Detik Demi Detik

1944 Kata

Dinda, perempuan itu, sering bercerita padanya tentang kebiasaan suaminya yang mengurungnya di dalam rumah. Sudah sering. Tapi kali ini berbeda. Kali ini Dinda terluka. Berdarah. Sendirian. Dan dikurung. “Ya Allah…” bisik Khayra. Ia menoleh ke arah pintu rumah. Hatinya berdebar kencang. Umminya sedang keluar membeli makan ke warung di ujung jalan, dan itu artinya ia punya sedikit waktu untuk bertindak. Ia tahu, jika Umminya tahu dia keluar dalam kondisi baru pulih, pasti tidak akan diizinkan. Tapi ini bukan soal izin lagi. Ini soal nyawa. Dengan tergesa, Khayra meraih jilbab yang tergeletak di kursi, lalu mengambil tas kecilnya. Napasnya memburu. Ia membuka pintu dengan perlahan agar tak menimbulkan suara. Sejenak, ia menahan napas, menunggu. Tak ada suara. Aman. Namun, ia tidak memesa

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN