Bab 36

2210 Kata
Harmoni langsung berendam di dalam bathtub miliknya dengan aroma terapi yang membuat tubuh dan pikirannya tenang. Wajah gadis itu menatap ke atas dengan tubuh yang di tutupi oleh tumpukan busa yang menjadi penutup kulit mulusnya. Pikiran Harmoni saat ini terfokus pada pertengkaran kecil antara dirinya dan Dewa tadi saat berada di halaman kantor polisi. "Apa dia begitu memikirkan statusku dan Jason? tapi mengapa dia memikirkan hal itu, bukankah tak ada hubungannya dengan dirinya," pikir gadis itu masih dengan kepala menengadah ke atas menikmati sensi menenangkan dari aroma terapi yang menyeruak masuk ke dalam indera penciumannya. Jika dipikir-pikir, Dewa selalu datang saat dia dalam keadaan genting atau dalam keadaan bahaya. "Apa dia tahu, jika aku dalam keadaan butuh bantuannya? kenapa dia selalu tepat waktu muncul saat aku benar-benar butuh bantuannya," pikir Harmoni lagi yang terbayang akan Dewa. Kepala gadis itu menggeleng cukup keras, agar semua pikiran mengenai Dewa sirna. "Kenapa aku memikirkannya, bukankah kita hanya sebatas teman biasa," sangkal Harmoni yang sudah mulai tertarik dengan Dewa. Gadis itu memejamkan matanya mencoba menghilangkan pemikiran yang tak benar dan memfokuskan pada aroma terapi yang keluar dari dalam bathtub tersebut. Setelah beberapa menit berendam, akhirnya gadis itu keluar dari dalam kamar mandinya dengan tubuh yang sudah terbalut bathrobe dan rambut yang sudah tergulung handuk berwarna putih. Harmoni berjalan ke arah meja riasnya, tangan kanannya menarik laci meja rias tersebut dan mengambil hair dryer untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Saat alat pengering rambut itu sudah dihidupkan, suara yang cukup bising terdengar dan seketika itu juga, Harmoni menarik handuk yang menutupi rambutnya. Alhasil, rambut panjang Harmoni seketika terjatuh dengan sendirinya. Harmoni mengambil sisir untuk membantunya dalam mengeringkan rambut basahnya. Saat tengah asyik menatap ke arah cermin dan kedua tangan sibuk mengeringkan rambutnya, tiba-tiba ada sesuatu yang menjalar pada kakinya. Harmoni menoleh ke arah kaki yang terasa cukup geli itu, ternyata ada seekor laba-laba kecil yang merayap di betisnya, seketika suara teriakan gadis itu melengking indah membuat seisi kamar gempar bukan main, bahkan dari lantai dasar saja sampai terdengar begitu nyaring. "Aaaaaaaaakkkkkkk!" Harmoni langsung melempar apa saja yang ia pegang dan berdiri hendak memundurkan tubuhnya, menjauh dari hewan pembuat jaring transparan tersebut. Saat Harmoni terus memundurkan tubuhnya, tiba-tiba ada seperti terasa ada sebuah tembok besar yang menghalangi langkahnya karena tubuhnya menabrak sesuatu. Harmoni langsung menoleh ke arah belakangnya dan ternyata sudah ada Dewa di kamarnya. "Aaaak!" teriak Harmoni tak senyaring tadi. "Kau! kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Harmoni menutupi tubuhnya sendiri karena ia masih memakai baju mandinya. "Jangan salahkan aku, salahkan saja dirimu sendiri, jangan marah-marah seperti itu," omel Dewa pada Harmoni dengan nada datar tak seramah saat mereka berdua sepakat untuk berteman. "Kenapa dia? apa kesurupan?" tanya Harmoni dalam hatinya. "Lain kali jangan berteriak, jika kau tak ingin aku datang kemari," jelas Dewa pada Harmoni. "Itu hakku untuk berteriak atau tidak jadi, jangan banyak mengatur," sungut Harmoni membuat Dewa melipat kedua tangannya. "Kau baik-baik saja, 'kan? aku akan pergi," pamit Dewa namun, Harmoni langsung berlari ke arah Dewa dengan cepat dan memeluk pria tersebut begitu erat dengan napas yang terengah-engah karena ketakutan. "Hei! apa yang kau ...." Belum juga Dewa melancarkan semua protesnya, Harmoni langsung menyela, "Ada laba-laba di sana." Harmoni menunjuk letak hewan kecil itu berada pada Dewa menggunakan jarinya namun, wajah gadis itu masih menatap berlawanan dengan Dewa karena posisi Harmoni saat ini memeluk tubuh Dewa sangat erat. Arah tatapan mata Dewa langsung melihat objek yang dikatakan oleh Harmoni dan benar saja, ada laba-laba kecil di lantai dekat meja rias gadis tersebut. "Hanya laba-laba kecil saja takut," ejek Dewa membuat gadis itu menjauhkan sedikit tubuhnya dari Dewa. Tatapan mata Harmoni sudah nampak tak bersahabat. "Kau kira dia tak menggigit? bagaimana, jika aku digigit olehnya dan menjadi Spidergirl?" tanya Harmoni memancing gelak tawa Dewa. "Ha-ha-ha-ha! sungguh aku baru kali ini mendengar karakter pahlawan super seperti itu, sungguh hal konyol," ledek Dewa membuat gadis itu tanpa pamit mencubit kulit perut Dewa. "Rasakan! makan cubitan mantapku itu," kesal Harmoni pada Dewa. "Eh, sakit! jangan sembarang mencubit, kau ini kebiasaan, ya!" kesal Dewa yang merasa sedikit sakit pada bagian perutnya karena cubitan Harmoni. Raut wajah Harmoni yang awalnya menantang Dewa langsung berubah drastis menjadi wajah yang begitu sangat sedih, mengisyaratkan akan bantuan. "Aku mohon, usir hewan kecil itu," pinta Harmoni menangkupkan kedua tangannya pada Dewa. "Itu hanya ...." "Itu bukan hanya hewan kecil, tapi itu monster kecil yang akan membuatku berkostum ketat," jelas Harmoni lagi yang kembali memancing rasa geli dalam diri Dewa. Pria itu tersenyum pada Harmoni dan mengusap lembut puncak kepala gadis tersebut. "Gadis yang pura-pura kuat nampaknya! pada hewan kecil saja takut," ledek Dewa segera berjalan ke arah lantai bawah kaca rias. Dengan perlahan, Dewa menjulurkan tangannya, agar hewan kecil itu menjalari tangannya. Harmoni bergidik geli melihat apa yang dilakukan oleh Dewa. "Buang hewan itu jauh-jauh," pinta Harmoni yang bergeser menjauh, memberikan jalan pada Dewa, agar pria itu membuang hewan tersebut. Dewa segera berjalan ke arah jendela di mana jendela tersebut sudah terbuka lebar dan Dewa segera melepaskan hewan berkaki banyak tersebut keluar. Harmoni langsung merasa lega karena sudah tak ada hewan yang akan membuatnya memakai kostum cukup ketat. Jendela kamar Harmoni tertutup sendiri dan Dewa berbalik menatap ke arah Harmoni. "Terima kasih!" tutur gadis itu pada Dewa. "Sudah selesai, 'kan? tugasku sudah selesai," tutur Dewa hendak pergi dari kamar itu namun, suara Harmoni mengentikan gerakan Dewa. "Tunggu!" Dewa melihat ke arah gadis itu. "Ada apa lagi? jangan bilang kau ingin berganti baju masih ingin mengajakku," goda Dewa membuat wajah gadis itu bersemu merah. "Enak saja! kau yang menang banyak," omel Harmoni langsung. "Ada apa lagi?" tanya Dewa dengan suara datarnya. "Apa kau akan datang, jika aku dalam kesulitan?" tanya Harmoni ingin memastikan kebenarannya. "Mungkin," sahut Dewa ambigu, agar gadis itu lain kali tak mempermainkan dirinya untuk urusan yang tak penting. Wajah Harmoni merengut kesal. "Bukankah tugas seorang pelindung datang saat dibutuhkan?" cecar Harmoni pada Dewa. "Itu menurutmu dan sebaiknya aku pergi dulu karena akan ada yang datang," ucap Dewa langsung menghilang dari kamar itu. Belum juga semenit Dewa pergi, tiba-tiba suara ketukan pintu di dengar oleh indera pendengaran Harmoni. Tok tok tok tok "Apa Anda baik-baik saja, Nona?" tanya Mona yang berada di balik pintu kamar Harmoni. Si empunya kamar langsung membuka pintu tersebut. Ceklekk "Aku baik-baik saja," sahut Harmoni santai bagai tak terjadi apapun. "Tapi teriakan Anda sungguh menghawatirkan," tutur Mona yang masih belum percaya dengan ucapan bosnya. "Aku baik-baik saja, tadi hanya ada seekor laba-laba kecil saja, tapi sudah berhasil diusir," jelas Harmoni penuh kejujuran namun, ia tak jujur siapa yang telah mengusir hewan kecil tersebut. Mona memastikan mengintip kamar Harmoni dan si empunya kamar hanya membuang napasnya. "Kau tenang saja, tak ada apapun yang terjadi, semuanya aman terkendali jadi, lebih baik kau tidur saja! ini sudah malam," pinta Harmoni langsung diangguki oleh Mona. Setelah dapat dipastikan Mona sudah pergi, Harmoni menutup pintunya dan menyandarkan tubuhnya pada daun pintu kamarnya. "Huh, untung dia pergi tepat waktu, jika tidak, bisa runyam urusannya," gumam Harmoni dengan nada suara penuh kelegaan. Gadis itu kembali berjalan ke arah meja riasnya untuk mengaplikasikan cream malam pada wajahnya dan beberapa serum untuk kelangsungan kulit wajahnya itu. Setelah selesai dengan urusan wajah dan beberapa vitamin untuk rambutnya, Harmoni berjalan ke arah walk on closet untuk berganti baju tidur. Cuitan burung yang terdengar di halaman belakang rumah Harmoni begitu jelas terdengar. Tepat jam 5 pagi, di sebuah kamar dengan cat berwarna pastel terbaring seorang gadis dengan napas yang masih teratur, bagian tubuhnya masih tergulung selimut berwarna nude pink dengan rambut yang sudah tak terikat dan sudah acak-acakan pastinya. Wajah gadis itu masih terlihat begitu polos tanpa make up apapun, yang ada hanya wajah khas bangun tidurnya yang nampak terlihat begitu alami dan masih terlihat sangat cantik. Drrttttt Getaran pada ponsel Harmoni tak cukup membangunkan gadis itu karena ia semalam tidur cukup malam sembari mengerjakan beberapa tugasnya yang dibawa pulang oleh Mona. Niat hati ingin segera tidur setelah ia berganti baju namun, sepertinya beberapa berkas yang tertata di ruangannya meronta-ronta ingin segera mendapatkan goresan cantik dari pena sang CEO. Kini bukan hanya sebuah getaran saja yang ponsel gadis itu keluarkan, melainkan suara dering dari ponselnya. Harmoni sedikit membuka kelopak matanya dengan penuh rasa tak rela. Gadis itu meraih ponselnya yang berada di atas meja nakas. Harmoni terus meraba meja nakas tersebut, sampai ponselnya dapat ia temukan karena posisi kedua kelopak mata gadis itu masih tertutup rapat, setelah tadi mencoba membukanya dengan susah payah dan hasilkan sama saja. Setelah ponsel itu dapat di raihnya, dengan mata sebelah terbuka dan sebelahnya lagi masih tertutup, Harmoni mencoba melihat siapa gerangan orang yang menghubunginya pagi-pagi begini. "Mama!" gumam gadis itu yang langsung bangun dengan posisi duduk. Harmoni lebih dulu mengusap wajahnya, sebelum ia menerima panggilan dari sang ibu. "Ya, Ma!" "Ini, Papa!" Suara bariton dari balik ponselnya membuat gadis itu enggan melanjutkan pembicaraannya dengan sang ayah. "Ada apa, Pa?" tanya Harmoni langsung tepat sasaran karena ia tak ingin berlama-lama berbicara dengan sang ayah. "Kenapa panggilan dari papa tak kau angkat?" tanya Jordan dari balik benda pipih yang berada dalam genggaman Harmoni. "Aku masih berada di kamar mandi tadi," elak gadis itu yang berbohong kepada sang ayah. Harmoni memang sengaja membuat panggilan dari sang ayah bergetar karena ia sangat malas, jika harus berhubungan dengan ayahnya. "Bagaimana kabarmu?" tanya Jordan pada sang putri semata wayangnya. Harmoni melihat ke arah layar ponselnya dengan alis yang hampir saja menyatu. "Apa papa salah makan? tumben sekali dia bertanya tentang kabarku! biasanya cuek sekali," ujar Harmoni dalam hati. "Aku baik! papa sendiri bagaimana?" tanya Harmoni basa-basi. "Papa juga baik, sebenarnya ada yang ingin papa tanyakan padamu, apa kau bisa ke kantor papa nanti siang?" tanya Jordan pada sang putri. "Aku akan mengabari, jika aku bisa ke sana, aku tidak janji," sahut Harmoni yang sepertinya sedang ingin menolak undangan sang ayah untuk anak gadisnya datang ke kantornya. "Papa harap kau datang karena mama juga akan datang untuk membawa makan siang," jelas Jordan dari balik ponsel Harmoni. Harmoni nampak terlihat lesu kala sang ayah menggunakan sang ibu sebagai senjatanya, agar dirinya mau datang ke kantor Jordan. "Baiklah! nanti saat makan siang aku akan datang ke kantor, Papa!" "Anak baik! sampai bertemu saat makan siang nanti," tutur Jordan yang langsung menutup panggilannya lebih dulu. Harmoni langsung melempar ponselnya ke tengah ranjang dan mengusap rambut panjangnya ke belakang. Harmoni sedikit frustrasi karena ia tak mau berurusan dengan sang ayah. "Mau apa lagi mengajakku ke sana? bukankah aku sudah tak ada dalam perlindungannya," gumam Harmoni langsung berjalan ke arah kamar mandi untuk mandi air dingin, agar pikirannya juga kembali fresh. Di rumah megah seorang Dewa Abraham, dua pria jangkung tengah mengobrol di ruang tamu dengan secangkir teh pada masing-masing tangan mereka yang saat ini sedang menyeruput teh tersebut. "Ada yang ingin aku bahas denganmu," ujar Dewa membuka suara lebih dulu. "Perihal apa, Tuan?" tanya Hicob pada Dewa. Dewa perlahan meletakkan cangkir teh miliki dan arah tatapan pria itu kali ini benar-benar sangat serius. "Tanaman roh hanya ada di planet kita, 'kan?" tanya Dewa ingin memastikan pada asisten pribadinya itu. "Benar sekali, kenapa Anda bertanya hal itu pada saya?" tanya Hicob sedikit curiga. "Tanaman itu berada di sungai belakang air terjun rumah ini dan tanaman itu juga yang hampir membunuh Harmoni," jelas Dewa membuat Hicob terkejut bukan main. "Itu tidak mungkin karena tanaman itu hanya bisa kita temukan di hutan Amoora jadi, tak mungkin tanaman tersebut bisa berada di sini," sangkal Hicob yang masih tak percaya dengan penurunan bosnya yang menurutnya mengada-ada. "Damian juga ada di sana saat kejadian berlangsung," tutur Dewa lagi membuat Hicob tak bisa menyangkal itu semua. "Damian sudah tahu posisi Anda?" tanya Hicob tak habis pikir. "Mungkin dia sudah lama tahu keberadaanku dan mungkin dia juga sedang mencari keberadaan kristal itu dan dia sudah tahu, jika Harmoni yang memilikinya," terka Dewa membuat Hicob meningkatkan status waspada dalam dirinya menjadi siaga menengah. "Apa ... paman Anda juga berada di bumi?" tanya Hicob pada Dewa. "Pasti! jika Damian sudah berada di sini, aku yakin, jika paman Dalgon ada di sini dan dia juga mengincar kristal itu," ungkap Dewa membuat Hicob seketika berdiri. "Ini tak bisa dibiarkan! nyawa Nona Harmoni dalam bahaya," jelas Hicob pada Dewa dan bosnya itu hanya menganggukkan kepalanya santai. "Aku tahu itu, tapi kristal yang bersama gadis itu, sepertinya bisa melindungi Harmoni dari pengaruh jahat lainnya saat dalam kondisi mendesak," tutur Dewa pada Hicob. "Melindungi?" tanya Hicob yang masih tak paham akan penjelasan dari Dewa. "Kemarin seluruh tubuh Harmoni sudah terlihat tanaman itu, hanya bagian wajahnya saja yang tak tersentuh karena kristal biru itu terus menyala dan tanaman tersebut tak ada yang berani mendekat, saat mereka mencoba mendekat, bagian ujungnya akan terpotong namun, akhirnya tumbuh kembali," terang Dewa yang memang melihat dengan jelas kejadian itu. "Jadi bukan hanya satu tanaman saja? lebih dari itu?" tanya Hicob lagi yang masih tak habis pikir, mengapa sampai ada kejadian seperti itu, padahal dari dulu, meskipun ada banyak perempuan yang mencoba mendekati Dewa, tak ada sampai kejadian seperti saat ini. "Apa mungkin karena gadis itu memiliki kristal milik pangeran? atau dia bagian dari takdirnya?" tanya Hicob dalam hati yang tak berani melontarkan semua pertanyaan itu pada Dewa. "Kurang lebih ada enam tanaman roh yang hampir membunuh Harmoni," jelas Dewa lagi. Hicob segera menundukkan sedikit kepalanya memberikan hormat pada Dewa. "Saya akan menyelidiki keberadaan Pangeran Damian dan Tuan Dalgon," pamit Hicob langsung diangguki oleh Dewa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN