Bab 2

849 Kata
"Mas , boleh gak aku ke makam Mas Riko?" Aku bertanya usai kami menghabiskan sarapan. "Tidak! tidak sekarang," jawab pria itu datar. "Kenapa Mas , aku ingin melihat makam Mas Riko sekali saja Mas ." Aku mencoba memaksakan kehendak. "Sekarang ini kamu istriku, kalau aku bilang tidak maka kamu tidak boleh pergi kemanapun." Mas Arsen berkata setengah berteriak dan pergi meninggalkanku sendirian di meja makan. Air mataku jatuh tanpa bisa dibendung, aku harus bagaimana menghadapi semua ini. Aku binggung dengan keadaan ini, aku berharap setidaknya dia mengijinkan diriku untuk pergi ke makam Mas Riko setelah itu akan berusaha menjadi istri yang baik untuknya. "Sabar yaa Non," ucap Bi Sumi yang tiba-tiba sudah ada di belakangku. "Ayo ikut bibi aja lihat tanaman bunga di samping rumah, siapa tahu bisa menghilangkan sedih di hati Non Vira." Tanpa banyak berpikir akhirnya aku mengikuti Bik Sumi, setidaknya di sini ada yang peduli dengan diriku saat ini. Benar, lebih baik aku pergi ke kebun bunga daripada aku harus pergi ke kamar pria galak itu. Kebun di samping rumah ini banyak bunga-bunga yang indah, ada mawar, melati sedap malam dan bunga-bunga yang mengeluarkan aroma wangi lainnya. Bi Sumi terlihat sibuk hendak menyiram bunga. "Sini Bi, biar Vira saja yang menyiram." "Gak usah Non, Non Vira duduk saja di situ biar bibi yang menyiramnya." "Trus ngapain bibi ajak aku kesini jika tidak boleh ngapa-ngapain?" Aku pura-pura ngambek. Akhir bi Sumi mengalah dan memberikan selang air padaku. "Bik, kenapa suasana rumah sepi sekali? Alana juga tidak ada?" Aku bertanya sambil menunggu Bi Sumi menyiapkan selang untuk menyiram. "Setelah acara pemakaman Den Riko, nyonya ngamuk Non. Semua orang diusir dari rumah, bahkan Non Alana juga diusir dan tidak di ijinkan masuk ke rumah karena Non Alana juga mendukung pernikahan Mas Riko. Karangan bunga ucapan belasungkawa juga di obark-abrik sama nyonya, beliau seperti jadi orang lain Non." Bi Sumi terdiam sesaat. "Akhirnya upacara kirim doapun sama tuan minta dipindahkan ke Masjid yang terletak di ujung kompleks sini Non. Itupun bibi yang mengurus semuanya, karena tuan sibuk menenangkan nyonya yang kalap. Makanya semalam saat Non Vira dan Den Arsen sampai, suasananya sudah sepi dan tidak ada siapapun," ujar Bi Sumi mengakhiri ceritanya dan memberikan selang air padaku. Hatiku makin sedih mendengar cerita Bi Sumi, "Apa benar semua ini terjadi karena aku?" bisikku dalam hati. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan kembali, segera ku alihkan perhatianku pada bunga-bunga di depanku. "Hai bunga, selamat pagi cepatlah berbunga aku ingin melihat kalian mengeluarkan kelopak bunga yang indah," ucapku sambil menyirami bunga-bunga yang terhampar di hadapanku. Setelah selesai menyiram bunga-bunga itu aku membereskan selang dan mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Rumah ini cukup mewah dan besar, dikelilingi oleh tembok dan gerbang yang tinggi. Halaman depan rumah dibiarkan tanpa ada apapun untuk memudahkan mobil masuk, dan di samping rumah tempatku berdiri saat ini ditumbuhi berbagai bunga yang menyejukkan pandangan. Pandanganku berpindah ke lantai dua, di atas sana ada balkon yang terhubung dengan kamar kami, saat aku menatap ke balkon terlihat sosok laki-laki yang dingin itu sedang berdiri menatap ke arahku. Apa dia sedang memperhatikan ku? Ah! mana mungkin. Segera aku pergi masuk ke rumah tanpa memperhatikan dia lagi. Aku masuk ke dalam dan pergi ke dapur untuk minum, kemana Bi Sumi, aku tidak menemukan dia di dapur. "Non, disuruh Mas Arsen ke kamar," ucap Bi Sumi yang tau-tau sudah ada di belakangku. "Oh iya bi, terima kasih ya," sahutku lantas bergegas aku ke kamar memenuhi panggilan Mas Arsen. Ku ketuk pintu sebelum masuk ke dalam, aku tidak mau terjadi adegan masuk kamar dalam keadaan dia bertelanjang d**a. Bagus jika seperti dalam adegan novel yang biasa aku baca, masuk kamar suaminya bertelanjang d**a trus terjadi adegan romantis. Tapi yang aku bayangkan jika itu terjadi padaku, suamiku ini akan marah dan berteriak padaku seperti tadi. Setelah aku mengetuk pintu dan menunggu beberapa saat, aku segera membukanya. Terlihat Mas Arsen sedang memindahkan pakaiannya ke sisi lemari sebelah kanan. "Masukkan pakaianmu ke sini," titahnya sambil menunjukkan sisi lemari sebelah kiri. "Papa tidak mau kita tidur terpisah, jadi malam ini aku akan tidur di sini." Pria itu melanjutkan ucapannya "Kita akan tidur satu ranjang, tidak ada drama yang satu tidur di atas yang lainnya tidur di lantai atau sofa," ucapnya lagi. Aku hanya diam menatapnya, "Kenapa laki-laki satu ini demen memerintahkan dan berbicara tegas sih, apa dia tidak bisa berkata lembut pada perempuan?" batinku. "Kenapa tidak menjawab, setidaknya bilang tidak atau iya jangan diam saja!" Mas Arsen berkata sambil menatapku tajam. Air mataku lolos satu persatu, aku sudah tidak tahan lagi. "Apa Mas Arsen tidak bisa bersikap ramah padaku?" Aku berkata dengan bibir bergetar. "Mama sekarang membenciku, Mas Arsen tidak pernah ramah denganku. Bukan hanya kalian yang kehilangan, aku juga kehilangan orang yang aku sayangi. Aku juga butuh dihibur untuk mengurangi kesedihanku," ucapku sambil menangis terisak-isak. "Tidak ada yang menyayangiku di sini, lebih baik aku pergi!" Aku berkata sambil membalikkan badan menuju ke pintu. Saat tanganku hendak meraih handle pintu tiba-tiba Mas Arsen memelukku dari belakang. "Maaf ...." Sebuah kata terucap dari mulutnya. Aku diam terpaku, tidak menduga reaksinya akan seperti ini. Aku merasakan ada da kehangatan dalam pelukannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN