Dua belas tahun kemudian ....

1368 Kata
“Sasa! Buka dulu pintunya dong, Sayang?" bujuk Tiara, maminya Tissa. Dipanggil dengan sebutan Sasa, tetapi yang sebenarnya adalah nama panjangnya yaitu Tissa Putri Kalandra. Sekali lagi Tiara pun tampak mengetuk pintu kamar putrinya tersebut dengan ketukan pelan. "Sasa! Keluar dulu, Sayang. Gak baik loh, anak perawan ngumpet terus di dalam kamar seharian!" Masih hening, tidak ada juga sekali pun respon dari dalam sana. "Sasa!" seru Tiara lagi, dengan suara tertahan. "Kenapa, Ra. Apa Sasa masih tidur? Bukannya ini waktunya udah kesorean?" tanya Aksa, ayahnya Tissa. Yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya Tiara, dan masih dalam keadaan memakai pakaian kantor. Tiara pun menolehkan wajahnya ke arah sang suami, "ngambek sedih itu kayaknya, seharian ini." "Kok bisa? Ada mau nyahut gak waktu kamu panggil-panggil tadi?" tanya sang suami. Tiara pun tampak menggelengkan kepala pelan. "Gak ada. Apa benar ya ... dia lagi patah hati karena pria itu?" gumamnya, tetapi masih terdengar di telinga Aksa. "Apa ini masih tentang Leo? Mantan karyawan di cafe kita itu ya?" tanya Aksa, menebak. Dan hanya dibalas anggukan kepala oleh istrinya tersebut. Aksa pun tampak menghela napas pelan. "Coba, biar aku yang panggil Sasa. Udah dari kapan dia mengurung diri?" tanya Aksa, lagi. Sambil mengetuk dengan suara sedikit keras. "Ya ... dari semalam habis makan malam itu, Bang. Nah, pagi tadi juga gak mau ikut sarapan kan? Setelah itu ... ya tetap gak ada mau keluar kamar," urai Tiara. "Loh, jadi dari aku pamit berangkat ke kantor tadi pagi, Sasa belum ada keluar kamar juga?" tanya Aksa masih dengan intonasi tidak percaya. "Ada-ada saja anak kamu ini, Ra. Suka sama laki-laki kok gak berubah dari jaman dia bayi dulu," sambungnya dengan gelengan kepala takjub. "Namanya juga rasa suka. Siapa sih yang tahu?" sahut Tiara, membela putrinya. "Tapi ya masa sama pria dewasa gitu sih, Ra?" timpal Aksa masih tak percaya. "Kayak gak ada stok cowok lain." "Yang penting bukan suami orang," sahut Tiara dengan cepat dan nada acuh. Membuat Aksa tampak mengernyitkan dahinya. "Jangan menyindir dong, Ra. Itu kan masa lalu kita ...." Dan Tiara pun hanya bisa menghela napas pelan. "Selama ini, Leo cukup baik sama putri kamu itu, Bang. Wajar ... kalau Sasa jadi merasa diberi perhatian lebih sama dia. Sepertinya anak kita cintanya bertepuk sebelah hati deh," tuturnya dengan nada santai. Karena sebenarnya Tiara sudah cukup menyerah, untuk memberikan pendapat tentang perasaan putrinya itu pada pria yang tidak sewajarnya. "Lagian, Sasa gak bisa apa ya, suka sama laki-laki yang seumuran sama dia aja gitu, kan gak jadi ribet kayak gini?" tutur Aksa dengan nada yang tak habis pikir. "Kalau misal jarak umurnya mereka cuma lima tahun gitu, masih-masihlah. Masih kelihatan seumuran juga. Ini jarak sampai lima belas tahun loh Ra? Apa gak kayak suka sama om-om?" oceh Aksa bernada menggerutu. "Ya mau gimana lagi, Bang. Anak kamu ya sukanya sama itu orang. Emangnya ... kita bisa ngendaliin perasaan Sasa?" timpal Tiara sambil mengedikkan kedua bahunya, pertanda ia pun tidak mengerti juga. "Sa ... Sasa. Keluar dulu ya, Sayang. Temani Ayah makan yuk," bujuk Aksa, lagi. Dan kali ini tampak menggedor pintu kamar tersebut. Namun, sampai beberapa kali gedoran, sama sekali tidak ada pergerakan untuk membuka pintu tersebut dari dalam sana. "Sa! Ayah hitung sampai sepuluh ya? Kalau gak mau buka juga, Ayah dobrak nanti pintunya ini," ancam Aksa, kemudian. "Ayah gak main-main loh, Sa. Satu!" sambungnya berseru sambil mulai menghitung. "Dua!" "Aku siapin dulu buat makan malam kita nanti ya, Bang?" pamit Tiara dengan berbisik di dekat telinga suaminya itu. Aksa pun segera menganggukkan kepala untuk Tiara. "Tiga!" "Beneran Ayah dobrak, Sa! Emp___" Belum selesai Aksa menyebutkan satu angka, pintu kamar itu pun akhirnya terbuka juga dari dalam. Dan sosok Tissa pun muncul juga di ambang pintu tersebut. Lengkap dengan muka kusut dan tentu saja kedua mata yang sudah sembab. "Sudah mandi?" tanya Aksa, sengaja pura-pura tidak tahu menahu dengan kondisi patah hati yang menimpa pada putrinya tersebut. "Belum," jawab Tissa, serak basah. "Kenapa, Yah?" tanyanya balik. "Gak papa. Habis ini buruan mandi ya? Ayah mau ajak Sasa jalan-jalan nanti," ucap Aksa sambil merapikan anakan rambut yang tampak jatuh menjuntai di kening putrinya tersebut. "Lagi gak ingin gerak, Yah." Tolak Tissa dengan nada malas. "Ayah sama Mami aja sana yang jalan. Sekalian ajak Aska sama Fasya," sambungnya malahan memberi alternatif. "Hei, mana bisa gitu. Keluar satu ya keluar semua. Ayah mana tega ninggalin putri Ayah ini sendirian di rumah," timpal Aksa sambil memasang wajah merenggut. "Sasa lagi capek, Yah." "Capek ngapain? Seharian kan Sasa minta izin kata Mami, gak mau sekolah." "Lagi sakit, Yah. Makanya izin gak masuk sekolah," kilah Tissa, kemudian. Dan posisi mereka pun masih berada di depan pintu kamarnya Tissa. "Sakit apa? Kalau sakit ya udah sekalian, Ayah bawa ke dokter. Biar diperiksa nanti," tutur Aksa setengah memaksa. "Gak ah. Sasa mau tidur aja," tolak Tissa sambil menguap. Lalu membalikkan badannya berniat masuk ke dalam kamar lagi. "Gak baik, Sa. Mau dekat magrib gini malahan balik rebahan tidur lagi," tegur ayahnya Tissa sambil geleng-geleng kepala. "Pamali," "Sasa juga udah kenyang, Yah, tidur dari tadi." Aksa pun mengikuti langkah putrinya itu dan masuk ke dalam kamar. Lalu mengambil duduk di tepi ranjang. Sedangkan Tissa kembali ke atas ranjangnya, tetapi hanya untuk duduk saja. "Coba, sini bilang ke Ayah. Sasa kenapa seharian mengurung diri terus di kamar. Ayah juga dengar dari Mami waktu telpon siang tadi. Sasa sampai gak mau makan juga," ucap Aksa yang saat itu sudah merubah posisi duduknya menyerong ke arah sang putri dengan salah satu menopang di lantai. "Hanya lagi badmood aja sih, Yah." Aksa pun menatap wajah Tissa dengan pandangan menyelidik. "Kalau boleh Ayah tebak, apa ini ada kaitannya dengan undangan yang dikirim sama Leo?" tebaknya kemudian. Ketika diperhatikan, ada raut salah tingkah terlihat di wajah putrinya tersebut. Namun, salah tingkahnya itu telah tertutupi oleh kegalauannya. "Gak usah disebut lagi, Yah. Udah jadi jodoh orang juga kok," sahut Tissa akhirnya dengan nada sedih dan pasrah. "Boleh Ayah kasih saran?" tanya Aksa dengan nada hati-hati. Tangan kanannya tampak mengelus lembut pucuk kepala Tissa. Sang gadis pun hanya menghela napas pelan, "apa?" tanyanya singkat. "Sasa, anak Ayah ini kan masih muda. Sangat muda dan cantik lagi. Jalan yang harus Sasa lalui pun masih panjang. Contohnya, seperti Sasa yang harus menuntut ilmu dulu sampai cita-citanya bisa tercapai. Dan Ayah kira, selain kalian itu yang tak ada jodoh, usia kalian itu juga yang terlampau jauh jaraknya loh." Sampai di sini Aksa pun tampak terdiam sejenak, sambil memperhatikan raut wajah putrinya. "Sekarang, kalau Ayah minta Sasa untuk lebih fokus ke belajar aja dulu, bisa?" Setelah menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan, Tissa pun berusaha menampilkan senyumnya walaupun hanya segaris. "Iya, Yah. Ayah gak usah khawatir. Sasa juga bukan penganut paham bucin kok," sahutnya sedikit berbohong. "Apa itu bucin?" tanya Aksa sambil memicingkan mata. "b***k cinta, Yah." "Masih muda. Jangan mau jadi b***k cinta-cintaan gitu," sergah Aksa tidak suka. "Anak Ayah lebih baik dicintai, daripada mengejar cinta. Bikin nyesek loh," "Enggak lah, Yah. Tapi ... kalau umpama masih ada timbul rasa suka juga, wajar kan?" ucap Tissa menawar. "Kalau dia udah jadi suaminya orang, ya sama aja nyakitin hati sendiri, Sa. Karena Sasa masih berlarut terus sama rasa sukanya itu," tutur Aksa bijak. "Iya, Yah. Sasa akan selalu ingat pesan Ayah ini. Tenang saja. Sasa itu anaknya strong kok," sahut Tissa sambil mengangkat salah satu tangannya dan membuat tanda semangat. Aksa pun sambil tersenyum tampak menarik hidung putrinya tersebut dengan gemas tetapi lembut. "Kalau gitu nanti makan malam sama-sama, ya?" tawarnya kemudian. Dan dibalas sebuah anggukkan oleh Tissa. "Siap," balasnya. "Ayah mau beres-beres, dan mandi dulu. Sasa jangan balik rebahan atau tidur lagi ya. Udah petang loh ini," ucap Aksa memberi peringatan halus. "Enggak kok. Sasa juga mau mandi kok," elak Tissa yang terlihat menuruni ranjangnya lalu menarik handuk mandi yang berada di gantungan handuknya juga. Dan tampak sedikit terhuyung-huyung saat berjalan ke kamar mandinya itu. "Hati-hati, Sa! Jangan ketiduran lagi di kamar mandi ya," tegur Aksa sebelum akhirnya ikut keluar dari kamar putrinya tersebut. "Iya, Yah!" Dan dengan bersamaan saat Tissa menutup pintu kamar mandinya, saat itu juga Aksa tampak menghela napas pelan dan kemudian berbalik serta menutup pintu kamar tersebut. Terlihat Aksa tampak menghela napas pelan. Semoga kamu benar-benar kuat, Sa. Aksa menggumam dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN