“Papa jahat!”
Kalimat itulah yang terakhir Emma lontarkan pada Andre, sang ayah sebelum akhirnya sebuah mobil menjemputnya untuk meninggalkan rumah dengan barang seadanya menuju sebuah desa yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Bagaimana tidak, Andre begitu berang ketika mengetahui jika Emma, putri bungsunya yang baru saja beberapa bulan lalu menyelesaikan kuliahnya di luar negeri tengah berbadan dua dengan usia kandungan 5 minggu.
Marah, malu, kecewa dan juga hancur menyelimuti pikiran dan perasaan Andre sejak semalam Emma mengakui itu kepadanya. Terlebih lagi ketika Emma mengatakan jika sang kekasih, Elgar tidak bisa ia hubungi dan ia merasa ketakutan. Ia yakin sesuatu terjadi pada Elgar karena tidak biasanya kekasihnya tersebut hilang tanpa kabar terlebih lagi setelah mengetahui jika ia sedang mengandung anak mereka. Emma juga telah berusaha meyakinkan Andre jika sebenarnya Elgar sangat bahagia mengetahui hal tersebut dan berjanji akan menikahinya bukannya malah menghindar seperti yang Andre tuduhkan padanya.
Namun, kini Emma tidak bisa berbuat apapun lagi karena ia tahu kesehatan ayahnya sedang tidak baik- baik saja dan ia tidak mau kehilangan satu- satunya orang tua yang ia miliki lagi.
“Mbak Emily?” tanya seorang pria paruh baya ketika ia turun dari bus yang entah sudah berapa jam membawanya. Dan itupun setelah ia naik pesawat pagi tadi.
Emma mengangguk dan menyeka sudut matanya dengan cepat agar kesedihannya tidak menjadi konsumsi publik orang tak ia kenali.
“Sore, mbak… Nama saya Amat. Saya supir pak Rahman. Disuruh menjemput mbak langsung ke rumah beliau.”
Sekali lagi, Emma hanya mengangguk dengan sopan. Dan mengikuti langkah pak Amat yang terlihat takjub padanya.
“Mbak Emily mirip sekali sama ibu Evania.” ucapnya sambil memasukkan koper bawaan Emma tadi ke dalam bagasi mobil tua yang dikendarai pak Amat.
“Bapak kenal mama saya?”
“Oh kenal. Kenal banget. Ibu Eva adalah orang paling cantik yang pernah saya temui. Wajahnya seperti bangsawan- bangsawan Inggris di film. Persis banget seperti mbak Emily. Waktu itu ibu Eva KKN disini dan bertemu pak Andre disini juga.”
“Oh…” ucap Emma karena ia juga tahu tentang kisah pertemuan kedua orang tuanya.
“Langsung ke rumah pak Rahman aja ya, mbak. Sudah ditungguin disana.”
***
“Sudah sampai, mbak.” ucap Pak Amat sambil keluar dari kursi kemudinya dan nampak sepasang suami istri berjalan cepat untuk mendekati mobil mereka.
Emma kemudian melepaskan kacamata hitamnya dan bersiap turun dari mobil untuk menyapa sang pemilik rumah.
“Halo, Emma… Kamu cantik sekali. Sudah lama sekali kami nggak melihat kamu.” ucap seorang wanita yang dalam tebakan Emma sudah berumur sekitaran 60 tahun. Ia nampak ramah dengan pakaian sederhana namun terlihat resmi dan memeluk Emma dengan hangat.
“Kamu pasti sudah lupa sama kami. Terakhir kami ke rumah kalian itu kamu masih TK.” ujar pak Rahman yang sedang Emma salim saat ini.
“Iya, maaf ya pak kalau saya nggak ingat.” jawab Emma dengan kikuk. Ia memang tidak begitu pandai bersosialisasi dengan orang lain yang lebih tua. Hal yang juga membuat ayahnya cukup sangat kaget saat mengetahui kehamilannya. Karena setahu Andre, putrinya adalah orang yang tidak pandai bergaul dengan orang baru meski pergaulannya dengan sahabatnya bisa dibilang cukup bebas.
“Ya nggak apa- apa toh, mbak. Ayo… Masuk dulu. Udah ditunggiun di dalam.” ucap istri pak Rahman yang merangkulnya untuk masuk ke dalam rumah.
Rumah milik pak Rahman tergolong cukup besar untuk rumah di pedesaan seperti ini. Emma yakin, pak Rahman adalah seorang tuan tanah di kampung ini.
Mereka kemudian memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya sudah ada tiga orang lain yang sepertinya sedang menunggu kedatangan mereka karena langsung serentak bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangan pada Emma.
Seorang wanita yang usianya sekitar 40 tahunan tersenyum ramah dengan menyalami Emma dan begitu pula seorang pria yang Emma yakini adalah suami wanita tersebut.
“Halo, mbak Emily. Saya Ghea, dan ini suami saya.”
“Setyo.” ucap pasangan suami istri tersebut ketika Emma menyambut uluran tangan mereka dengan tersenyum.
“Ng… Emma. Cukup panggil Emma saja.” jawab Emma.
“Dan ini, Tian. Adik dari mbak Ghea.” sahut istri pak Rahman dan membuat seorang pria yang berdiri di pojok ruangan langsung mendekat dan mengulurkan tangannya dengan sedikit kikuk.
“Selamat sore, mbak Emma. Saya Tian.” ucapnya tanpa melihat wajah Emma.
“Sore.” jawab Emma singkat karena pria tersebut juga langsung melepaskan jabatan tangannya dengan cepat dan kembali ke posisi awalnya. Nampak canggung dan salah tingkah yang sangat terlihat jelas.
“Hmm… Kalau begitu, sambil menunggu imamnya datang, kalian ngobrol- ngobrol dulu untuk saling kenal. Kami ada di ruang keluarga.” ucap istri pak Rahman lagi yang membuat mereka semua tersenyum kecuali Setyo.
Sepeninggal mereka semua, Emma dan Tian nampak sama- sama terdiam hingga akhirnya Ghea kembali menampakkan wajahnya dari balik tembok dan memutar kedua bola matanya dengan malas.
“Bastian, kamu nggak mau tuangin minum buat Emma? Dia dari perjalanan jauh loh.”
“Oh… Iya, kak.” jawab Tian yang langsung bergegas pada sebuah teko yang ada di atas meja dan menuangkan segelas air untuk Emma.
“Makasih.”
“Ng… Ini pertama kali mbak—-“
“Emma saja.” sela Emma setelah meneguk air putihnya.
“Kenapa? Kamu nggak suka? Atau gelasnya kotor?” tanya Tian ketika melihat Emma sedikit mengernyitkan keningnya sambil mengamati gelas di tangannya.
“Bukan… Tadinya saya kira ini sirup karena warnanya pink. Ternyata rasanya hambar.”
“Oh… Itu memang hanya air putih. Hanya saja dimasak dengan campuran kayu. Bagus buat kesehatan.”
“Seperti ramuan?” tanya Emma dengan khawatir dan langsung diangguki oleh Tian.
“Tapi tenang… Ini aman untuk kamu.” sambung Tian dengan suara yang ia kecilkan.
Emma terlihat lega dan meletakkan gelasnya ke atas meja dan mendekat pada Tian yang kembali ke posisi awalnya sejak tadi. Yup, di pojok ruangan dekat jendela.
“Kenapa kamu mau melakukan ini? Kamu tahu kan keadaan saya. Saya tidak bermaksud untuk menjebak kamu atau memaksa kamu bertanggung jawab untuk sesuatu yang tidak kamu lakukan. Kalau kamu mau, kita bisa membatalkan ini.” ucap Emma ketika ia berdiri tepat di hadapan Tian meski jarak mereka tidak begitu dekat.
“Emma, saya sudah setuju untuk melakukan ini. Ibu saya dan mama kamu adalah kawan dekat. Mereka sama- sama mahasiswa pertukaran pelajar dari negara yang sama. Selain itu, mungkin ini sudah takdir. Jadi saya bisa apa?”
“Kamu bisa menolak kalau kamu keberatan. Menjadi suami dan ayah dari anak orang yang tidak kamu kenal itu bukan sesuatu hal yang mudah.”
“Kita punya banyak waktu untuk saling kenal nantinya. Papa kamu tadi menelepon, dia minta kamu bersabar dan menjaga kesehatan.” ucap Tian sambil menunduk.
“Apa kamu mau membatalkan pernikahan ini?” sambungnya lagi dan masih sambil menunduk menatap lantai yang ia pijak.
Emma terdiam sejenak.
“Tidak… Kalau begitu, mari kita menikah. Dan sebelumnya saya mau mengucapkan maaf sama kamu. Maaf kamu harus terlibat dalam masalah ini.” jawab Emma dengan sendu.
“Emma, tidak ada orang lain yang tahu masalah kamu. Hanya aku dan pak Rahman juga istrinya yang tahu. Selain itu tidak ada lagi dan mereka tidak perlu tahu.” ucap Tian dengan mengecilkan suaranya.
“Kenapa?”
“Saya hanya mau menjaga kehormatan kamu.”
“Ekhemm… Sudah siap? Bisa kita mulai sekarang?” seru Ghea yang tiba- tiba muncul dengan bersemangat.
“Tentu, kak… Ayo.” jawab Tian yang langsung berjalan ke ujung ruangan sambil menunggu Emma beranjak dari tempatnya.
“Terima kasih, Tian.” ucap Emma ketika melewati Tian yang hanya bisa tersenyum dalam hatinya.