POV ARSEN
"Ayo kita pulang, sepertinya kamu sakit. Badanmu panas," ucapku, aku dapat merasakan suhu badannya lebih tinggi dari suhu badan orang normal saat aku memeluknya.
"Vira tidak apa-apa, cuma badan Vira terasa sakit semua. Lagian Vira tidak ingin di kamar itu dulu." ucapnya menolak ajakanku.
Ada rasa bersalah di dadaku, kami baru pertama kali melakukannya dan itu dengan kekerasan. Apa mungkin itu yang membuat badannya sakit dan demam.
"Kita bisa mengganti semuanya yang ada di kamar itu atau bahkan mengubah semua posisi barang-barang yang ada di sana," sahutku memberikan solusi.
" Tidak perlu, Mas, Vira hanya ingin di sini beberapa hari," ucapnya, kukuh menolak ajakkanku
"Baiklah, tapi aku akan di sini menemanimu."
"Mas Arsen mau tidur dimana? di sini tempat tidurnya tidak sebesar tempat tidur di kamarmu."
"Ya disinilah, ini masih muat untuk kita berdua. Masa aku harus tidur di bawah bareng manekin-manekin itu," ucapku dengan nada tinggi.
Dia reflek menjauhiku karena aku berbicara dengan nada keras.
"Haiss! kenapa aku tak bisa mengerem nada bicaraku" umpatku dalam hati.
Vira pergi meninggalkanku sendirian di kamar, sedangkan aku memilih untuk merebahkan diri di tempat tidur. Mataku hampir terpejam saat perutku tiba-tiba berbunyi, aku kelaparan. Dari pagi memang aku belum makan apapun, aku turun ke bawah mencari Vira.
"Vira, ayo kita makan siang. Kamu belum makan siang kan," ajakku pada wanita yang sibuk di balik meja kerjanya itu.
"Aku gak nafsu makan, Mas," jawabnya menolakku.
"Apa kau akan selalu menolak ajakanku!" Aku berkata penuh penekanan.
Akhirnya dengan enggan wanita itu mengikutiku. Kami pergi mencari restoran yang dekat dengan butik Vira. Kami segera memesan makanan begitu sampai dan memilih tempat duduk yang nyaman.
Saat makan sudah terhidang wanita yang sudah kunikahi itu memakan makanan dengan enggan dan tidak bernafsu.
"Sepertinya kamu benar-benar sakit, apa tidak sebaiknya kita pergi ke dokter," ujarku dengan nada khawatir.
Dia hanya menggeleng kepala menolak ajakanku. Ah, susah sekali mengerti hati wanita.
*****
Karena Vira benar-benar tidak mau pulang akhirnya kami menginap di butik, kami tidur dengan berjarak seperti biasanya. Aku terbangun saat mendengar dia merintih kesakitan, saat kupegang keningnya terasa panas. Keningnya berkeringat dingin tapi badannya sangat panas, aku panik. Binggung, karena selama ini tidak pernah merawat orang sakit.
Segera kucari smartphoneku, baru jam sepuluh malam. Aku segera menghubungi Rian, temanku yang seorang dokter.
"Rian bantu aku, istriku demam tinggi aku tak tahu apa yang harus kulakukan?" Aku berbicara dengan cepat saat sambungan telepon sudah terhubung.
"Kalem bro, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit aja?" sahutnya balik bertanya.
"Dia tidak mau!" jawabku kesal.
"Ya udah kamu dimana, di rumah? aku akan kesana."
"Enggak, aku di butik istriku. Aku share lokasi ya," jawabku kemudian mematikan telepon.
Aku menunggu Rian dengan gelisah, hanya mondar mandir dan sesekali memegang kening Vira yang semakin panas. Sepanas ini kenapa dia tidak bangun juga.
Setelah menunggu lama, akhirnya Rian datang juga. Dia segera memeriksa tubuh Vira yang masih tertidur dengan gelisah.
Setelah memeriksa tubuh iatriku, Rian keluar kamar dan aku mengikutinya.
"Tekanan darahnya tinggi, dan dia dehidrasi. Kamu habis ngapain sama dia?" tanyanya menyelidik.
"Apa maksudmu?" Aku balik bertanya.
"Aku tahu kalau kamu selama ini tidak pernah dekat dengan wanita, tapi kamu harus santai, slow, jangan main lindas kayak buldozer," ucapnya sambil tersenyum usil.
"Ah sialan, Lo" umpatku.
" Terus itu istriku kudu diapain biar cepet sembuh, aku menyuruhmu ke sini untuk mengobatinya bukan memberi nasehat padaku."
"Untuk sementara kompres saja dulu dilipatan-lipatan tubuhnya, setelah itu kamu tebus resep ini," ucapnya sambil menyerahkan kertas resep.
Aku segera menerimanya dan mengantar dia keluar.
"Ya udah, aku pergi dulu. Ingat bro, keep calm," ucapnya menyebalkan.
Setelah Rian pergi aku bergegas mengompres Vira, setelah itu meninggalkannya untuk mencari obat di apotek 24 jam. Setelah sampai di apotek dan mendapatkan obat, segera kupacu mobil dengan kecepatan tinggi agar segera sampai.
Sesampainya di butik, terlihat Vira masih juga belum membuka matanya. Ah bagaimana aku meminumkan obat ini kalau dia masih tertidur begitu, kugaruk kepalaku yang tidak gatal.
Sebuah ide yang tidak biasa terlintas di kepalaku, segera kunyah saja obat itu kemudian aku masukan ke mulut dengan mulutku. Setelah itu aku merebahkan badan disampingnya, sambil terkantuk-kantuk aku menunggu reaksi obat itu. Aku harap setelah meminumnya panasnya akan turun.
Aku terbangun di pagi hari tapi kulihat Vira tidak ada di sampingku, kemana dia? apa dia sudah sembuh? terdengar suara berisik dari arah dapur, mungkin wanita itu ada disana. Aku segera bangun dan ke kamar mandi membersihkan diri.
Saat kembali ke kamar, kulihat Vira sudah duduk di kursi yang ada di balkon kamarnya, di depannya terdapat dua gelas teh dan roti bakar.
"Sarapan, Mas, tapi tidak ada jus. Vira tidak menyimpan alat pembuat jus di sini," ucapnya menjelaskan.
Ah, dia mulai tahu kebiasaanku minum jus di pagi hari.
"Enggak apa-apa, minum teh juga sudah cukup." aku menjawab sambil duduk di depannya.
"Apa kamu masih sakit?" tanyaku basa-basi bertanya.
"Udah gak sakit sih, tapi bangun tidur mulutku pait kayak habis minum obat."
Aku hanya diam tak menjawab ucapannya dan memilih untuk minum teh buatan. Mungkin dia akan marah jika mengetahui aku meminumkan obat padanya lewat mulutku.
****
Hampir dua minggu kami tinggal di Butik Vira, baju-bajuku sudah hampir setengah yang berpindah ke sini diantar oleh supir. Aku merasa sudah cukup sabar menunggu Vira untuk pulang ke rumah.
"Sampai kapan kamu akan trus disini?" tanyaku sore sepulang dari kantor.
"Entahlah ...." jawabnya dengan enteng.
"Kita sudah dua minggu di sini, ini sudah cukup lama Vira. Kamu mau pulang atau aku robohkan saja bangunan ini," ucapku mulai mengancam lagi.
Dia terdiam, kemudian tanpa berkata-kata, wanita itu langsung mengemasi baju-bajuku yang ada di dalam lemari dan memasukkannya ke dalam koper.
"Ayo pulang!" ucapnya dengan ketus.
Aku menarik napas panjang, apa harus selalu mengancamnya supaya dia menurutiku.
***
Sarapan pagi ini sudah terlihat lengkap, Mama sudah mau makan bersama kami di ruang makan, aku berharap wanita yang sudah melahirkanku itu tidak benci lagi pada Vira. Mungkin juga Mama sudah sadar setelah drama obat perangs*ng itu.
"Vira! kenapa sejak tadi Mama perhatikan kamu sering menatap pada suamimu, ada yang salah dengannya?" bentak Mama pada Vira.
"E-enggak ma," jawab Vira terbata.
Aku menatap ke arah Vira, dia duduk di seberang meja di depanku dengan Mama berada di sampingnya, sedangkan aku duduk di samping papa. Dari tadi memang ku perhatikan dia trus menatapku, apalagi saat aku meminum jus. Terlihat wajahnya kecewa saat aku menghabiskannya.
"Udahlah Ma, pengantin baru lagi cinta-cintaannya kali. Kayak mama gak pernah muda saja," sahut papa mencoba bercanda.
"Ck ...." Mama cuma berdecak tidak suka.
Kelakuan Vira makin hari makin aneh, dia sering meminum teh yang belum sempat kuhabiskan di meja kerjaku. Saat aku tidak menghabiskan jus di pagi hari, dia akan minumnya sambil membereskan meja makan, sejak kapan dia suka minum sisa orang.
"Den, neng Vira aneh deh. Masa dia minta bibi memisahkan baju dan jas Den Arsen sebelum diLoundry. Habis itu dicium-cium kayak menikmati gitu, habis itu dipeluk-peluk juga. Sering-seringlah memeluk neng Vira, Den," ucap Bi Sumi meledekku sore itu saat aku pulang kerja.
Untuk membuktikan ucapan pembantu rumah tangga itu, sepulang kerja aku sengaja membuka jaa dan kemejaku, kemudian meletakkannya di tempat tidur. Setelah itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Saat aku keluar dari kamar mandi terlihat Vira dengan nikmatnya menciumi kemejaku, ada apa dengan wanita itu.
***