Bab 5

1383 Kata
Mas Arsen masih mengendongku menaiki tangga, aku masih menatap wajahnya yang menatap ke depan, datar tanpa ekspresi. Selepas sampai di lantai atas, tanpa bilang apa-apa dia melepas tubuhku begitu saja hingga aku mendarat dengan mulus di lantai. "Aaww!" pekikku kaget. "Lain kali hati-hati jika berjalan, aku tidak mau kamu terluka dirumah ini," ucap mas Arsen sambil berlalu menuju ruang kerja yang ada di antara kamarnya dan Mas Riko. Aku mendengus kesal, bisa-bisanya dia melepasku begitu saja. Ah, setidaknya aku tidak mengelinding di tangga tadi. Aku menekor lelaki yang sudah menjadi suamiku itu masuk ke dalam ruang kerjanya. Ruang kerja yang luas dan nyaman, ada rak berisi buku-buku, dan ada sofa juga didalamnya. Mas Arsen sudah duduk di belakang meja dan terlihat sibuk dengan berkas-berkas. Sedangkan aku memilih duduk di sofa dan sibuk dengan pikiranku sendiri, aku juga tidak mengerti kenapa tadi aku ikut masuk ke ruangan ini. Karena tidak ada obrolan antara kami, akhirnya aku memilih untuk keluar. "Besok saya sudah ke kantor," ucap mas Arsen saat aku sudah sampai di depan pintu. "Aku ikut!" jawabku cepat sambil membalikkan badanku sepenuhnya ke arahnya. "Ikut?" pria di belakang meja itu bertanya heran. "Bu-bukan, maksudnya ikut bareng ke butik. Arah kantor Mas kan melewati butikku jadi aku mau bareng ke sana," jawabku terbata. "Aku tidak ada kesibukan di rumah, lebih baik aku bekerja juga," lanjutku menjelaskan lagi. "Oke," jawab mas Arsen datar. Setelah dirasa tidak ada omongan akhirnya aku keluar ruangan itu dan pergi ke kamar. Lebih baik aku istirahat siang, melepas lelah dan penat di hatiku. *** Dimalam hari kami tidur tanpa drama, Mas Arsen tidur di sisi kanan dan aku di sisi kiri. Tempat tidur ukuran King size itu membuat kami bisa tidur dengan berjarak, dan kami sama-sama tidur dengan tenang. Tidak ada drama tiba-tiba berdekatan atau apapun itu. Pagi harinya kami berangkat bersama, suamiku ke kantornya dan aku ke butik. Tidak membutuhkan waktu lama, kami sudah sampai di depan butik. Aku tidak segera turu tapi malah melamun, apa aku harus berpamitan dan mencium tangannya? Bagimana caranya, selama ini kami tidak pernah sedekat itu. "Ehemm ... Apa kamu tidak mau turun dan akan terus melamun seperti itu?" suara berat itu mengangetkanku lagi. "I-i-itu ...." Aku tidak bisa meneruskan kata-kata. "Cepat katakan! aku bisa terlambat!" "Gak jadi!" sahutku ketus, aku segera keluar dari mobil itu dan berlalu menuju ke arah butik. Dasar laki-laki tidak punya perasaan, biasanya bicara keras dan memerintah. Aku mengomel panjang pendek sambil membuka pintu butik, dan kulihat dia pergi begitu saja dengan mengendarai mobilnya. Sejak kecil aku suka menggambar desain-desain baju, dengan bantuan orang tuaku tanpa kesulitan aku bisa sekolah khusus design dan kemudian punya butik sendiri. Aku memilih membuat dan menjual baju-baju muslimah, meskipun belum berjilbab tapi aku tidak ingin menjual baju yang membuat orang menampakkan auratnya. Papa membuatkan sebuah bangunan berlantai 2 di pinggir jalan dengan ditambah bangunan masjd yang cukup megah di samping. Masjid itu kemudian di wakaf kan dan bangunan ini menjadi butikku sekarang. Komposisi yang sangat pas menurutku, customer tidak akan kesulitan beribadah jika sedang asyik berbelanja dan tiba-tiba sudah waktu masuk salat. Tidak lama setelah aku datang, datang juga ketiga karyawanku. Mereka yang membantuku mengurus butik ini, Ada mbak Ani yang lima tahun lebih tua dariku, dan ada mbak Puji dan Desi yang seumur denganku. "Loh, Mbak, kok sudah masuk kerja aja," tanya Mbak Desi. Mbak Ani segera menyenggol lengan Mbak Desi, mengisyaratkan untuk tidak banyak bicara. Mereka tahu apa yang terjadi di hari pernikahanku karena mereka juga ada di sana. "Gak apa-apa, Mbak, bosan di rumah. Mending di sini ada kalian, jadi rame." Aku menjawab dengan senyuman. Mereka menghambur ke arahku dan memberiku sebuah pelukan, kami berpelukan berempat. Hubungan kami memang tidak seperti karyawan dan bos, tapi seperti teman. Pelukan mereka memberikanku kekuatan meskipun mereka tidak berkata apa-apa. Tidak terasa waktu berlalu dengan cepat, matahari sudah tergelincir di sebelah barat. Terdengar suara mobil berhenti di depan butik. Sepertinya Mas Arsen sudah datang. Tanpa menunggu lelaki itu keluar mobil, aku segera keluar dari butik, aku sudah berkemas-kemas tadi sebelum dia datang. "Mbak, aku pulang dulu yaa, jangan lupa kunci pintunya," ucapku berpamitan pada mereka bertiga. Ucapku ditanggapi dengan acungan jempol oleh mereka bertiga. Aku segera bergegas menuju mobil dan masuk ke dalam, tak ada obrolan diantar kami. Kami berkendara sampai rumah dalam diam. *** Sudah hampir dua minggu kami beraktivitas bersama, Mas Arsen ke kantor dan dan aku ke butik. Tidak ada kemajuan dalam hubungan kami, semua masih sama seperti orang asing. Entahlah sampai kapan akan seperti ini, akupun tidak peduli. Hari ini aku berniat tinggal di rumah saja, berniat menyelesaikan sketsa yang aku buat di ruang kerja Mas Arsen. Sepertinya di sana damai dan tenang akan sangat membantuku. "Mas, aku pinjam ruang kerja sama laptop yang ada di mejamu ya. Aku mau menyelesaikan desain di sana," ucapku pagi itu sebelum lelaki itu berangkat kerja. "Pakailah, tapi jangan merubah posisi apapun disana," ucapnya memperingatkan. Setelah itu dia berjalan ke arah pintu dan pergi, aku memandang punggungnya hingga menghilang di balik pintu. Aku menarik nafas panjang dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, terlihat dompet Mas Arsen tertinggal di atas nakas. Bergegas aku mengambil dan mengejarnya, untung saja pria itu belum naik mobil. "Mas dompetnya ketinggalan." Aku berteriak sambil mengacungkan dompet padanya. Dia yang sudah akan membuka pintu mobil menutupnya kembali dan menungguku menghampirinya. Aku ulurkan dompet padanya dengan tangan kanan saat jarak kami sudah dekat. Dia mengulurkan tangannya mengambil dompet dariku. Seketika tangan kiriku ikut memegang tangannya kemudian aku cium punggung tangan itu. Sepertinya dia kaget, dompetnya terjatuh, bodo amat, yang aku pikirkan sekarang adalah segera meninggalkannya. Aku segera mengambil langkah seribu, masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi. Sampai di dalam rumah, aku langsung ke ruangan kerja, berniat segera menyelesaikan pekerjaan ini. Aku menyalakan laptop Mas Arsen, dan mendownload pekerjaanku yang tersimpan di draf email. Saat membuka file penyimpanan, aku tertarik pada file milik Mas Arsen yang disimpan dengan nama my hobi. Segera aku membuka file itu dengan rasa penasaran. Di dalamnya berisi banyak puisi dan novel. Aku baca satu persatu puisi itu, kok puisi ini adalah puisi-puisi yang pernah dikirim oleh mas Riko padaku, saat merayuku dahulu. Puisi itu adalah salah satu yang membuatku jatuh cinta padanya, aku fikir itu romantis. Apa puisi itu sebenarnya Mas Arsen yang membuatnya. Hatiku berdebar tidak jelas. Setelah membaca puisi-puisi tersebut, aku segera mengupload novel-novel itu ke draf di email. Berniat membacanya nanti di handphone. Aku tidak jadi bekerja dan pergi ke dapur menemui Bi Sumi. Wanita itu sudah bekerja cukup lama di sini, pasti Bi Sumi tahu banyak hal tentang Mas Arsen dan Mas Riko. "Bi, dulu Mas Arsen waktu di sekolah atau kuliah kegemarannya apa?" Aku coba memancing pertanyaan. "Seingat Bibi, dulu Den Arsen suka bikin puisi, Non. Dulu sering menang kalau ikutan lomba. Waktu kuliah mau ambil jurusan sastra tapi sama Tuan tidak di kasih. Tuan memaksa Den Arsen kuliah bisnis." jawab Bi Sumi panjang lebar. "Oh ... Gitu ya, Bi." Puisi romantis-romantis tapi kenapa orangnya dingin kayak es kutub. Aku pergi meninggalkan Bi Sumi di dapur, tujuanku saat ini adalah kamar. Aku ingin membaca novel-novel yang mungkin saja dibuat oleh suamiku itu. Seharian kuhabiskan waktu di dalam kamar karena keasyikan, aku cuma turun untuk makan. Tak terasa waktu sudah sore menjelang Maghrib, tumben mas Arsen belum pulang. Sambil menunggunya pulang, aku memutuskan untuk mandi dan membersihkan diri. Sampai setelah isya, Mas Arsen masih belum pulang, smartphoneku berdering ada pesan masuk dari Mas Arsen. "Aku pulang terlambat" Baguslah dia kirim pesan, setidaknya pria itu ingat punya istri yang mungkin mengkhawatirkan dirinya. Aku masih asik membaca sampai malam sambil menunggu suamiku pulang. Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan keras sampai aku kaget dibuatnya. Terlihat Mas Arsen masuk dengan rambut acak-acakan dan dasi yang dipakainya juga miring-miring berantakan. Aku segera bangun dan mendekatinya "Kenapa mas?" "Kamu harus membantuku," ucapnya dengan suara bergetar. Dia mengunci pintu dan membuka jas dan dasinya, kemudian melemparkannya begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres dengan suamiku ini, aku reflek mundur ketakutan. Tapi dia meraih tanganku dan menarikku dalam pelukannya. "Aku suamimu, aku punya hak atas dirimu," ujarnya dengan nada tertahan. "Iya mas, tapi bukan begini caranya." Aku masih berusaha menyadarkannya. Tapi percuma, matanya sudah diselimuti oleh n*fsu. Dia terus mendorongku hingga aku terjatuh di atas tempat tidur, lantas lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu memposisikan dirinya di atasku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN