Kami berkumpul di rumah Kak Salwa. Aku tidak bisa memikirkan Kak Salwa atau apapun selain masalahku. Aku tidak berencana menikah dalam waktu dekat, skripsiku sudah selesai, sidang sudah dijadwalkan dan sedikit lagi cita-citaku tercapai, tapi kemudian semuanya berantakan.
"Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Kak Salwa mendekatiku tiba-tiba. "Sepertinya Meta tidak suka jadi Bibi."
Aku tersenyum lemah. “Kak, bisa Meta bicara berdua, sebentar?”
Kak Salwa menyingkir, sedikit menyeretku dari keluarga lain yang berbahagia. “Kenapa dari tadi kamu seperti tidak nyaman? Dia, bodyguard Kak Neli, bukan? Sekarang, dia seolah menjagamu.”
"Dia..." Kak Salwa mengangguk dan tersenyum manis saat Raihan melihat kami sekilas. "Meta pikir terlalu cepat, tapi dia juga tidak ingin menunggu."
"Menunggu untuk?"
Mata beningnya menghujamku. “Menikah tanpa cinta, apa Meta bisa menjalaninya?”
“Dengannya?!” Kak Salwa sungguh terperangah. “Memangnya Meta kenal dia?” tanyanya lebih pelan.
Aku tidak kenal sama sekali. “Kak Neli kenal. Katanya baik, tapi sepertinya tidak cukup baik bagi Meta.”
“Lalu kenapa kalian ingin menikah?”
“Dia...”
Bang Athan muncul dengan wajah penasaran. “Kenpa kalian berdua di sini?”
“Athan, bisa temani para Mama sebentar?” Bang Athan mengangguk tanpa bantahan, malah menurut dengan wajah bahagia. “Katakan alasan kalian ingin menikah!”
“Meta tidak bisa mengatakannya.”
“Baik. Kakak tanya, apa alasan itu cukup logis?”
“Logis.”
Kak Salwa mengatur napas sambil mengelus pelan perutnya, “Kakak menerima pernikahan dengan Athan awalnya karena ingin berbakti kepada Mama. Apa alasanmu juga sepenting itu?”
Apa sepenting itu? Kalau kami tidak menikah dan ternyata aku hamil. Nama keluarga. Harga diri. Cita-cita. Aku yakin segala hal itu penting.
“Kakak menikah bukan karena keinginan Kakak, tapi setelah dijalani Kakak bisa mengartikan segalanya bukan kebetulam. Allah yang menggariskan seperti ini. Kalau alasan kalian sangat penting, cobalah ikhlas menjalaninya.”
Aku mengangguk lemah, “Terima kasih, Kak.”
“Kamu sudah berbicara dengan Kak Neli?”
“Sudah. Kak Neli tampak ragu Meta cocok dengannya.”
“Allah yang memasangkan hamba-Nya. Kak Neli dan Bang Farhan. Kakak dan Athan. Apa terlihat sangat serasi?”
Aku tersenyum, "Padahal Meta ingin mengasuh bayi Kakak nanti, tapi Meta harus ikut suami kalau sudah menikah."
"Kamu bisa mengurus bayi kalian."
Kuharap aku tidak hamil. Sebulan cukup untuk melihat tanda kehamilan. Tapi kalau menikah hanya sesaat tentu artinya aku akan tetap berstatus janda dan entah apa yang akan keluargaku dan semua orang katakan kalau hal itu terjadi.
"Allah Maha Pembolak-Balik hati. Hati kita berada diantara dua jari-Nya. Sekarang kamu menikah karena alasan, mungkin nanti pernikahan kalian yang menjadi alasan."
"Maksudnya?"
Kak Salwa tersenyum, "Dulu alasan pernikahan Kakak demi Mama, sekarang kalau bertengkar Kakak sering menggunakan pernikahan kami sebagai pengajuan damai. Athan tahu Kakak mencintainya, dan pernikahan adalah alasan bagi kami untuk bertahan dari siapa saja yang ingin memisahkan cinta kami."
Aku terkesima. Sungguh. "Wah, Meta yang ingin menikah, kalian yang kasmaran."
"Maaf, mungkin pengaruh bayi."
"Meta sedikit malu. Raihan usianya jauh diatas Meta. Dia bahkan lebih tua dari Kak Neli."
Kak Salwa menepuk pelan pipiku, "Kamu menikahi lelaki dewasa. Dia juga masih sendiri, bukan? Kakak yakin kasusmu tidak separah Kak Neli yang menikah dengan lelaki lebih muda."
"Tapi Bang Farhan tampak lebih dewasa daripada usianya."
"Raihan juga tidak terlihat sangat tua," katanya sambil main mata.
Entah bagaimana bisa Kak Salwa jadi sedikit berani membahas Raihan. "Apa Bang Athan akan marah kalau Meta cerita ini? Kakak memuji seorang lelaki."
"Jangan. Dia akan merengut sepanjang hari. Itu ide buruk."
Aku mengangguk. Kami kembali ke meja makan. Tapi suasana kini serasa mencekam.
"Meta, jelaskan. Apa maksudnya kamu akan menikah dengan Raihan?" tanya Mama dengan mata lekat kepadaku.
"Ma..."
Kak Salwa berjalan mendekati Bang Athan. "Pernikahan itu sunnah. Itu akan menyempurnakan agama seseorang yang melakukannya. Dan untuk mereka yang saling jatuh cinta, menikah satu-satunya jalan."
Aku tersenyum. Setidaknya aku punya Kak Salwa yang akan membantuku. Pemberontak sepertinya akan selalu didengar, terutama karena saat ini dia mengandung cucu pertama di keluarga kami.
"Kamu yakin jatuh cinta kepadanya?"
Aku malu sekali dengan pertanyaan Papa itu. Jadi aku mengangguk saja meskipun tidak seluruhnya begitu.
"Kamu berharap Papa merestui kalian?"
"Tentu. Apa Papa mau?"
"Tentu saja. Sepertinya dia akan bisa menjagamu." Papa menepuk pundak Raihan, "Bawalah serta keluargamu."
"Raihan seperti Farhan, Oom."
"Kami besar bersama, dan Farhan bisa menjamin dia sangat tepat sebagai saingan Meta. Rumah mereka akan sangat berisik."
Bang Farhan angkat bicara. Cukup mengejutkan bagiku. Dia membela Raihan dan terkesan menertawai rencana pernikahan kami. Seolah aku dan Raihan akan punya kisah yang sangat menghiburnya.
"Abang!" cegah Kak Neli menyikut suaminya yang berbahagia dengan penderitaanku.
"Maaf."
Mama sedikit menghela napas, "Baiklah. Apa Bunda kalian akan datang?"
"Beliau pasti datang. Aku akan menghubungi segera."
"Tidak perlu buru-buru."
Raihan tersenyum, tampak seperti lega. "Apa bisa kami menikah besok?"
"Besok?!"
Dia sudah gila. Semua orang dan termasuk aku tidak menyangka kalau dia benar-benar mengajukan besok sebagai hari pernikahan.
"Besok, tidak ada salahnya, bukan?" tanyanya polos, lugu dan tidak tahu malu.
Aku berdeham, "Rai, kita bisa merencanakannya lebih baik."
"Aku sudah selesai mengurus segala hal. Tinggal aku, Papa dan kamu datang ke KUA besok. Saksi sudah disiapkan."
Kepalaku berdenyut hebat. Entah bagaimana dia melakukannya. Tapi cukup mengesankan, cukup meyakinkan keluargaku kalau kami punya cinta sebelum hari ini.
"Besok, ada yang keberatan?" tanya Papa kepada semua yang hadir. Tidak ada satupun yang mengangkat tangan. "Ah, Papa perlu menghafal ijabnya."
Mereka tertawa, tapi aku tidak. Besok. Rasanya aku ingin lari saja. Rencana pernikahanku yang kupikir akan sangat memukau kini benar-benar mustahil. "Resepsinya bisa menyusul, setelah Meta selesai sidang. Keberatan?"
"Apa itu cukup lama?"
"Tanggal 30."
×××××××××××