BAB 4: TENTANG DEI

1681 Kata
SELAMAT MEMBACA  ***  Dei baru saja pulang dari kebun, ketika dia melihat ada sebuah mobil di pekarangan rumahnya. Dei tidak tau siapa yang datang, namun firasatnya mengatakan ini ada hubungannya dengan kedatangan daddynya beberapa hari yang lalu dan juga surat yang dia terima kemarin lewat pos. Dei mengamati Al yang sejak tadi berdiri didekatnya, Al mengatakan ingin berkeliling desa dan mengantarkan Dei pulang, meski Dei sudah menolak namun Al tetap memaksa. Dei tidak langsung masuk kedalam rumah, dia memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di teras, karena masih ada Al dia tidak ingin ada keributan. “Pak Al silahkan duduk,” Dei mempersilahkan Al untuk duduk. “Apa tidak papa jika saya duduk disini dan mampir sebentar, sepertinya ada tamu.” “Itu bukan tamu saya Pak, sepertinya tamu Bude.” Al memutuskan untuk mampir sebentar. Mereka berbincang – bincang ringan, mulai dari keseharian sampai kegiatan perkebunan. “Dei tidak ingin mencari pekerjaan lain?” tanya Al. “Tidak Pak, saya sudah nyaman dengan pekerjaan yang ini.” “Kalau Dei mau pekerjaan yang lain, katakan sama saya nanti saya pekerjakan di perusahaan saya di kota, mungkin suatu saat Dei akan berubah pikiran.” Dei tidak menjawab, dia hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. Dia memikirkan untuk perubahan dalam hidupnya tapi bukan menjadi pekerja di kota seperti yang Alvaro tawarkan. Di tengah – tengah obrolan, seorang laki- laki muncul dari dalam rumah, sambil membawa sebuah tas di tangan kanannya dan berpakaian rapi. Al yang melihat tamu yang keluar dari rumah Dei bisa menebak jika dia adalah seorang eksekutif ataupun lawyer di lihat dari pakaian dan kendaraan yang terparkir. Al tau jika mobil yang terparkir di halaman rumah Dei bukan mobil murah. “Ada yang ingin saya sampaikan kepada Nona Vei,” kata laki – laki itu didekat Dei. “Maaf tapi nama saya Dei dan maaf apapun yang ingin Anda sampaikan saya tidak tertarik sama sekali.” Dei mengatakan dengan nada pelan dan teramat datar. “Tuan meminta Nona untuk menandatangani surat ini,” laki – laki itu mengeluarkan sebuah map dari dalam tasnya dan menyerahkan kepada Dei. Dei menerimanya dan membacanya sekilar lalu menyerahkan kembali kepada orang yang memberikan tadi. “Sampai kapanpun saya tidak akan tanda tangan. Silahkan Anda pergi dari sini, saya tidak berminat dengan surat itu.”  “Nona tetap harus tandatangani ini, Tuan besar yang mengatakan saya harus kembali dengan tandatangan Nona disini.” “Saya tidak pernah memungut apa yang telah saya buang,” Dei masih bersikukuh menolah untuk menandatangani map itu. “Nona Dei tidak bisa egois, ini adalah tanggung jawab Nona.” “Anda tidak memiliki hak untuk bersuara disini, saya yang memutuskan dan silahkan Anda pergi sebelum saya melakukan sesuatu.” “Tuan juga berpesan agar Nona mau datang dengan sukarela kepada Tuan, jika tidak Tuan akan memaksa Nona.” “Silahkan Anda pergi.” “Saya permisi, selamat sore.” Orang itupun akhirnya pergi meninggalkan rumah Dei, ketika mobil sudah menjauh dan menghilang di belokan jalan, Dei baru tersadar jika disana masih ada Al yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan. “Maaf ya Pak Al, saya jadi tidak enak.” “Saya yang harusnya minta maaf Dei, saya jadi mendengar pembicaraan penting kalian,” jawab Al dengan sungkan. “Tidak penting, sudah lupakan saja. Mungkin orang salah alamat.” Tentu saja tidak mungkin jika tamu itu orang salah alamat, tapi Al tidak ingin ikut campur sesuatu yang tidak seharusnya dia ketahui. “Ya sudah Dei, sudah sore, saya pamit dulu ya.” “Iya Pak Al hati – hati ya ..” Dei mengantar kan kepulangan Al sampai di teras rumah. Setelah Al pulang Dei masuk kedalam rumah, di ruang tamu ada Sari dan Amir yang tengah duduk menunggu Dei. “Apa Pak Imron sudah pergi Dei?” tanya Tari. “Sudah Bude,” jawab Dei singkat. “Bude sudah bilang kalau Dei tidak menginginkan perusahaan itu, tapi Daddymu memaksa Dei, lebih baik kamu temui daddymu dan selesaikan ini agar tidak berlarut – larut.” “Besok Dei akan menemui Daddy Bude, Dei akan minta Daddy tidak mengganggu hidup Dei lagi.” “Apa mau Pakde temani besok?” kali ini Amir yang berbicara, dia menawarkan diri untuk menemani keponakannya pergi kekota untuk menemui Toni adik iparnya. “Tidak Pakde, Dei ini sudah besar. Dei tau jalan pulang,” jawab Dei sambil tertawa, seolah – olah tidak ada masalah yang menimpa hidupnya, padahal di balik itu semua mungkin tidak ada orang yang berharap menjadi seorang Deidamia. ***** Dei memandang gedung tinggi dihadapannya, sebenarnya dia tidak ingin menginjakkan kakinya di tempat ini. Namun ada yang harus Dei bicarakan dengan orang yang berkuasa di tempat itu. Toni Sanjaya, yang tak lain adalah Daddy Dei sendirilah yang saat ini ingin dia temui. Tanpa mengatakan apapun Dei langsung menuju ruangan dimana daddynya berada. Sesampainya di sana di sebuah pintu bertuliskan Direktur utama, Dei di hadang oleh sekertaris Daddynya. “Maaf Nona saat ini Bapak tidak bisa di temui, beliau sedang ada tamu.” “Saya tidak peduli, jangan halangi saya.” Tanpa mendengarkan apa yang dikatakan oleh sekertaris daddynya Dei langsung masuk kedalam ruangan daddynya. Membuat beberapa orang yang ada disana terkejut dengan seseorang yang tiba – tiba membuka pintu dengan kasar. Dei melihat daddynya tengah duduk di kursi kebesarannya. Tanpa memperdulikan tamu daddynya Dei langsung mendekati kursi daddynya. “Ada yang ingin saya katakan kepada Anda Bapak Toni yang terhormat.” “Apa seperti ini cara mu menyapa daddy setelah lama tidak berkunjung Vei?” Toni menyambut kedatangan putrinya dengan santai. Dia sudah menduga cepat atau lambat putrinya pasti akan mengunjunginya dan benar saja dia berkunjung kekantornya. Toni tau putrinya tidak akan mau menginjakkan kakinya di rumahnya. “Daddy? Apa Anda masih pantas menyebutkan diri Anda daddy saya setelah apa yang Anda lakukan kepada saya?” Dei menjawab dengan sinisnya. “Cukup Vei! Daddy tidak mau lagi mendengar kebencianmu. Daddy sudah meminta maaf jadi katakan ada apa kamu kesini menemui Daddy?” “Jangan ganggu Vei lagi! Vei sudah hidup dengan tenang bersama Bude. Daddy tidak perlu lagi mengusik Vei, kita sudah melakukan ini selama bertahun – tahun dan rasanya Vei sudah mulai terbiasa. Jadi Vei minta Daddy stop mengganggu Vei!!” Dei mengatakan semua yang ingin dia katakana dengan tenang, meski hatinya sangat sakit, namun rasa itu sudah bisa dia kendalikan seiring berjalannya waktu. “Daddy hanya ingin mengembalikan hak Vei, Daddy ingin menebus segala kesalahan Daddy terhadap Vei dan Daddy ingin Vei bahagia.” “Tidak ada hak yang kita bicarakan disini. Hak Vei telah Daddy rampas sejak lama, hak Vei yang Daddy berikan kepada anak sialan Daddy, kebahagiaan Vei sudah hilang sejak lama, sejak Mommy pergi dan itu karena Daddy. Sejak itu Vei Sudah lupa caranya bahagia jadi Daddy tidak perlu repot- repot …” “Cukup Vei!!” Toni mengentikan ucapan putrinya, dia sudah tidak sanggup lagi mendengar kebencian putrinya pada dirinya. “Memang sudah cukup, tidak ada yang ingin Vei katakan lagi. Vei Cuma mau bilang Vei tidak pernah menginginkan harta Daddy sepeserpun, jadi tolong jangan ganggu Vei lagi.” Dei sudah berbalik ingin pergi, namun ucapan Toni menghentikan langkahnya. “Apa sebegitu bencinya kamu kepada Daddy Vei? Apa sudah tidak ada maaf lagi untuk Daddy?” kata Toni dengan lirihnya. “Apa Daddy bisa mengembalikan Mommy, apa daddy bisa mengembalikan masa- masa dimana Daddy mengabaikan Vei dan Mommy, dimana Daddy memilik pergi bersama jalang sialan itu ketimbang datang kesekolah Vei, apa Daddy bisa mengembalikan masa- masa dimana Vei butuh Daddy saat Vei sakit, Vei melakukan segala cara untuk menarik perhatian Daddy, tapi sedikitpun Daddy tidak pernah menoleh kepada Vei Daddy sibuk dengan segala urusan tentang jalang dan anak sialan Daddy …” “Ternyata Daddy melukai mu sebegitu dalamnya Vei.” “Satu yang Vei syukuri, anak sialan Daddy yang telah merampas segalanya sekarang pasti sudah membusuk di neraka dan akan Vei pastikan jalang Daddy pun akan merasakan penderitaan yang lebih kejam dari yang pernah Vei dan Mommy rasakan.” Tanpa menoleh Dei langsung keluar dari ruangan itu dia sudah tidak tahan lagi berlama – lama disana. Jujur saja hatinya masih mengiba berharap semua kembali seperti semula, namun Dei sadar ini bukan cerita fiksi yang segalanya berjalan seperti keinginan kita. Setelah kepergian Dei, menyisakan suasana canggung didalam ruangan Toni. Dua orang tamu yang sejak tadi duduk diam didalam ruangan itu pun tersenyum seperti menemukan sesuatu yang lebih menarik ketimbang pembicaraan bisnis dengan keuntungan milyaran yang sejak tadi dibicarannya. Ternyata tamu yang sejak tadi duduk bersama Toni sebelum Dei datang tak lain adalah Alvaro dan sekertarisnya Ben mantan sekertaris Rey yang sekarang menjadi sekertaris Al. “Saya punya tawaran yang lebih menarik dan menguntungkan untuk Anda Pak Toni.” Toni yang mendengarnya pun merasa sedikit curiga tentang tawaran apa yang diinginkan oleh orang di hadapannya ini. Karena Toni tau gen keluarga Trancargo sangat mengerikan sepak terjang nya di dunia bisnis apalagi di dukung oleh keluarga Collin dan Abhinaya bahkan Adibrata juga berada di orbit mereka maka dapat di pastikan keluarga merekalah yang menguasai roda kepemimpinan di dunia bisnis dan tidak mungkin dengan mudahnya memberikan penawaran tanpa imbalan yang sepadan. “Apa maksud Anda Pak Al?”  “Saya akan memberikan suntikan dana yang sangat besar agar harga saham di perusahaan anda kembali stabil dan saya kan mendapatkan saham – saham anda agar menjadi milik anda kembali dan yang terakhir saya akan memberikan keamanan terhadap perusahaan anda agar tetap stabil.” Jawab Al dengan santainya. Toni yang mendengarnya merasa aneh dengan tawaran yang Di katakan Al, tawaran yang begitu menggiurkan dan tidak mungkin dia sia- siakan, ini menyangkut hidup orang banyak termasuk karyawan-karyawan yang bernaung di perusahaannya, dia tidak mungkin membiarkan perusahaannya bangkrut begitu saja apalagi dia akan memberikan perusahaan itu kepada putrinya, dia tidak mungkin menyerahkan perusahaan bangkrut kepada Dei. “Apa yang anda inginkan Pak Al untuk menukar semua fasilitas yang anda tawarkan?” “Berikan Deidamia kepada saya,” jawab Al dengan santainya. “Apa maksud Anda, dari mana Anda mengenal Vei putri saya?” Toni berusaha menahan emosinya dengan berkata senormal mungkin. “Dari mana saya mengenal Dei itu tidak penting, yang saya inginkan adalah berikan Dei kepada saya dan saya akan menyelamatkan perusahaan Anda.” “TapiDei sudah saya jodohkan dengan orang lain …” “Batalkan! Saya yakin Dei tidak menginginkannya,” Jawab Al lagi. “Tapi ….” Toni merasa ragu ingin melanjutkan kata – katanya. “Pilihannya ada di Anda, saya beri waktu 2 x 24 jam, hubungi saya jika Anda sudah memiliki keputusan. Dan saya harap keputusan Anda tidak mengecewakan saya, karena saya bisa berlaku lebih kejam jika ada yang tidak sejalan dengan saya. Saya permisi …” Alvaro dan Ben keluar dari ruangan itu meninggalkan Toni yang tengah bergelut dengan pemikirannya sendiri. ****BERSAMBUNG****  WNG, 16 DES 2020  SALAM  E_PRASETYO 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN