Kepergian Nenek

1627 Kata
Mobil Jneifer memasuki dan berhenti di tempat parkir rumah sakit. Hanna membukakan pintu untuk kakeknya. Mereka berjalan bersama menuju ruang ICU, mengikuti langkah kaki kakek yang tidak bisa lagi berjalan cepat. Perlahan tapi pasti, mereka menelusuri koridor rumah sakit dengan membawa rasa rindu dan khawatir pada nenek. Sesampai di depan ruang ICU, kakek dan Hanna langsung melihat ke dalam ruangan melalui pintu kaca.   “Apa yang terjadi?” Hanna terkejut melihat ruangan yang ramai.   “Hanna, nenek kamu kenapa?” tangan keriput kakek menggenggam jari-jari Hanna yang telah dingin.   “Dokter.” Hanna berteriak dan memukul pintu kaca. Air mata gadis itu telah mengalir membasahi wajahnya. Embun bening menghalangi pandangan untuk melihat keadaan nenek. Kakek hanya terdiam dengan menatap istrinya yang sedang dibantu oleh petugas medis.   “Dokter.” Hanna terus memukul pintu kaca. Dia tidak tega melihat tubuh ringkih dan lemah yang diberikan kejutan.   “Hanna, tenangkan dirimu.” Jenifer berusaha menahan tangan Hanna yang telah memerah karena memukul kaca.   “Nenek, nenek,” teriak Hanna memanggil neneknya. Kakek duduk di pinggir pintu. Pria tua itu seakan tahu bahwa belahan jiwanya tidak akan sanggup lagi bertahan.   “Hanna!” Jenifer menggenggam tangan Hanna dengan kuat.   “Nenekku.” Hanna menatap Jenifer.   “Mari berdoa.” Jenifer melihat kakek yang duduk dalam doanya. Dia ingin terus bersama istrinya dalam hidup dan mati, tetapi Hanna akan sendirian dan itu akan lebih menyakitkan.   “Kakek.” Hanna memeluk kakek dan menangis. Tidak ingin lagi melihat kondisi lemah nenek.   “Dokter, tubuh ini telalu lemah,” ucap perawat.   “Kita hanya sedang berusaha.” Dokter ingin melakukan kejutan yang kedua tetapi terhenti karena layar monitor yang telah menampilkan garis lurus dengan nada mengerikan tanda kehidupan telah sirna dan kematian datang menjemput. Tubuh lemah, pucat dan membeku tidak berdaya terkulai lemas di atas ranjang putih.   “Apa, nenek.” Hanna melepaskan pelukan kakek dan berdiri. Dia bisa melihat para perawat dan dokter melepaskan perlengkapan medis yang melekat di tubuh nenek. Jenifer membantu kakek yang kesulitan berdiri. Mata tua itu meneteskan butiran bening. Dia memandangi wajah istri yang tersenyum dalam damai.   “Kamu telah pergi meninggalkan kami.” Kakek tersenyum dalam sedih.   “Tidak akan sakit lagi,” gumam kakek menghapus air matanya.     ‘Nenek.” Hanna tak sanggup melihat nenek tergulai lemah seakan lelah dipaksa untuk bangun dengan tubuh yang renta. Dia menoleh ke arah kakeknya yang terduduk lemas di kursi tunggu di temani Jenifer yang menatap Hanna terdiam dengan air mata penuh membasahi wajah cantiknya. Seorang Dokter keluar dari ruang ICU, menemui Hanna yang masih berdiri di depan pintu.     "Anda harus sabar, tubuh Nenek tidak mampu lagi bertahan." Dokter menepuk pundak Hanna kemudian mendekati kakek dan mengucapkan beberapa kata untuk memberikan semangat kepada Kakek. Dokter berlalu meninggalkan mereka, terlihat beberapa perawat merapikan dan membereskan peralatan medis yang masih melekat di tubuh nenek. Jenifer segera mengirim pesan kepada Juanda, Laura dan Hengky. Ia memberitahukan bahwa nenek Hanna sudah meninggal.   Setelah dibersihkan nenek diantar menggunakan mobil jenazah menuju rumah mereka. Banyak tetangga yang hadir. Kakek dan Hanna berdiam diri di samping nenek, hanya Jenifer yang berkomunikasi dengan para tamu. Hanna benar-benar hancur, wajah sembab dan pucat dengan air mata terus mengalir tanpa henti, ia terus memandangi neneknya yang tidur dengan tenang, wajah pucat dan keriput seakan senyum dalam kedamaian. Mereka mengantarkan jenazah ke pemakaman umum dengan menggunakan mobil rumah sakit. Semua pelayat telah pulang. Hans, Andreas, Hengky, Laura, dan Juanda menatap sedih kepada Hanna yang masih duduk di samping makam nenek bersama dengan kakek.   "Hanna, mari kita pulang, kasihan kakek harus beristirahat." Jenifer menepuk bahu Hanna dan mereka bepelukan. Semua kembali ke rumah. Hanna berada di kamar nenek bersama dengan kakek. Jenifer dan Laura membuat makan siang. Empat orang pria di ruang tamu berbicara tentang pekerjaan, dan obrolan ringan untuk lebih akrab di temani teh hangat dan beberapa cemilan. Makan siang telah siap, Jenifer menuju kamar Hanna tetapi kosong, ia mencari ke kamar kakek, . wanita itu melihat Hanna tidur dalam pelukan kakeknya yang mengusap rambut gadis itu.   “Kek, makan siang telah siap,” ucap Jenifer pelan.   “Hanna, ayo kita makan.” Kakek membangunkan Hanna dengan menepuk pipi gadis itu lembut.   “Hmm.” Hanna tersenyum kepada kakek dengan mata bengkak dan wajah sembab.   “Ayolah.” Jenifer menarik tangan Hanna dan kakek. Mereka bertiga berjalan menuju ruang makan, yang hanya ada empat kursi.   “Halo,” sapa Laura yang telah duduk di kursinya. Wanita itu tersenyum.   “Laura.” Hanna tersenyum.   “Ini adalah masakan aku dan Jenifer.” Laura beranjak dari kursinya.   “Duduklah,” ucap kakek.   “Mari kita makan.” Jenifer duduk di samping Laura. Mereka makan bersama dalam diam. Empat pria tampan telah memesan makanan dari restaurant dan menikmatinya di ruang tamu.   Setelah makan Hanna mengantar kakek ke kamar untuk beristirahat. Ia kembali ke ruang tamu bergabung dengan rekan kerja dan Bosnya. Gadis itu mengucapkan terima kasih kepada mereka semua telah menyempatkan waktu untuk datang ke rumah. "kamu harus kuat, 3 bulan ini kamu ngak ada kerjaan, jadi kamu bisa menemani kakek kamu" ucap Andreas, Hans melihat Andreas.   “Hanna, kamu harus kuat.” Andreas mendekati Hanna dengan memegang bahu gadis itu.   "Kenaoa dia harus menyentuh Hanna?" Hans menatap tajam pada Andreas.   "Terima kasih." Hanna tersenyum dan menghindari Andreas. Dia bisa melihat tatapan cemburu dari Hans. "Hanna, kembalilah ke kamar kamu untuk beristirahat!" Hans menatap Hanna.   “Hans, benar.” Jenifer mengerti maksud Hans. Dia segera menarik Hanna menjauh dari Andreas.   “Terima kasih, Tuan." Hanna tersenyum kepada Hans. Satu persatu tamu pamit pulang agar tidak  mengganggu istirahat tuan rumah yang telah lelah.   "Hanna, aku pulang dulu ya. Sudah dua hari aku di sini." Jenifer memeluk Hanna.   "Iya. Terima kasih, Jeni." Hanna balas memeluk Jenifer.   Rumah telah sepi hanya tinggal dirinya dan kakek. Hanna menutup pintu dan menguncinya. Dia berjalan menuju kamar Kakek dan mengintip dari pintu.  Pria tua itu sedang menatap foto nenek dengan meneteskan air mata. Tanpa sadar air mata Hanna ikut mengalir dan membasahi pipinya. Kakek sangat sedih dan kesepian. Hari-hari bersama dan tidak pernah berpisah, sangat mesra, melakukan semua pekerjaan berdua dalam tawa dan canda kini telah hilang. Sedih dan kehilangan yang dirasakan Hanna tak akan sebanding dengan yang dirasakan kakek.   “Sepi.” Hanna menutup pintu perlahan dan kembali ke kamarnya. Dia membersihkan diri di kamar mandi, menggantikan pakaian, dan duduk di tepi tempat tidur. Ia menatap foto bersama Kakek dan nenek di halaman depan rumah, foto tergantung di dinding dengan ukuran cukup besar. Tidak ada foto ayah dan ibunya, bahkan Hanna tidak tahu wajah orang tuanya. Nenek dan kakek hanya cerita Ibunya adalah putri semata wayang mereka yang pergi setelah melahirkan Hanna, tak pernah kembali lagi. Karena rasa benci Hanna pada ibunya, ia tidak pernah bertanya tentang ibunya lagi hingga saat ini. Nenek selalu berkata ibunya sangat cantik, secantik Hanna.     "Nenek, haruskah aku mencari ibu?" Hanna berbicara dengan foto neneknya. Dia beranjak dari tempat tidur, menuruni tangga dan menuju kamar kakeknya. Ia tidak melihat kakek di dalam kamar. Hanna mencari ke dapur, ruang tamu hingga halaman depan. Akhirnya Hanna menuju kebun belakang, ia melihat kakek sedang menyiram tanaman, Hanna berjalan mendekati Kakek.   "Kakek tidak istirahat?" tanya Hanna.   "Tumbuhan telah banyak yang layu dan bahkan mati." kakek tersenyum sekilas kepada Hanna dan kembali melakukan aktivitasnya. Hanna berjalan menuju kandang ternak, Ia memberi makan ayam dan bebek. Semua perkarangan rumah dari depan hingga belakang telah di pagar tinggi. Terlindungi dari luar agar tidak terganggu dan menggangu tetangga.   "Kakek, haruskah Hanna mencari ibu?" tanya Hanna tanpa melihat kakeknya, sehingga membuat kakek terkejut dan menghentikan pekerjaannya.   "Bagaimana kamu akan mencari ibumu?" tanya kakek yang kembali menyiram tanaman di dekat Hanna.   "Apa yang ibu tinggalkan di rumah ini?" tanya Hanna menatap Kakek.   “Hanya kamu,” jawab Kakek tersenyum.   "Ayo kita masuk ke rumah," ajak kakek yang menyelesaikan pekerjaanya. Hanna mencuci tangannya dan ikut kembali ke rumah.   Mereka menuju sebuah pintu yang ada di bawah tangga kamar Hanna, Kakek mengambil kunci yang tergantung di bawah tangga kayu, dan memberikan kepada cucunya.   “Apa ini?” tanya Hanna dan mengambil kunci.   “Ini adalah kunci pintu gudang,” ucap kakek memegang pintu kayu yang tertutup kain.   “Bukalah,” lanjut kakek.   ‘Baiklah.” Hanna membuka pintu dan memperlihatkan sebuah kamar yang sangat berdebu, tetapi tetap tertata rapi, Boneka, mainan, tempat tidur bayi, lemari, meja belajar, dan banyak lagi peralatan di dalam sana. Hanna dan kakek masuk perlahan ke dalam kamar.   Hanna melihat isi kamar, hingga matanya berhenti pada sebuah lemari kayu sangat besar dengan ukiran unik, terkunci rapat. Gadis itu melihat ke arah kakek yang duduk di kursi meja rias berdebu. kakek membuka laci meja rias dan mengambil sebuah kunci.   “Ini kunci lemari itu.” Kakek memberikan sebuah kunci kecil kepada Hanna yang menerimanya dalam diam. Dia kembali berjalan mendekati lemari besar dan berdebu, perlahan membuka dua pintu lemari. Beberapa pakaian, album foto, map plastik berwarna merah dengan banyak berkas di dalamnya. Hanna mengambil kotak kaca berisi surat, ia menoleh ke arah kakek.   “Apa ini?” tanya Hanna.   “Bawa dan bukalah di kamar kamu,” ucap kakek.   “Baiklah.” Hanna dan kakek keluar dari gudang.   "Besok Hanna akan membersihkan kamar itu," ucap Hanna, ia mengantar kakek kamar.   ‘Ya, tetapi kamu jangan telalu capek.” Kakek mengusap kepala Hanna.   “Hanna masih muda.” Hanna memeluk kakek.   “Aku kembali ke kamar.” Hanna melepaskan memeluk dan kembali ke kamarnya. Dia meletakkan meletakkan kotak kaca di atas meja rias. Merebahkan tubuh di atas tempa tidur dan memandangi langit-langit kamar. Terasa sangat sepi dan sunyi. Butiran bening melewati sudut mata begitu saja membasahi bantal.   “Satu hari tanpa nenek.” Hanna mengusap air matanya. Dia segera beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Hari sudah sore, gadis itu harus mempersiapkan makan malam berdua untuknya dan kakek tanpa nenek.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN