuah senyuman. Dokumen itu sebenarnya adalah bukti perjanjian dan akta cerai yang diperolehnya dari Alaric Jiang, mantan suami kejam yang ternyata selama ini hanyalah pria penuh tipu daya dan sangat pandai berakting. “Ayo, kita makan semangkuk tahu, Bu Adinda. Anda mentraktir saya, kan?” lanjutnya dengan nada sedikit menggoda, ekspresinya melunak jahil. Itu adalah ekspresi yang terlihat lebih hidup setelah sekian lama hidup di dalam penjara, tidak seperti biasanya yang hanya bisa memasang wajah murung dan kelam bagaikan boneka tanpa jiwa dengan mata hampa sedihnya. Bu Adinda gemas melihatnya, lalu mengangguk penuh kepedulian. “Tentu! Tentu saja! Ikut denganku! Kita makan tahu yang banyak!” *** Kehidupan Rubyza Andara yang baru sangatlah sederhana dalam beberapa bulan ini. Begitu jauh dari kemewahan dan sifat glamor yang biasa disandangnya sejak kecil. Tapi, jauh lebih baik dibandingkan yang ada di dalam penjara. Kehidupan keras di dalam penjara dapat dengan mudah membuatnya beradaptasi dengan lingkungan barunya saat ini. Dia jadi lebih membumi dan sangat rendah hati. Tidak ada lagi setetes pun kesombongan yang selalu melekat di dalam dirinya selama ini. Apa yang dulu dimintanya kepada pengacara Alaric Jiang, ternyata setelah mendatangi panti asuhan yang ditunjuknya, dia hanya menerima barang-barang yang dinilai Ruby tidak berguna banyak. Yang membuat hatinya tenggelam dan sangat sedih adalah kenyataan pahit kalau semua ijazah dan dokumen penting terkait data dirinya terbakar di mansion mantan suaminya. Beberapa hari setelah Ruby keluar dari penjara, sang pengacara menjelaskan kebakaran yang sempat menimpa mansion pria itu melalui sambungan telepon. Katanya, sebagian besar kamar utama di mana mereka biasa tidur sebagai suami istri, dilalap api akibat korsleting listrik. Walaupun dia sedih karena semua riwayat pendidikannya hilang tak bersisa, dengan status mantan narapidana yang dimilikinya, mau bekerja normal pun sangatlah sulit. Jadi, hilangnya semua ijazahnya itu tidak begitu membuatnya berlarut-larut dalam kesedihan. “Ruby! Masih ada 2 keranjang seprai lagi yang harus dicuci sore ini! Apa kamu sanggup?” tanya Bu Adinda, melongokkan kepalanya keluar pintu, menatap sosok rapuh dan kurus yang tengah sibuk mencuci pakaian di sebuah baskom besar di lantai halaman belakang sebuah rumah kecil sederhana. “Boleh. Saya masih kuat, Bu Adinda!” balasnya dengan senyum letih, keringat bercucuran di kedua pelipisnya. Mencuci cucian kotor adalah salah satu pekerjaan serabutan yang dilakukan oleh Ruby semenjak menyadari tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus lagi dengan masa lalunya. Tidak punya ijazah, identitas masih belum jelas tanpa KTP, membuatnya hanya bisa melakukan pekerjaan kasar di mana-mana. Kadang jadi tenaga tambahan, kadang pula ikut bersama Bu Adinda melakukan beberapa pekerjaan bersama beberapa wanita lain. “Kalau tidak sanggup, bilang saja, ya! Nanti sakit lututmu kumat lagi,” ucapnya cemas. Ruby menggosok seprai kotor menggnuakan kedua tangannya, menggeleng cepat. “Kalau sudah minum obat, sakitnya tidak akan terasa lagi.” “Ruby...” Bu Adinda menatapnya kasihan. Semenjak keluar dari penjara, Ruby bekerja serabutan seperti tidak mengenal lelah. Dia tahu kalau wanita malang itu pasti ingin mengalihkan pikirannya dan melupakan masa lalu. “Jangan khawatir, sebentar lagi semuanya akan selesai, Bu Adinda,” jelasnya dengan suara jelek dan rendahnya, tersenyum rapuh dan sedikit pucat. “Baiklah. Kalau begitu aku keluar beli nasi goreng dulu untukmu. Oh, ya! Satu lagi, besok kamu tetap akan berangkat kerja ke tempat itu, kan? Sungguh tidak apa-apa ikut mereka? Pekerjaanmu sudah cukup banyak, Ruby. Nanti badanmu tumbang, tidak kuat melakukan semuanya.” Ruby menggeleng tanpa ragu. “Saya belum punya kartu identitas, Bu Adinda. Bisa diterima di tempat kerja seperti itu, meski hanya sebagai tukang bersih-bersih tambahan, mungkin bisa jadi peluang bagus untuk saya diterima kerja sebagai karyawan tetap di sana.” “Masalah kartu identitas itu, aku akan segera mendesak Imran agar segera mengurusnya. Jangan khawatir, dia punya kenalan beberapa orang pemerintah. Kamu pasti bisa segera mendapatkan identitasmu kembali. Aku jamin, kamu pasti bisa mendapatkan nama baru saat itu juga. Hidupmu yang baru akan jadi sempurna.” “Terima kasih, Bu Adinda,” ucapnya dengan kesungguhan di wajahnya, sedikit terharu hingga sudut matanya memancarkan kilauan kecil. Bu Adinda tersenyum mengangguk gemas, menggerak-gerakkan tangan kanannya seolah-olah berkata ‘Sudah. Sudah. Tidak perlu dipikirkan.’ Wanita tua berdaster itu akhirnya meninggalkan Ruby yang sibuk bergulat dengan beberapa baskom cucian kotor. Di tubuhnya kini hanya terpasang pakaian training tua abu-abu pemberian dari wanita tadi. Dengan kesungguhan dan tekad yang kuat di wajahnya, Ruby menggosok seprai lebih cepat daripada sebelumnya. Baginya, saat ini, Rubyza Andara hanya ingin menjalani sisa hidupnya dengan mengumpulkan uang dan menjalani hari-harinya seperti orang biasa pada umumnya. Rubyza Andara yang sangat cantik dan dari latar belakang keluarga kaya raya, kini benar-benar sudah mati di hati dan pikirannya. Dia sudah tidak mengenali sosoknya itu. Bagaikan mimpi buruk yang berlalu cepat, tidak nyata dan tidak berharga sama sekali. Sekarang, bisa dibilang dirinya adalah sebatang kara, dipungut oleh Bu Adinda untuk tinggal di rumahnya yang sangat sederhana karena rasa kasihan dan merasa senasib. *** Suatu hari di bulan November. Rubyza Andara sudah bekerja selama hampir 3 bulan sebagai bagian dari tenaga tambahan di sebuah perusahaan jasa layanan kebersihan yang khusus melayani gedung perkantoran di ibukota. Itu adalah pekerjaan yang terbilang cukup stabil dan menguntungkan untuknya. Tidak perlu banyak berinteraksi dengan orang-orang, pun hanya perlu diam selama bekerja. Dengan seragam putih dan masker medis di wajahnya, wanita berambut hitam diikat satu ini menurunkan alat-alat kebersihan ke lantai pintu samping sebuah perusahaan gedung perkantoran megah dan mewah. Semua dinding di lantai satunya terbuat dari kaca tembus pandang. Interiornya pun begitu minimalis, tapi sangat kelas atas dengan luas gedung yang sangat fantastis. Orang-orang yang keluar-masuk pun rata-rata memakai pakaian yang terlihat sangat rapi dan mahal. Mereka terlihat penting dengan wajah-wajah super serius, khas eksekutif elit berkedudukan tinggi. Kata bosnya, ini adalah perusahaan paling terkenal dan diminati oleh banyak pelamar di ibukota. Sekali gajian setahun, bisa membeli sebuah apartemen mewah di wilayah orang kaya dan terpandang. Bagi Ruby yang sudah tidak memiliki ijazah apa pun, hal itu terdengar sangat jauh bagaikan sebuah bintang di langit. Pendidikannya dulu selalu bernilai cemerlang, kini hanya tinggal kenangan. Tidak bisa dibanggakan sama sekali meski memiliki IPK yang terbilang luar biasa. Selembar kertas ternyata sangat menentukan masa depan seseorang. Sunggu lucu, bukan? “Monster kecil, bisa bawakan semua yang ada di troli itu ke dalam? Katanya kita harus membersihkan ruang rapat lebih dulu. Ada rapat penting nanti sore, jadi harus mengutamakan ruangan itu daripada tempat yang lain. Aku lupa membawa penyedot debu khusus kita, jadi harus kembali mengambilnya dulu. Beritahu yang lain, ya, saat mereka sudah tiba nanti.” Seorang pria berseragam putih seperti yang dikenakan oleh Ruby, muncul dari bagasi mobil box putih sambil menyodorkan kemoceng dan alat pel kepadanya. “Baik. Aku akan memberitahu mereka,” balasnya patuh begitu pelan, segera meraih benda itu dan menaruhnya ke dalam troli. Semua karyawan jasa layanan kebersihan sudah melihat wajahnya yang rusak parah, dan untungnya mereka tidak pernah membully-nya gara-gara itu, malah bersikap biasa-biasa saja, meski dia mendapat sebutan monster kecil karena wajahnya yang katanya terkesan unik dengan pesona khasnya. Jika di dalam penjara dulu, Ruby tidak suka dengan sebutan monster yang didapatnya, entah kenapa dia sama sekali tidak keberatan, dan malah suka jika rekan kerjanya menyebutnya demikian. Walaupun mendapat panggilan sebagai monster kecil, sikap dan perlakuan mereka sangat baik dan berbanding terbalik dengan para tahanan jahat sewaktu dirinya masih di dalam penjara. Monster kecil, sebutan sayang mereka untuknya selama ini, seolah-olah ketika mendengarnya, Ruby bagaikan dihujani kasih sayang dan cinta dari mereka semua. Sementara kedua orang ini masih sibuk berbicara di pintu samping gedung megah tersebut, dari arah depan gedung, sebuah mobil hitam mewah meluncur bergerak menuju pintu utama. Di dalamnya, duduk seorang pria tampan dengan wajah dinginnya. Jas hitam mewah dan elegannya terpasang sempurna di tubuhnya yang terlihat kokoh dan berkharisma bak seorang model internasional. “Tuan Huo, malam ini Anda punya jadwal bertemu dengan seorang investor dari Singapura. Apakah Anda ingin memesan restoran mewah kelas atas untuknya?” Aidan Huo yang sibuk memeriksa pergerakan saham di layar tabletnya, membalas dengan nada super dingin kepada sang asisten pria yang duduk di kursi depan, “tidak perlu. Pesankan saja tempat yang biasa. Dia adalah investor tidak punya etika dan sangat suka menjilat. Tidak pantas mendapatkan kemewahan dariku sedikit pun.” “Ah! Begitu rupanya? Baiklah. Akan saya laksanakan sesuai perintah Anda, Tuan Huo.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN