3. Bertemu kembali

1016 Kata
"Masuklah, Zima!” Rani mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam ruang kerjanya. “ Ayo, duduklah!“ kembali wanita itu berbicara. Aku duduk di sebuah kursi yang bersebarangan dengan meja kerjanya. Rani menatapku dengan seulas senyuman. Aku pun melakukan hal sama, melemparkan senyumku untuknya.   “Apa kau memanggilku tadi?” tanyaku begitu saja dan Rani mengangguk.   “Iya, ada hal yang ingin aku diskusikan denganmu, Zima.” Rani menatapku dengan wajah seriusnya. Memang seperti itulah Rani. Perempuan yang memiliki garis tegas dan begitu mandiri.   Aku semakin tertarik dengan pembahasan ini. Dan aku yakin pasti Rani sedang mendapatkan proyek baru.   “Jadi … kemarin sore ada seorang klien mneghubungiku. Ini klien baru. Namanya Gladis. Dia memintaku untuk mengurus semua rencana pernikahan nya,” jelas Rani yang langsung membuat mataku berbinar. Jelas saja aku ikut senang jika di tempat kerjaku ini mendapat banyak pelanggan.   “Bagus dong, Ran. Kita mendapat klien baru lagi. Alhamdulillah,” ucapku penuh syukur. Karena jika klien yang kita dapat bertambah, maka tak akan menutup kemungkinan, bonus yang akan diterima semua karyawan juga ikut bertambah. Wedding Organizer milik Rani ini terbilang sudah lumayan besar. Berjalan lebih kurang tiga tahun dan nama WO ini juga cukup dikenal. Tak jarang jika dalam satu kesempatan WO ini bisa menangani beberapa acara pernikahan.   “Ya, dan bolehkah aku meminta bantuan kepadamu, Zima? karena aku sudah cukup kerepotan menangani dua klien sekaligus. Jadi kupikir, klien baru ini akan aku limpahkan kepadamu. Apa kamu merasa keberatan?” Dengan ragu Rani mulai membicarakan mengenai klien barunya kepadaku. Dan reaksi yang aku tunjukkan, membuat Rani terlihat begitu lega.   Aku tersenyum pada Rani lalu menganggukkan kepala. “Baiklah. Aku akan menghandel klien baru kita. Ah ya, siapa tadi namanya?”   “Gladis Justicia. Biasa dipanggil Gladis. Dan dia ingin bertemu dengan kita sore ini. Kamu tak ada acara kan sore ini? Sekalian aku akan mengenalkanmu padanya.”   “Sore ini aku free. Lagipula pekerjaanku hanya tinggal menyelesaikan mengenai souvenir untuk hari ini. Dan semoga acara besok berjalan lancar. Amin." Doaku untuk kelancaran semua pekerjaan yang aku jalani bersama Rani.   “Amin."Rani ikut meng-aminkan doa-doaku.   “ Ya, sudah jika begitu sore nanti kau siap-siap dan jangan pergi kemana-mana. Karena Gladis akan datang ke kantor kita.“   “Baiklah, Bu Bos. Aku paham,“ ucapku sambil terkekeh. Lalu beranjak berdiri.   “Apakah masih ada lagi yang ingin kau bicarakan denganku, Ran?” tanyaku dan Rani menggeleng.   “Baiklah jika begitu aku ke luar dulu, ya. Aku akan menyelesaikan packing souvenir dulu.”   “Thanks, Zima.“ “Sama-sama, Ran.” Setelahnya aku benar-benar keluar dari ruangan Rani.     ****   Sore harinya sesuai janjiku pada Rani, sejak jam tiga sore aku sudah menungu seorang klien yang Rani katakan bernama Gladis. Akan tetapi satu jam menunggu bahkan sekarang sudah jam empat sore, klien tersebut tak kunjung datang. Padahal jam kerjaku setiap hari hanya sampai jam lima sore. Itu berarti satu jam lagi sudah waktunya aku pulang. Tapi aku masih sabar menunggu hingga klien itu datang. Info dari Rani, Gladis sedang dalam perjalanan.   Kebetulan sekali Rani keluar dari ruang kerjanya lalu menghampiriku yang masih berkutat dengan computer, menginput beberapa data budgeting dari satu klien yang sedang kami tangani.   “Belum datang ya, Zi?” tanya Rani dengan kepala menjulur memperhatikan keluar melalui jendela di belakang ruanganku.   “Belum ada orang yang datang,“ jawabku asal.   “Ya sudah, kita tunggu sampai jam lima. Jika tetap belum datang juga, kau bisa pulang.“ “Okay,“ jawabku lalu beranjak berdiri karena kurasa kandung kemihku sudah penuh dan harus segera aku keluarkan isinya.   “Ran, aku ijin ke toilet dulu, ya?“   Rani mengangguk. Dan aku terburu dengan berjalan cepat menuju ke toilet. Aku sudah tidak tahan lagi menahan ingin buang air kecil.   Lima belas menit kemudian aku keluar dari dalam toilet dengan wajah berbinar . Merasa lega setelah mengosongkan kandung kemihku. Saat berjalan menuju meja kerjaku, tiba-tiba saja Tari menghadang jalanku.   “Kak Zima …. tadi Mbak Rani pesan jika Kak Zima sudah selesai dari toilet diminta langsung menuju ruang meeting.” Perkataan Tari membuatku mengerutkan kening.   “Apakah tamunya sudah datang?” tanyaku dan Tari mengangguk.   “Baiklah. Aku akan ke dalam ruang meeting.”   Tari berlalu meningalkanku. Kuhela nafasku dan meneliti kembali penampilanku agar terlihat rapi. Maklumlah karena ini sudah sore hari jadi sedikit berantakan penampilanku . Setelah kurasa tak terlalu buruk, berjalan cepat menuju ruang meeting. Aku tak mau Rani menungguku terlalu lama.     Beridiri di depan ruang meetin,, sebuah ruangan yang bisa kita pakai untuk menerima tamu dan juga klien. Mengetuk pelan sebelum kuputuskan membuka pintunya. Dan saat pintu terbuka wajah Rani yang memang tepat menghadap ke arah pintu langsung tersenyum.   “Masuklah , Zi!“ pinta Rani dan aku mengangguk. Aku sedikit mengernyit mendapati klien yang Rani ceritakan tadi, dan ternyata ada dua orang. Aku pikir hanya perempuan bernama Gladis saja. Ternyata tidak, karena yang aku lihat sekarang ini adalah dua punggung, yaitu satu puggung seorang lelaki dan satu punggung seorang perempuan. Keduanya memang duduk membelakangi pintu, sehingga saat aku masuk tak langsung melihat wajah keduanya. Kelegaan tampak di wajah Rani begitu mengetahui kehadiranku. Begitu saja aku masuk ke dalam berniat ingin menghampiri Rani yang tengah duduk bersama klien kami. Melewati samping tubuh klien pria tanpa berniat menatap wajah lelaki tersebut aku justru tersenyum pada perempuan yang langsung bersitatap denganku.   Tanpa kusadari kepala lelaki itu memutar dan kini menghadapku. Aku terkejut tapi segera berusaha menguasai diri. Tak ingin mereka curiga padaku. Bagaimana aku bisa melupakan wajah lelaki itu. Tentu saja tak bisa semudah itu hilang dari ingtaanku . Berharap lelaki itu tak mengenaliku tapi itu hanyalah harapan yang sia-sia semata. Karena sepertinya lelaki tersebut sama terkejutnya denganku. Sesaat hanya bisa membeku di tempat. Masih dengan posisi berdiri dengan canggung, aku tak menyangka jika setelah sekian lamanya Tuhan kembali mentakdirkan aku untuk menguak luka lama yang telah lelaki itu torehkan kepadaku. Apa arti ini semua? Aku tak tahu harus bagaimana sekarang. Hingga suara deheman Rani membuyarkan lamunan. Menatap pada Rani yang sepertinya sedang tidak sabar ingin segera memulai meeting kali ini. Karena tampak dari raut wajah rekanku itu jika sedikit kesal atas keterlambatan kedatangan klien kami ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN