Perlahan namun pasti, kepala Harmoni turun ke bawah hingga pada akhirnya bibir kedua manusia itu sejajar.
Lensa mata Harmoni dan Dewa saling bertukar pandangan.
Tak ada yang berani membuka suara lebih dulu, keduanya masih saling diam satu sama lain.
Karena kue salju yang berada di mulut Harmoni sudah terasa mulai meleleh di mulut, gadis itu akhirnya mencoba menelan kue tersebut dan betapa menakjubkan rasa dari kue itu, rasa segar dan dingin menyatu menjadi satu dalam sebuah kata lezat.
Dewa yang tak sengaja melihat ke arah leher Harmoni dimana leher gadis itu sudah bergerak naik turun, akhirnya sedikit lengkungan pada bibirnya terukir sembari tersenyum.
Makanan di mulut Dewa nampak sudah tak ada lagi dan pria itu kembali menormalkan posisi duduknya seperti semula.
Harmoni yang sadar akan hal tersebut, akhirnya gadis itu juga kembali menegakkan posisi duduknya.
"Bagaimana? enak?" tanya Dewa pada Harmoni tersenyum meledek.
"Tidak!"
"Serius tidak enak?" tanya Dewa lagi.
Harmoni hanya diam tak menanggapi pertanyaan dari mulut Dewa.
"Padahal kue itu yang membuat para pengunjung cafe ini terus kembali setiap harinya," jelas Dewa pada Harmoni dan gadis itu mulai tertarik akan topik pembicaraan Dewa kali ini.
Gadis itu melipat kedua tangannya sembari melirik ke arah Dewa. "Darimana kau tahu, jika kue itu yang membuat para pembeli itu kembali kemari?" tanya Harmoni masih enggan menatap ke arah Dewa secara langsung.
"Jelas aku sangat tahu karena aku pemilik cafe ini," sahut Dewa membuat raut wajah Harmoni begitu terkejut.
"Jangan terlalu mengada-ada, aku tahu kau hanya ingin menipuku, 'kan?" ledek Harmoni yang nampak tak percaya dengan pengakuan Dewa.
"Untuk apa aku membohongimu? tak ada untungnya bagiku," celoteh Dewa.
Harmoni hanya berkomat-kamit tak karuan mendengar celotehan pria bermarga Abraham tersebut.
"Dengar ya, Nona! kue itu bukan kue biasa, itu kue yang berasal dari planetku dan bahan-bahannya juga tak semua bisa di dapatkan di bumi jadi, percayalah padaku, jika kue ini memang kue dari planetku," jelas Dewa kembali meyakinkan Harmoni.
Tak ada respon dari Harmoni, gadis itu malah mengacuhkan Dewa yang menatapnya dengan tatapan serius.
Dewa menghela napasnya lesu. Ia tak ada cara lain selain menunjukkan pada gadis itu tentang kebenaran kue tersebut.
Dewa menarik pergelangan tangan Harmoni menuju arah lantai dua, dimana rooftop cafe itu berada.
"Eh, mau apa kau! lepaskan aku!"
Harmoni terus meronta kala Dewa semakin erat menggenggam tangannya.
"Aku bilang lepaskan! kau bisa mendengar atau tidak, sih!"
Harmoni terus mengumpat seenak bibirnya yang memang sudah tak dapat ia filter.
Gadis itu paling benci dengan yang namanya pemaksaan seperti ini.
Saat sudah berada tepat di depan tangga cafe itu, Dewa mengamati arah sekelilingnya dan daerah itu nampak sepi dari lalu-lalang orang-orang.
Tangan yang awalnya menggenggam pergelangan tangan Harmoni, kini tangan itu bergerak ke lain tempat, tepatnya berada di pinggang ramping CEO cantik tersebut.
"Kau!"
Lagi-lagi Harmoni berteriak pada Dewa dan pria itu hanya menatapnya datar.
"Kenapa kau selalu seenaknya saja pada tubuhku! apa kau kira aku ini takut melawanmu," ancam Harmoni pada Dewa.
"Diam dan lihat apa yang ingin aku tunjukkan padamu," tutur Dewa yang perlahan tubuhnya dan Harmoni terangkat ke atas seperti mengambang di atas lautan.
Gadis itu terkejut dan secara spontan memeluk leher Dewa kala tubuhnya terasa ingin jatuh.
Arah tatapan mata Harmoni tertuju pada wajah Dewa yang mana pria itu masih fokus menatap ke arah depan.
Tubuh mereka terus mengambang sampai pada akhirnya, tiba di sebuah pintu dan pintu itu lagi-lagi bergerak secara ajaib, bisa terbuka dengan sendirinya tanpa ada yang menariknya.
Dewa dan Harmoni masuk ke dalamnya dan saat sudah berada di balik pintu itu, pemandangan malam di atap cafe tersebut terlihat sangat indah.
Kilauan lampu kota di setiap jalan raya nampak begitu cantik dipandang mata.
Terpesona akan kecantikan pemandangan malam tersebut, membuat Harmoni lupa, jika itu bukan pemandangan di bumi, melainkan planet lain.
Perlahan tapi pasti, akhirnya kedua telapak kaki Harmoni dan Dewa mendarat di lantai rooftop tersebut.
Harmoni melirik ke arah kakinya yang dapat ia pastikan, jika kaki itu benar-benar sudah menapaki lantai rooftop tersebut.
Tanpa sengaja, arah kedua manik mata Harmoni menatap ke arah Dewa dengan kedua tangan yang masih melingkar di leher pria tersebut.
Dewa juga tak sengaja menoleh ke arah gadis itu dan secara otomatis kedua ujung hidung mereka bersentuhan.
Lensa mata Dewa perlahan mulai berubah warna, dari safir menjadi warna senja.
Harmoni melihat perubahan warna itu dan tanpa di sadari oleh Harmoni, tangan gadis itu bergerak menuju arah pipi Dewa, kemudian ke arah kelopak matanya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Harmoni sedikit cemas dengan keadaan pria itu karena tiba-tiba saja warna lensa mata Dewa berubah.
Dewa semakin erat menarik pinggang ramping Harmoni ke arahnya dan gadis itu terkejut.
"Kau kenapa?" tanya Harmoni ingin memastikan dengan tangan yang masih menyentuh kelopak mata Dewa.
Bukannya menjawab, pria itu malah memejamkan matanya menikmati sentuhan lembut jemari lentik Harmoni yang terasa begitu halus di wajahnya.
"Tetaplah seperti ini hanya untuk sebentar saja," gumam Dewa dengan suara beratnya.
Bukannya menolak, Harmoni malah menuruti kemauan pria itu dan dirinya hanya diam dalam pelukan Dewa, tanpa ada perlawanan.
Saat kelopak mata pria itu tertutup, mata Harmoni tanpa di pandu mengamati tiap pahatan wajah Dewa yang terbilang sangat sempurna dan tanpa kekurangan sedikitpun.
Kulit putih, hidung mancung, kelopak mata yang terlipat sempurna, alis tebal dan bibir yang sedang-sedang saja, tidak tebal ataupun tipis.
Perlahan kelopak mata pria itu mulai terangkat ke atas dan menampilkan lensa mata yang begitu indah. Perpaduan antara biru dan jingga. Bagai sebuah lautan yang menampilkan suasana sunrise di dalamnya.
"Apa kau sudah lebih baik?" tanya Harmoni memastikan.
Kedua manik mata Dewa masih menatap setiap inci wajah Harmoni.
"Sedikit," sahut Dewa masih merangkul pinggang gadis itu secara posesif.
"Warna lensa matamu ...."
"Abaikan saja, sebentar lagi dia akan normal seperti biasanya," jelas Dewa pada Harmoni.
"Apa ... aku sudah boleh sedikit menjauh darimu?" tanya Harmoni.
"Sebentar saja, aku ingin warna mataku normal secara perlahan," sahut Dewa dan Harmoni mengangguk mengerti.
Gadis itu kembali mengedarkan pandangannya pada arah kota.
Tiba-tiba Harmoni teringat akan sesuatu.
"Bukankah ini jam makan siang? kenapa langit tiba-tiba gelap dan penuh bintang seperti ini?" tanya Harmoni pada dirinya sendiri.
"Ini gambaran dari planetku saat malam hari," tutur Dewa membuka suara.
Harmoni kembali menatap ke arah Dewa tak percaya. "Apa kau serius? ini bukan hanya tipu muslihatmu, 'kan?" tanya Harmoni memastikan.
"Tentu saja bukan," sahut Dewa yang perlahan melepaskan rangkulan pada pinggang CEO cantik itu.
Harmoni spontan ingin memastikan keadaan lensa mata Dewa dan syukurnya sudah kembali ke warna semula.
Dewa dua langkah maju ke depan, tepat berada di pagar pembatas rooftop tersebut.
Pria itu mengulurkan tangannya pada Harmoni, agar gadis itu menggapainya.
"Kemarilah!" pinta Dewa.
Gadis itu rasanya enggan menerima uluran tangan dari Dewa dan si empunya tangan nampaknya paham akan ekspresi wajah Harmoni.
"Aku tak ada niat jahat padamu, aku hanya ingin menunjukkan bahan utama dari kue salju yang kau makan," jelas Dewa pada Harmoni.
Akhirnya dengan penuh pertimbangan, Harmoni mau menggapai uluran tangan Dewa.
Saat kedua telapak tangan itu menyatu, sebuah cahaya muncul dari perpaduan kedua telapak tangan dua insan tersebut.
"Ini kenapa?" tanya Harmoni sedikit ketakutan.
Dewa hanya tersenyum kecil menenangkan Harmoni. "Tidak apa-apa!"
Dewa dan Harmoni menghadap ke arah kilauan lampu kota yang berada di sepanjang jalan planet itu.
"Apa kehidupan di planetmu juga sama seperti di bumi?" tanya Harmoni pada Dewa.
"Sama, kami juga memiliki seorang pemimpin, yaitu Raja dan para rakyatnya, bedanya, jika di bumi ada beberapa pemimpin di setiap belahan dunia namun, di planet kami, hanya ada satu pemimpin dalam satu planet, yaitu Raja Darren!"
"Apa nama itu adalah nama ayahmu?" tanya Harmoni memastikan.
"Ya, Darren Abraham!"
Seketika angin meniup sebagian rambut Harmoni dan helaian rambut gadis itu mengenai sebagian wajah Dewa.
"Apa kau siap?" tanya Dewa pada Harmoni.
Gadis itu mengerutkan keningnya tanda tak paham akan pertanyaan yang diajukan oleh pria di hadapannya. "Siap untuk apa?" tanya Harmoni balik.
"Untuk melihat bahan utama dari kue yang kau sebut tak enak itu," jelas Dewa sembari menyindir Harmoni.
"Kata siapa tak enak," protes Harmoni tak terima.
"Kau yang mengatakannya," sahut Dewa apa adanya.
"Aku tadi itu masih belum menyelesaikan ucapanku," ralat Harmoni.
"Jadi?" sambung Dewa.
"Maksudku, tidak mengecewakan, mangkanya, lain kali jangan negatif thinking," cacar Harmoni melirik Dewa sembari memutar bola matanya jengah.
"Dan sekarang waktunya untuk menunjukkan bahan utama dari kue salju itu," tutur Dewa menggenggam tangan Harmoni erat.
"Perhatikan gambaran pesona alam yang sebentar lagi akan berada di depanmu," pinta Dewa pada Harmoni.
Saat gadis itu fokus menatap ke arah depan, tiba-tiba langit malam di sebuah perkotaan berganti dengan pesona alam lainnya seperti sebuah film yang dapat di tarik ulur sesuka hati.
"Ini dimana?" tanya Harmoni pada Dewa.
"Pegunungan salju abadi," sahut Dewa menatap ke arah Harmoni dan gadis itu juga menatap ke arah Dewa tak percaya dengan gambaran yang ia lihat di hadapannya saat ini.
"Apa ini juga bagian dari planetmu?" tanya Harmoni.
"Ya, dan ini bahan utama dari kue yang kau makan itu," jelas Dewa.
"Gunungnya?" tanya Harmoni sedikit berteriak karena gadis itu pikir, jika gunung itu bahan utama dari kue salju yang sangat lezat tersebut.
"Bukan, tapi butiran salju yang jatuh tanpa henti tiap harinya," jawab Dewa memperhatikan buliran salju yang perlahan turun satu demi satu.