Setelah menjawab salam, aku duduk di hadapan Mas Fikri yang duduk berdampingan dengan seorang pria paruh baya. Ada meja di tengah-tengah kami yang memberi jarak. "Apa kabar, Yuka?" tanya Mas Fikri sembari mengulas senyum kebahagiaan. "Alhamdulillah baik, Mas." Aku menundukkan kepala dengan dalam, sambil meremas jemariku sendiri. Gugup sedang melanda hatiku. Tak tahan aku melihat senyuman Mas Fikri yang masih menawan hatiku. "Ini, aku bawa oleh-oleh buat kamu dari Makkah. Sesuai dengan janjiku dulu, sebelum aku pergi merantau. Ada juga oleh-oleh untuk Yuli dan Ibu." Mas Fikri memberiku tas jinjing penuh dengan oleh-oleh yang kuyakini salah satu isinya adalah mukena, oleh-oleh yang kuminta sebelum Mas Fikri pergi merantau. "Terima kasih, Mas. Tapi, harusnya kamu nggak perlu repot-repot b

