Saat hati berkubang dalam kepiluan atas pengkhianatan suamiku, wanita itu menoleh padaku. Sejenak ia terpaku saat pandangan mata kami saling beradu. Kening wanita itu berkerut indah. Ia berjalan menghampiriku seraya menilik penampilanku dari bawah hingga ke atas dengan tatapan mencemooh.
"Who are you?..." Tanya wanita berambut pirang itu setelah sampai di hadapanku.
"Harusnya aku yang tanya! Kamu itu siapa?... Kenapa bisa ada di rumah ini?..." Aku bicara dengan nada suara yang cukup tinggi, meluapkan kekesalan yang kini sedang menyelimuti hatiku. Lucu sekali, wanita asing ini malah mempertanyakan siapa aku yang berstatus sebagai istri dari pemilik rumah ini.
"Aku kekasihnya Aron." jawaban yang keluar dari mulut Wanita ini semakin membuat hatiku berang, "Kau siapa?..." Tanya wanita itu sembari melempar handuk basah ke atas sofa dengan kasar. Ku lirik sofa itu dengan kesal, setiap hari aku membersihkan rumah ini. Namun, dengan seenaknya ia melempar handuk basah di atas sofa.
"Aku istrinya Mas Aron."
"What?..." Pekik wanita itu dengan ekspresi terkejut. Di matanya terlihat kekecewaan dan luka yang sangat dalam serta kemarahan, "Kau jangan berdusta, Aron tidak pernah mengatakan jika dia sudah menikah?..."
"Terserah jika kamu tidak percaya. Itu bukan urusanku." Aku pun beranjak untuk naik ke lantai atas, malas jika harus berdebat dengan wanita yang tak punya urat malu seperti dirinya.
"Wanita tak tahu diri, keluar kau dari rumah ini." Wanita berambut pirang itu menarik tanganku hingga langkahku sempoyongan. Ia juga mendorong tubuhku hingga punggungku terbentur di dinding. Aku balas mendorongnya sekuat tenaga, karena sudah menyakitiku. Doronganku membuat wanita itu jatuh tersungkur di lantai. Ia mengaduh kesakitan karena panggulnya terantuk lantai.
"Keterlaluan kau, dasar wanita murahan." Jerit wanita itu dengan makian. Matanya melotot tajam ke arahku.
"Kau yang harus keluar dari rumah ini. Bukan aku." Aku berteriak dengan kesal karena dia sudah menghinaku.
"Yuka, apa yang kau lakukan?..." Bentak Mas Aron yang baru saja keluar dari arah pantry dengan membawa secangkir kopi di tangannya.
Mas Aron menghampiri kekasihnya, setelah meletakkan kopi ke atas meja. Mas Aron membantu wanita itu berdiri.
"Aron, wanita ini mengusirku. Karena aku tidak mau keluar, dia malah mendorongku sampai jatuh di lantai. Tanganku sakit sekali, pasti terkilir." Wanita itu menangis dengan mimik wajah sendu, tapi sudut bibirnya tersenyum mengejekku.
"Kau sangat keterlaluan, Yuka. Ini rumahku, bukan rumahmu. Kau tak punya hak mengusir Tania dari rumah ini." Mas Aron berucap dengan nada tinggi, sorot matanya begitu tajam mengintimidasi.
"Ya, aku mengerti." ucapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca, tapi mampu mewakili beribu luka yang Mas Aron tancapkan di hatiku.
Tanpa banyak kata, aku berbalik dan beranjak pergi dari tempatku berdiri. Meninggalkan dua pasang manusia yang membuat hatiku meradang akibat luka pengkhianatan. Aku segera menghapus air mata yang jatuh membasahi pipiku. Ku pijakan kaki di setiap anak tangga dengan perasaan hampa. Kata-kata yang keluar dari mulut Mas Aron bagai cambuk yang menguliti harga diriku. Hatiku benar-benar hancur, aku merasa terhina di hadapan selingkuhan Mas Aron.
Aku memesan ojek online, lalu mengambil tas dari atas lemari dan mengeluarkan semua barang dan pakaianku dari dalam lemari. Menjejalkan semua barang-barangku ke dalam tas. Tak lupa ku bawa semua sisa uangku. Tadi Mas Hirka merampas uangku, sekarang wanita asing merampas suamiku. Luka yang belum kering malah di taburi garam.
Aku sudah tak tahan lagi, lebih baik aku pergi daripada terus bertahan di rumah yang terus saja menggoreskan luka di hatiku. Dengan langkah terburu-buru aku keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Suasana di lantai amat sunyi, bagai tak berpenghuni.
Di garasi sudah tak ada mobil pribadi milik Mas Aron. Aku menunggu ojek online di depan pagar rumah. Aku menghela napas berat. Pasti Mas Aron sudah pergi meninggalkan rumah ini bersama selingkuhannya. Dadaku benar-benar sesak, suamiku lebih memilih kekasihnya di bandingkan aku istrinya. Aku sama sekali tak ada artinya di mata Mas Aron.
Aku browsing di internet, mencari kos-kosan yang harganya terjangkau, karena sisa uang yang ku bawa hanya pas-pasan. Terlalu larut dalam kebingungan, membuatku tak sadar jika ojek online pesananku sudah tiba.
"Dengan Mbak Yuka?..." Tanya tukang ojek online berjaket hijau yang usianya sekitar 25 tahunan.
"Iya, Mas." Aku mengangguk pelan.
"Ini helmnya, Mbak." Pria itu memberiku helm.
"Terima kasih," jawabku, lalu naik ke atas motor dan memasang helm di kepalaku.
"Ini mau ke mana, Mbak?..."
"Keliling aja dulu, Mas. Cari kos-kosan. Kalau Mas-nya tahu tempat kosan yang harganya murah boleh juga direkomendasikan, Mas."
"Wah, itu sih saya nggak tahu, Mbak."
"Ya udah, muter-muter aja dulu, Mas. Sambil cari kos-kosan."
Setelah adzan magrib, aku sholat di masjid. Menjelang isya' Alhamdulillah aku menemukan kos-kosan dengan harga murah yang besarnya hanya satu petak, dengan kamar mandi luar. Meski ukurannya terbilang kecil, tapi cukup bersih dan terawat.
***
Satu minggu sudah berlalu, selama itu pula aku tak pergi ke restoran untuk bekerja. Aku mendapat pesan dari Mbak Sulis. Ia bertanya kenapa aku tidak bekerja!... Aku mengatakan pada Mbak Sulis jika aku sedang sakit. Aku tidak berbohong, aku memang sedang demam dan meriang.
Sejak aku pergi dari rumah, tak ada satu pun panggilan telepon atau pesan dari Mas Aron untuk bertanya kabar tentang aku. Kini semakin jelas posisiku di matanya.
"Yuka, tadi Pak Aron cari kamu." k*****a pesan yang di kirim oleh Andin.
Aku tersenyum membaca pesan Andin yang kepo. Aku segera menulis pesan, lalu mengirimnya pada Andin. Aku jadi penasaran kenapa dia mencariku, "Kenapa Pak Aron mencariku?..."
"Nggak tahu." Balas Andin lagi.
"Terus?..." Aku mengirim pesan lagi, tak lupa memasang emoji tersenyum.
"Aku jawab saja kalau kamu sedang sakit, makanya kamu nggak masuk kerja. Terus dia langsung matiin telponnya."
"Gitu doang?..."
"Iya."
"Oh," balasku pada Andin.
"Oh, doang?... Pasti ada udang di balik batu antara Pak Aron sama kamu. Ayo ngaku!.." Andin mengirim pesan dengan emoji marah.
Saat aku hendak membalas pesan dari Andin, pintu kosanku di ketuk dari luar. Aku pun beranjak dari kursi lantai dan berjalan menuju pintu. Begitu pintu ku buka, ternyata Mas Aron yang datang berkunjung.
"Sudah waktunya kamu pulang," ucap Mas Aron tanpa basa basi.
"Aku nggak mau pulang. Di sini jauh lebih nyaman." Bagiku, tinggal di kosan ini lebih damai dan tentram, tak ada siapapun yang mengintimidasi diriku.
"Kalau begitu, aku juga akan tinggal di sini." Mas Aron seenaknya membuat keputusan secara sepihak.
"Nggak boleh. Ini kosan putri, nanti ibu kos bisa marah." Aku menghadang pintu.
"Kita suami istri, nanti aku yang akan izin pada ibu kos." Mas Aron membuka sepatunya, lalu menggeser tubuhku supaya dia bisa masuk ke dalam kamar yang hanya berukuran 3m x 3m. Mas Aron langsung tidur di atas kasur lantaiku yang kecil. Aku berdiri di depan pintu. Menatapnya dengan nanar, karena ia menguasai tempat tidurku. Kalau dia tidur di sana, lalu aku tidur di mana?...
"Kemari 'lah. Kenapa malah berdiri di situ." Mas Aron memanggilku.
Aku pun duduk di lantai dan bersandar di bingkai pintu yang terbuka.
"Angin apa yang bawa kamu kemari, Mas?..."
Mas Aron beringsut duduk. Ia menatapku dengan ekspresi datar, "Andin bilang kamu sakit?..."
"Apa pedulimu!..."
"Jelas aku peduli, karena kau istriku, masih tanggungjawabku."
Aku hanya bisa tersenyum kecut. Apa dia lupa bagaimana cara dia memperlakukanku. Terang-terangan berselingkuh di depan mataku. Sekarang dia berkata layaknya orang yang sangat bijak. Apakah Mas Aron memiliki kepribadian ganda!...
"Sejak kapan kamu menganggapku istri, Mas?..."
"Sebaiknya kamu pulang, Bunda mencarimu."
Aku tersenyum getir. Baru saja aku terlena atas kehadiran Mas Aron. Ku pikir ia menyesal dan mengkhawatirkan aku. Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Ternyata dia kemari hanya karena Bunda yang mencariku. Air mata mulai bertumpuk, aku membuang muka ke luar pintu. Menengadahkan kepalaku ke atas, supaya air mataku tak jatuh.
"Sebaiknya kita cerai saja, Mas. Aku udah nggak tahan lagi jadi istri kamu. Aku tertekan, Mas. Hatiku sakit banget. Kamu selalu bersikap semena-mena. Kamu memperlakukan aku nggak adil." Dadaku terasa sesak. Hatiku terlalu sakit. Air mataku mulai jatuh tak tertahan. Namun, segera kusapu.
"Kamu lebih peduli sama wanita lain, padahal aku ini istrimu, Mas. Kamu kemari juga karena Bunda yang cari aku, kamu kemari bukan karena kamu peduli sama aku. Aku janji bakal balikin uang ayahmu, asal kamu ceraikan aku." Aku berucap dengan suara terisak dan bibir bergetar. Aku tak mampu menahan air mata yang terus berdesakan keluar. Pengkhianatan suamiku sudah menggores luka yang sangat dalam di dalam d**a.
Padahal sudah ku coba untuk tegar, tapi aku terlalu rapuh. Rasa sakit di duakan sangat menyiksa batinku. Mas Aron menatapku yang menangis terisak. Aku tak dapat membaca arti tatapan matanya. Entah apa yang dia pikirkan!...