Prolog

866 Kata
Wilujeng menimang selama beberapa saat untuk menghapus satu foto yang tersisa di ponselnya. Potret dirinya bersama mantan kekasih—Kaivan yang saat itu tersenyum gembira menghadap kamera. Satu-satunya kenangan yang masih ia simpan tentang lelaki muda itu. Sosok lelaki yang sudah mengajarinya banyak hal. Tentang bagaimana mencintai tanpa syarat. Juga tentang bagaimana harus tegar menerima takdir yang membuat air matanya terkuras. Wilujeng mengamati sekali lagi sosok Kaivan yang tersenyum tanpa beban ke arah kamera. Senyum yang selalu membuatnya jatuh hati. Dan mungkin juga untuk sebagian perempuan di muka bumi ini. Mereka memang tidak bisa bersama karena takdir yang seolah mempermainkan perasaan mereka. Tetapi Wilujeng tidak pernah membenci Kaivan. Terlepas bagaimana masa lalu lelaki itu dulu. Bagaimana pun setiap orang pernah melakukan kesalahan, Lujeng memaklumi itu. Tetapi saat ia harus dihadapkan dengan pilihan berpisah atau bersama, sementara ada hati yang terluka karena bersatunya dirinya dan Kaivan, tentu saja sisi kemanusiaan Lujeng berteriak kencang. Jika berpisah dengan Kaivan adalah pilihan terbaik. Demi wanita yang sudah mengandung buah hati lelaki itu dan juga demi puteri Kaivan bersama wanita itu. “Aku dengar kamu udah bahagia, Kai.” Wilujeng bermonolog. Jari telunjuknya mengusap perlahan layar yang masih menampilkan sosok Kaivan. Untuk kali terakhir, ia ingin mengamati wajah itu lebih lama lagi. Untuk kali terakhir, sebelum ia benar benar menghapus semua kenangan tentang lelaki itu. Sudah cukup rasanya waktu satu tahun baginya meratapi perpisahannya dengan Kaivan. Entah mengapa justru Kaivanlah yang sulit ia lupakan ketimbang Bekti. “Elahh, belum dihapus juga tuh foto, Mbak?” Lisa yang tiba-tiba masuk ke kamar Lujeng, tak bisa menyembunyikan rasa herannya. “Kamu ini. Ketok dulu kek kalau mau masuk kamar orang,” sewot Lujeng. “Udah aku ketok-ketok tahu, Mbak aja yang nggak denger.” “Masa sih?” Lujeng tak percaya, karena sejak tadi ia tak mendengar suara apa pun selain suara hatinya. “Makanya kalau ngelamun jangan serius-serius amat. Untung aku yang dateng, coba kalau rampok.” “Apaan si, sembarangan kalau ngomong.” Lujeng memukul Lusi dengan guling yang sejak tadi dipeluknya. “Ih, Bude jahara, mukul-mukul kita ya, Dek.” Lisa berkata dengan dramatis, sembari mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Lebay banget bumil.” Lujeng mencibir. “Sana lah keluar, ganggu aja orang lagi merenung,” usir Lujeng. “Setahuku nih, Mbak, kalau merenung itu untuk hal-hal yang berfaedah. Kalau untuk hal unfaedah, kayak yang Mbak lakuin barusan itu namanya ngebucin. Apalagi ngebucinin suami orang, nggak boleh tahu!” cerocos Lisa. Seperti kebiasaannya selama hampir setahun ini, setelah sah menjadi istri Hendra. “Siapa yang ngebucin sih, Lisa!” Lujeng kembali melayangkan guling ke tubuh Lusi. “Ih, Mbak jahara banget sih, mukul-mukul bumil terus. Aku bilangin ke Bang Hen, lho” “Bilangin sono, nggak takut gue.” “Ah iya, Bang Hen mah, suka ngalah sama Mbak. Kalau gitu aku bilangin ke Kaivan aja deh,” ledek Lisa. Setelah itu setengah berlari wanita itu keluar dari kamar Lujeng, membuat si empunya kamar, mengerang kesal. “Hendra! Nemu di mana sih lo, istri somplak gitu,” teriak Lujeng. “Dulu aja pas belum nikah, kalemnya kayak Puteri Solo. Sekarang giliran dah nikah, kelakuannya MasyaAllah, lebih lebih dari elo!” “Lisa baik lho, Mbak, dah ngingetin kalau ngebucin suami orang tuh nggak baik.” Suara Hendra terdengar menyahuti kalimat Lujeng. “Gue nggak ngebucin, Hen!” “Emang enggak. Tapi gagal move on!” sahut Hendra lagi yang kini diakhiri dengan kikikan bersama Lisa. Wilujeng mengelus d**a, berharap stok sabarnya masih tersisa banyak untuk tahun-tahun ke depan menghadapi sepasang suami istri yang hobi nyinyir itu. Wilujeng kembali mengamati layar ponselnya. Menyentuh ikon pojok kanan. Menimang sebentar untuk meyakinkan diri, jika menghapus foto dirinya bersama Kaivan adalah hal terbaik. Dengan memejamkan mata, setelah memastikan jari telunjuknya tepat berada di atas ikon bertuliskan hapus, Lujeng menyentuhnya dengan sangat lembut. Dan selesai sudah. Bersamaan dengan dihapusnya foto tersebut, Lujeng memantapkan hati jika ia harus mengenyahkan segala yang berkaitan dengan Kaivan. “Cieee … yang ragu-ragu hapus foto mantan.” Kepala Hendra muncul dari balik pintu lengkap dengan senyum jahil menyebalkan. “Hendra, kurang kerjaan banget si lo!” sewot Lujeng, melempar bantal ke arah pintu saking kesalnya. “Mbak, kalau mau ngebucin tuh lihat-lihat dulu cowoknya. Jangan suami orang lain dibucinin. Emang mau jadi the next Renata apa?” Nyinyir Hendra. “Ya Allah, Hen, lo punya mulut nggak pernah di ruqyah apa?” Lujeng akhirnya berjalan ke arah pintu. Bertolak pinggang dengan rasa sewot membumbung tinggi. Ia tak habis pikir kisah cintanya yang berakhir tragis bersama Kaivan justru jadi bahan nyinyiran plus bully-an Adik lelakinya yang kini sudah memperistri Lisa. Hendra cengengesan mendapati wajah sewot sang kakak. Tanpa rasa bersalah lelaki itu justru menyeringai puas telah berhasil memancing amarah Wilujeng. “Karepmu, Hen. Sakarepmu!” teriak Lujeng yang diakhiri dengan bantingan pintu dan tak lupa mengunci, agar tak ada lagi penyusup yang mengganggu momen kegalauannya. Lujeng menatap kembali ponselnya yang teronggok menyedihkan di atas kasur. Layarnya masih menyala, namun kini sudah tidak lagi menampilkan potret dirinya bersama Kaivan. Untuk kali terakhir, Lujeng ingin menangisi kisah cintanya yang menyedihkan. Biarlah setelah ini Lujeng berharap hatinya bisa pulih, dan mampu menerima hadirnya cinta yang baru di kemudian hari.                  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN