POV YUKA
Mas Aron kembali dengan wajahnya yang basah. Ia pun melakukan sholat malam. Sedangkan aku pura-pura tidur. Setelah beberapa saat berlalu, aku merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangku. Mas Aron memelukku dari belakang dengan posesif.
"Maafkan aku." Mas Aron berbisik di telingaku, lalu mengecup pelipisku cukup lama.
***
Setelah pukul 6 pagi, aku pulang ke rumah Mas Aron. Sepanjang perjalanan pulang, kami sama-sama diam seribu bahasa. Apa yang terjadi di dini hari tadi, masih membekas jelas di ingatanku. Bahkan, sapuan bibir Mas Aron masih terasa hingga saat ini. Bayangan itu terus saja berkelebat di depan mata. Apalagi, setelah kejadian itu, Mas Aron memelukku dengan posesif.
"Apa bisa kamu berhenti bekerja?..." tiba-tiba Mas Aron bersuara, memecah keheningan yang sejak tadi terasa mencekam di dalam mobil.
"Aku mau kerja hari ini, Mas. Nggak enak sama karyawan yang lain kalau libur terlalu lama." aku berusaha bersikap biasa saja. Seperti dirinya yang biasa saja, setelah merampas ciuman pertamaku. Semangatku untuk bekerja kembali terpacu. Aku ingin segera mengumpulkan uang supaya bisa terbebas dari pernikahan yang hanya memberi luka di hatiku.
"Libur saja, dulu. Kamu baru sembuh." Mas Aron berucap dengan ekspresi yang lembut, tatapannya masih lurus, fokus pada jalanan depan.
"Nggak apa-apa. Aku sudah sembuh dan sehat, Mas."
"Masih berani kamu menentang perintahku?... Apa ciuman itu tidak membuatmu jera, Yuka Khairunnisa?... Atau kau ingin kita mengulangnya lagi di rumah?..." Mas Aron berucap dengan suara yang lembut.
"Jangan, Mas. Aku libur hari ini!..." jawabku cepat. Aku tak ingin kembali menyulut emosinya, bisa-bisa dia akan merugikan aku, dan memaksaku lagi.
"Bagus."
Dari sudut mataku, terlihat Mas Aron tersenyum kecil. Entah apa yang sedang dia pikirkan! Apakah dia senang sudah bisa mengekang ku?... Atau ia senang sudah berhasil menciumku?...
Kami mampir ke restoran sebentar untuk mengisi perut kami yang kosong.
***
Setibanya di rumah, Mas Aron menyuruhku untuk meminum obat, lalu beristirahat di kamar. Sementara dirinya merapikan pakaianku ke dalam lemari, dan menata satu persatu barang-barangku dengan rapi. Aku hanya mengawasinya di atas tempat tidur. Karena ini adalah perintah darinya. Aku tidak mau membangkang perintahnya lagi.
Setelah selesai merapikan semua barang-barangku. Mas Aron duduk di tepi ranjangku, lalu membelai kepalaku dengan lembut. Sementara, aku tetap memejamkan mata, pura-pura tidur.
"Kamar kamu sudah selesai aku bereskan. Aku akan keluar sebentar. Jangan coba-coba kabur dariku. Karena aku bisa menemukan kamu, di mana pun kamu bersembunyi!... Aku tahu kamu cuma pura-pura tidur." bibir Mas Aron berlabuh di keningku. Kecupan itu membuat hatiku menghangat. Aku berharap, dia akan berhenti bersikap kasar lagi padaku.
Aku tetap memejamkan mata meskipun Mas Aron tahu aku pura-pura tidur. Setelah mendengar suara dentuman pintu, barulah aku membuka mata. Akhirnya aku bisa bernapas lega, berada di dekatnya hanya membuat dadaku sesak saja.
***
Yang awalnya hanya pura-pura tidur ternyata malah benar-benar tidur. Tanpa terasa waktu cepat berlalu. Matahari mulai terik, sinar sang surya masuk lewat celah-celah jendela, menembus gerai tabir. Cahayanya menyilaukan mataku.
Perutku terasa keroncongan, saat ku lirik jam beker di atas nakas, waktu sudah menunjukkan angka 10. Ternyata sudah cukup lama aku tertidur. Aku turun dari ranjang, pergi ke dapur untuk mencari makanan.
Ku angkat tudung saji. Di bawah tudung saji tidak tersedia makanan apapun. Ku buka kulkas, hanya tersedia telur mentah. Ku buka Magicom, juga kosong. Mas Aron memang tidak bisa di andalkan. Aku tak pernah melihat Suamiku itu memasak.
Dari arah dapur, aku mendengar derap sepatu yang mengetuk lantai. Pasti itu Mas Aron. Ku pikir dia belum kembali. Aku pun keluar dari dapur saat derap langkah itu terdengar semakin dekat.
Deg ...
Jantungku hampir mencelos keluar saat Mas Gerry tiba-tiba muncul di hadapanku. Di tangannya ada seikat bunga. Aku pun menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Mas Aron.
"Astagfirullah ... Mas Gerry ngapain ke sini?..." tanyaku panik. Aku takut berduaan di dalam rumah bersama pria asing. Meski aku percaya, Mas Gerry tak akan berbuat macam-macam padaku. Namun, aku takut dengan adanya fitnah dan kesalahpahaman. Aku melangkah ke arah pintu keluar. Takut kalau-kalau Mas Aron belum pulang dan aku hanya berdua dengan Mas Gerry di rumah.
"Kata Aron, Kamu sedang sakit. Makanya, aku ke sini jenguk kamu," jawab Mas Gerry sembari mengulurkan Seikat Bunga Mawar Merah padaku. Aku pun menerimanya hanya karena sebatas rasa tak enak hati. Mas Gerry sendiri berjalan di sisiku.
"Mas sebaiknya kamu cepat pulang. Mas Aron nggak ada di rumah." aku ingat betul larangan keras Mas Aron jika aku tak boleh membawa pria asing masuk ke dalam rumah. Aku tak ingin memancing emosinya lagi.
"Kamu santai aja, Yuka. Aku udah biasa kok, keluar masuk rumah ini." Mas Gerry terlihat santai mengikuti diriku.
"Lalu di mana Mas Aron sekarang?..." tanyaku dengan suara gusar sembari melangkah ke arah pintu keluar.
"Tadi, dia sedang bersama Tania, kekasihnya?..." jawab Mas Gerry dengan ekspresi sedih. Sontak aku menghentikan langkah kakiku.
"Jadi benar, kalau Mas Aron punya kekasih?..." tanyaku dengan hati yang teramat nyilu.
"Iya. Mereka udah lama pacaran, tapi saking sayangnya Aron sama Bundanya, Aron terpaksa menerima perjodohan yang di pilihkan oleh Tante Rindu dan Om Ashraf. Maaf kalau aku harus jujur. Aku cuma tak ingin kamu terlalu berharap banyak pada Aron."
"Tapi, kata Mas Aron!... Tania itu cuma sepupunya!..." tanyaku ragu-ragu. Namun, aku sangat penasaran dengan hubungan mereka yang sebenarnya.
"Terus kamu percaya gitu aja!..." Mas Gerry menatapku dengan iba. Jujur, aku sangat malu di kasihani olehnya seperti ini. Apakah pria yang taat beribadah seperti Mas Aron bisa melakukan hal tercela seperti itu. Padahal, aku sempat terharu dengan perlakuannya yang lembut beberapa saat lalu.
"Ayo 'lah Yuka, mana ada maling yang mau ngaku." pernyataan Mas Gerry membuat hatiku berdenyut nyeri. Dadaku terasa sesak bagai di remas-remas. Setelah tadi ia merampas ciuman dariku, sekarang ia malah menemani wanita simpanannya. Hati wanita mana yang tak sakit hati di perlakukan seburuk ini!... Aku dan Mas Gerry sama-sama membeku, larut dalam pikiran masing-masing.
"Yuka." panggilan Mas Gerry membuatku terkejut, apalagi ia menggenggam tanganku. Aku pun langsung menarik tanganku.
"Mas, sebaiknya kamu cepat pulang, sebelum Mas Aron pulang. Kalau dia tahu kamu ke sini, pasti dia akan marah." Aku berucap dengan suara memelas.
SRAAAAKKK ...
Aku terperanjat kaget saat melihat Mas Aron berdiri di bingkai pintu. Mas Aron melempar kantong plastik yang ada di tangannya. Bubur ayam pun meluber dari wadahnya, berhamburan ke atas lantai.
Tatapannya sangat tajam tertuju pada seikat bunga yang ku peluk. Ia pun melangkah dengan mantap ke arahku, lalu merampas bunga di tanganku dan melemparnya ke d**a Mas Gerry. Belum puas dengan itu, Mas Aron menendang bunga yang sudah rusak itu hingga terlempar jauh. Mas Aron mencengkram kerah kemeja Mas Gerry dengan kuat, hingga tubuh Mas Gerry terangkat.
"Kalau kau butuh w************n, jangan datang pada wanita yang sudah bersuami. Carilah wanita di rumah bord!l Banyak wanita sampah yang bisa kau tiduri di sana. Sekali lagi kau mendekati istriku, aku akan lupa jika kita pernah bersahabat." Mas Aron meraung, matanya sudah merah karena luapan amarah.
"Ron, Aku cuma mau jenguk Yuka." Mas Gerry berucap dengan lirih, ia terlihat kesulitan bernapas.
"Mas, sudah berhenti, kamu keterlaluan." Aku menarik lengan Mas Aron supaya membebaskan Mas Gerry. Aku takut sekaligus kasihan melihat Mas Gerry di perlakukan seperti itu.
"Kalau kau butuh belaian laki-laki, aku pun bisa memberikannya padamu. Tak perlu kau mengundang laki-laki ke rumah ini. Apa lagi untuk berzinah di rumahku." Bukannya menyelesaikan masalah, Mas Aron semakin marah padaku, memakiku dengan suara lantang. Teriakan Mas Aron menggema di dalam ruangan. Ia menyeret Mas Gerry hingga langkahnya terhuyung-huyung, lalu mendorongnya keluar dari rumah dengan kasar.
"Enyah kau dari hadapanku, sebelum aku benar-benar melenyapkanmu." Mas Aron kembali berteriak.
"Mas, kamu salah paham." aku berusaha membela diri, karena aku tak merasa melakukan hal tercela yang Mas Aron tuduhkan.
"Salah paham kau bilang!..." Mas Aron berteriak dengan lantang. "Dengan mata kepalaku sendiri, kau berpegangan tangan dengan sahabatku, lalu bunga apa ini." Mas Aron berucap dengan mata berapi-api, kakinya menginjak bunga yang tadi terlempar di ambang pintu.
"Aron, jangan kasar padanya, kamu cuma salah paham!... Yuka tidak pernah mengundangku, aku sendiri yang datang padanya." Mas Gerry berusaha membelaku.
"Sudah ku katakan berulang kali, jauhi istriku dan jangan pernah ikut campur dalam urusan rumah tanggaku." Mas Aron kembali meneriaki Mas Gerry.
BRAAAKK
Mas Aron membanting pintu dengan keras, lalu menguncinya.
"Mas lepasin." Aku menjerit ketika Mas Aron menarik tanganku, kakiku terseret karena tak bisa mengimbangi langkahnya yang panjang.
"Aku sudah mencoba bersikap baik padamu, tapi apa balasanmu!... Kau mengkhianati kepercayaanku." Mas Aron melangkah dengan pasti, tatapan matanya fokus pada pintu kamar. Mas Aron membuka pintu dengan menendangnya. Ia membawaku masuk ke dalam kamar, mengunci pintunya dari dalam. Aku mulai was-was dan takut. Ia kembali menyeretku, kemudian menghempaskan tubuhku hingga aku terlempar ke atas ranjang.
"Mas, kamu mau apa?..." Aku panik dan beringsut mundur saat Mas Aron membuka kaos dan sabuk pinggang yang ia kenakan.
"Wanita sepertimu harus di beri pelajaran." Mas Aron menatapku dengan dingin.
"Aku nggak mau, Mas. Aku nggak mau." Aku turun dari ranjang dan berlari ke arah pintu. Aku tidak sudi di jamah olehnya setelah ia menyamakan aku dengan w************n. Baru saja ku pegang handle pintu, Mas Aron sudah berhasil menangkapku.
"Lepasin aku, Mas. Kamu cuma salah paham." Ia menarik pinggangku, lalu menggendongku seperti menggendong karung beras. Membuat kepalaku terjungkir ke bawah. Kaki dan tanganku terus memberontak. Aku memukuli punggung Mas Aron.
"Tolong lepasin aku, Mas."
Mas Aron kembali melemparku ke atas ranjang. Saat aku sadar, Mas Aron sudah berada di atasku, sedetik kemudian menyambar bibirku.
Aku terus memberontak. Namun, dia mencengkram kedua tanganku dengan kuat. Membuatku tak dapat berkutik. Ku gigit bibirnya dengan kuat, aku merasakan asing darah di lidahku. Saat Mas Aron lengah, aku berhasil melepaskan tanganku. Reflek, tanganku terayun ke pipinya.
PLAAAKKK
Mas Aron memegangi pipinya yang merah. Ia menatapku nanar. Matanya merah, pipinya juga merah, membentuk 5 jari telapak tanganku. Bibirnya pasti berdarah karena gigitanku.
"Wanita kurang ajar, berapa aku harus membayarmu supaya kamu mau melayaniku, hah!... Katakan, katakan berapa hargamu? Berapa Gerry membayarmu, hah?..." Mas Aron kembali meraung, menatapkh penuh dengan kebencian.
"Aku istrimu, Mas. Bukan p*****r. Aku pernah datang padamu, tapi kamu malah menolakku dan menghinaku. Andaikan kamu nggak kasar, mungkin aku mau melakukannya." Ku luapkan emosi yang saat ini merajai hatiku. Kini, semakin kuat tekadku untuk lepas darinya.
"Aaagghh ... Sialan." Mas Aron memukul ranjang dan pergi dengan gusar. Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang kian menjauh.
Aku tahu tugasku sebagai seorang istri harusnya melayaninya, haruskah aku melayani suami kasar dan arrogant sepertinya. Suami yang terus-menerus menjatuhkan mentalku, serta menghinaku.
***
POV ARON
Aku terbawa emosi saat melihat Yuka dan Gerry sangat mesra. Diam-diam mereka masih menjalin hubungan di belakangku. Hatiku benar-benar mendidih, aku merasa di khianati. Ku pikir Yuka mau berubah dari masa lalunya yang kelam. Ternyata dia hanya wanita munafik, yang bersembunyi di balik kerudungnya.
Setiap hari melihat Yuka rajin beribadah, membuatku mulai merubah cara pandangku pada Yuka. Apalagi, saat melihat Yuka yang sakit, bahkan tak mampu berdiri dengan tegak, ia masih mau menjalankan ibadah sholat. Aku salut dan bangga padanya. Ku pikir dia memiliki tekad yang kuat untuk berubah.
Ciuman yang ku lakukan pada Yuka, awalnya hanya untuk menggertakkannya. Namun, ciuman itu malah terus membuatku kepikiran dan terbayang-bayang. Mungkin karena itu adalah ciuman pertamaku.
Ku coba memperbaiki hubungan kami, mungkin selama ini aku sudah terlalu kasar padanya. Setelah pulang dari kantor ayah, aku buru-buru pulang ke rumah, takut Yuka terlalu lama menungguku. Tak lupa aku membeli bubur ayam sebagai oleh-oleh untuk Yuka makan siang. Namun, apa yang ku lihat!.. Yuka malah bermesraan dengan Gerry.
FLASH BACK ON
Aku adalah pekerja keras. Aku suka dengan dunia bisnis. Hingga aku tak memilki daya tarik untuk menjalin hubungan istimewa dengan lawan jenis. Aku hanya mau menjalin hubungan kerja dengan wanita, selebihnya aku menolak.
Aku punya sahabat, dia bernama Gerry, dia sering menawarkan aku wanita-wanita nakal. Namun, selalu ku tolak. Aku jijik dengan wanita seperti itu.
Pernah aku pergi ke luar negeri untuk menggantikan Ayah yang akan menjalin hubungan kerja sama bisnis dengan perusahaan asing. Aku pergi ke luar negeri bersama Gerry. Gerry selalu memberikan ide yang fresh untuk perusahaan ayah.
Aku dan Gerry menginap di hotel dan di kamar yang sama. Setelah tugas dari Ayah selesai, keesokan paginya aku jalan-jalan seorang diri, meninggalkan Gerry yang masih tertidur pulas di ranjang.
Menjelang siang hari, aku kembali ke kamar hotel. Gerry masih tidur di atas ranjang, bertelanjang d**a. Bagian bawahnya ia tutupi dengan selimut.
Aku sangat lelah dan ingin mandi. Ku buka pakaian dan mengambil handuk untuk menutupi tubuhku. Tak sengaja ku lihat gaun wanita yang warnanya senada dengan bedcover tempat tidur dan high heels berwarna putih senada dengan warna gaun tersebut tergeletak di atas lantai.
Ceklek ...
"Astagfirullah ..." Aku beristigfar begitu kamar mandi terbuka, ku lihat sosok wanita cantik tanpa sehelai benang pun. Terdapat banyak tanda merah di tubuhnya. Gerry terbangun dari tidurnya dengan gelagapan. Aku menutup mata dan juga da"ku yang polos.
"b*****t kau, Gerry. Suruh wanita ini keluar." Aku berteriak kesal setengah mati. Bisa-bisanya dia membawa wanita di kamarku.
"Sekali-kali bersenang-senang lah, Ron. Hidupmu terlalu kaku. Hal itu membuatmu selalu bersikap arrogant." sahut Gerry dengan santai.
"Hey, Sayang. Jangan sok jual mahal begitu." suara wanita itu terdengar menggoda. Bukan tertarik, aku malah semakin jijik. Reflek ku dorong wanita itu hingga tersungkur di lantai karena berani menempelkan tubuhnya padaku.
"Berani sekali kau menyentuhku dengan tangan kotormu yang menjijikkan itu." Semenjak kejadian itu. Aku sangat membenci para wanita malam. Aku sangat membenci mereka.
***
Sampai suatu hari, Ayah dan Bunda memaksaku untuk menikah. Bunda sampai menangis karena aku terus menolak. Aku pun akhirnya mengabulkan permintaan Bunda. Aku merasa masih kurang mampu menjalani pernikahan. Mengingat sifatku yang mudah marah dan meledak-ledak. Hanya pada Bunda aku mampu mengendalikan emosiku.
Hatiku sama sekali tak tertarik dan tak tergerak untuk melihat seperti apa wajah calon istriku. Karena aku pasrah atas permintaan Bunda, asal Bunda bahagia.
Aku membantu Papa dan Gerry yang sibuk memperebutkan tender di perusahaan. Berkat kerja keras, kami pun berhasil memenangkannya.
Aku dan Gerry merayakan kemenangan kami dengan bermain golf. Lagi-lagi Gerry menunjukkan foto seorang wanita.
"Ron, cantik 'kan!..."
"Cantik," jawabku singkat dan kembali memukul bola dengan stik.
"Belum di lihat udah bilang cantik. Dia mantan pacarku sangat murahan, di beri uang 500 ribu saja, dia sudah mau ku tiduri. Lihat dulu wajahnya, sebentar saja. Udah berkali-kali ku ajak dia kelon."
"Berisik. Kau tahu sendiri aku benci pelac*r." Aku memelototi Gerry.
Karena tak mau melihat, Gerry malah mengirim foto wanita itu ke nomor WA ku.
***
1 Minggu kemudian, akad pernikahan pun di mulai. Semuanya berjalan sangat cepat hanya dalam jangka 1 bulan setelah aku menyetujui perjodohan ini. Pernikahanku di segerakan karena Ayah bilang takut aku berubah pikiran. Pernikahan di lakukan di rumah Ayah. Karena pesta di selenggarakan di rumah Ayah juga. Tidak terlalu mewah, karena aku tak suka sesuatu yang ribet. Aku memilih tinggal di rumah pribadiku, jaraknya tak terlalu jauh dari restoran yang aku kelola.
Setelah ku ikrarkan kalimat ijab Qobul. Pengantinku di boyong keluar oleh ibunya. Sekilas aku merasa familiar dengan wajah pengantinku, sepertinya aku pernah melihatnya!... Tapi di mana!... Mungkin karena wajahnya tertutup make up, aku jadi tak mengenalinya.
***
Tiba saat malam pengantin kami. Aku gugup menantikan istriku. Untuk mengalihkan rasa gugup di hatiku. Aku menyibukkan diri dengan bermain hp. Tiba-tiba saja, Yuka berdiri di depanku hanya memakai lingeri tipis. Bukan senang, tapi aku jijik begitu tahu wanita macam apa yang aku nikahi. Dia wanita yang sudah berulang kali di tiduri oleh Gerry.
Setelah Yuka menghapus make up di wajahnya, aku akhirnya bisa mengenali wajah Yuka. Aku merasa bodoh, kenapa aku selalu menolak untuk di pertemukan dengan Yuka, calon istriku. Andaikan aku tahu, yang aku nikahi adalah wanita nakal yang sudah berkali-kali di tiduri oleh Gerry. Pasti aku akan membatalkan pernikahan ini. Nasi sudah menjadi bubur. Aku langsung menghina Yuka, karena luapan emosiku yang menggebu-gebu. Aku selalu melampiaskan kekesalanku pada Yuka.
FLASH BACK OFF