Kemarahan Sang Dewa

2301 Kata
Dewa masih terus berdiri tepat di ambang pintu dan melihat Joni dengan sorot mata yang sangat tajam. Joni yang terkejut dengan suara gebrakan pintu dari luar, membuat pria itu akhirnya menoleh ke arah suara gaduh tersebut. Joni nampak cukup terkejut melihat keberadaan pria lain di kamar itu padahal tempat itu benar-benar sangat privasi dan hanya beberapa gelintir orang saja yang tahu mengenai tempat doubel fungsi tersebut. "Singkirkan tangan bejatmu itu!" Geram Dewa pada Joni. Tangan Joni yang masih tetap senantiasa berada di kancing kerah blouse yang dipakai oleh Harmoni, akhirnya tangan nakal itu seketika segera menjauh. Kini arah tatapan mata Joni, membalas arah tatapan tajam mata Dewa. Sorot mata kedua pria itu, bagai sorot mata elang yang siap mencabik-cabik siapa saja yang berani mengganggu mereka saat ingin menyantap mangsanya. "Siapa kau?" tanya Joni pada Dewa dengan nada cukup dingin. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, kau ini siapa? dan pria dari mana? kenapa kau seenaknya menyentuh perempuan yang tak ada hubungan apapun denganmu?" tanya balik Dewa menyerang Joni. Joni hanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Dewa kepadanya. "Apa aku tak salah dengar? harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, apakah kau kekasih perempuan ini?" tanya Joni seakan mulai mengokang senjatanya siap berperang. "Dia bagian dari tanggung jawabku," sahut Dewa yang memang ada benarnya karena ia harus melindungi pemilik kedua dari kristal yang saat ini menggantung pada leher Harmoni. "Ha-ha-ha-ha! apa kau baru saja keluar dari rumah sakit jiwa? tanggung jawab apa yang kau maksud, hah? kau suaminya saja bukan jadi, jangan berlagak kau ini seperti malaikatnya, tak ada malaikat di dunia ini," cerocos Joni yang terus memancing emosi Dewa. Pria itu masih mencoba menahan emosi yang saat ini sudah mulai mendidih dan hampir saja ingin meluap namun, dia masih memikirkan keselamatan Harmoni karena yang paling penting saat ini bagaimana cara menyelamatkan gadis itu. Sebenarnya mengalahkan Joni bagai menghapus semut rangrang yang menjalari ujung kuku Dewa namun, pria itu tak ingin gegabah, ia masih ingin tahu, apa alasan pria itu berbuat hal yang tak sepantasnya kepada seorang perempuan. "Lepaskan dia!" pinta Dewa memberikan peringatan pada Joni kembali. Lagi-lagi pria itu hanya tersenyum remeh pada Dewa karena Joni berpikir Dewa hanya sebatas seorang pria yang mengagumi Harmoni, sampai ingin memiliki gadis itu sendirian tanpa ingin berbagi kepadanya. "Huh, karena aku malas berdebat denganmu, bagaimana, jika kita melakukan negosiasi?" tanya Joni ingin mengajak Dewa untuk melakukan kesepakatan. Insting Dewa mengatakan, jika kesepakatan yang berada dalam otak pria tak tahu malu itu pasti hal-hal yang berbau negatif dan hal tersebut sudah dapat dipastikan dari ekspresi wajah Joni yang tersenyum licik pada Dewa. "Kesepakatan apa?" tanya Dewa masih ingin tahu, apa kiranya isi otak dari pria macam Joni ini. "Karena aku sudah berhasil membuatnya seperti cacing kepanasan seperti ini, bagaimana, jika kau juga ikut bergabung denganku karena aku pikir dia sanggup melakukannya sampai kau dan aku puas karena efek ramuan yang sudah aku berikan padanya bisa bertahan sampai lima jam, jika kau dan aku masih belum merasa terpuaskan," tawar Joni tersenyum penuh kemenangan di hadapan Dewa. Dewa mengepalkan tangannya sampai buku-buku tangan pria itu begitu sangat jelas terlihat, bahkan urat-urat di telapak tangan Dewa, juga sudah menyembul keluar bagai sayur kacang panjang yang siap petik dari pohonnya. "Bagaimana, jika aku tak mau?" tanya Dewa berusaha sabar dan menahan emosinya. Joni kembali tersenyum licik pada Dewa. "Jangan terlalu munafik, Tuan!" Joni perlahan bergerak turun dari atas ranjang itu dan mendekat ke arah Dewa untuk kembali bernegosiasi. Saat jarak mereka sudah begitu dekat, Joni kembali mengumbar senyum simpulnya pada Dewa. "Coba kau pandangi gadis itu dari ujung kaki sampai rambutnya, apa kau tak tergoda melihat kemolekan tubuhnya yang begitu menggoda dan wangi," goda Joni membuat arah mata Dewa melirik ke arah Harmoni dan hati Joni bersorak gembira karena ia sudah bisa mempengaruhi Dewa kali ini. "Kucing mana yang di lempar ikan akan menolaknya? apalagi ikan itu sangat menggugah selera," ejek Joni dalam hati. Saat Dewa melakukan apa yang di ucapkan oleh Joni, kepalan tangan pria itu semakin erat. Dewa seketika mengarahkan tatapan tajamnya ke arah Joni. Pria yang berasal dari planet Amoora tersebut melihat ke dalam lensa mata Joni dan ia membayangkan, bagaimana, jika mata itu yang melihat seluruh bagian tubuh Harmoni tanpa sehelai benang pun. Seketika pikiran Dewa mulai berkecamuk dari mulai rasa marah, kesal, dan tak rela. Dewa ingin sekali mencengkeram kuat leher Joni, sampai napas pria gila yang berada di hadapannya ini tak tersisa. "Bagaimana? apa kau mau di puaskan?" tanya Joni ingin memastikan. Helaan napas Dewa akhirnya dapat terdengar, kala bayangan menjijikkan yang berputar dalam kepalanya sirna begitu saja karena suara pria gila itu. Helaan napas Dewa semakin berat saat ia menyadari, jika dirinya baru kali ini terobsesi ingin menghabisi nyawa seseorang karena kelakuan pria itu benar-benar seperti hewan yang tak punya akal sehat. "Bagaimana, jika aku tak mau," tutur Dewa yang kembali menolak bergabung dengan Joni untuk menghancurkan masa depan Harmoni si gadis cantik dengan sejuta misteri dalam dirinya. Joni tak banyak bicara, pria itu hanya berbalik badan melangkah ke arah ranjang, di mana ranjang tersebut sudah terdapat seorang gadis dengan tingkat kesadaran yang begitu lemah menggeliat tak karuan di atasnya sembari menahan rasa panas yang kini menggerayangi sekujur tubuhnya tanpa ampun. Saat ini, Joni sudah berada di atas ranjang bersama Harmoni, tepatnya di samping gadis seksi tersebut namun, ia masih memalingkan sedikit wajahnya menatap ke arah Dewa berusaha untuk mengajak Dewa bergabung dengan dirinya. "Ini penawaran terakhir dariku, Kawan! kemarilah dan nikmati hidangan yang teramat langka ini, kapan lagi kita bisa menikmati pecah segel seorang gadis," cerocos Joni dengan nada suara penuh akan ejekan. Tak ada sahutan dari mulut Dewa, yang ada hanya deru napas berat pria itu, menandakan, jika pria tersebut sudah mencapai titik puncak kesabarannya. "Terserah kau saja, jika kau tak mau, kau bisa menonton kami bersenang-senang, jika kau tertarik, kau bisa langsung kemari tanpa ragu dan aku menyambutmu," tutur Joni masih berusaha tawar menawar dengan seorang Dewa Abraham. Joni memulai aksinya dengan menyentuh telapak tangan Harmoni dan membawa telapak tangan itu ke arah bibirnya. Kedua manik mata Dewa perlahan mulai berubah menjadi warna biru pekat dengan kepalan tangan yang sudah tak dapat di jelaskan lagi. "Sekali kau menyentuh bagian lainnya, neraka akan menyambutmu," ingatkan Dewa dengan suara diiringi geraman luar biasa. Nampaknya ancaman Dewa tak berpengaruh bagi Joni. Pria itu masih saja terus memperhatikan tiap lekuk tubuh Harmoni dengan tatapan yang sangat lapar. "Jika kau benar-benar tak menggubris perkataanku, jangan salahkan aku, jika kau benar-benar tamat kali ini," ancam Dewa kembali dengan nada suara penuh kesungguhan. Dan seperti biasanya, tak ada tanggapan lagi dari Joni. Harmoni menguatkan dirinya beringsut mengubah posisi menghadap ke arah Dewa. Arah tatapan gadis itu mengisyaratkan akan permohonan pada Dewa untuk menyelamatkannya. Batas kesabaran Dewa sudah sampai pada titiknya. Ia tak bisa lagi melihat bagian tubuh Harmoni dijamah oleh pria macam Joni. Saat Joni mencoba membuka kancing kerah blouse milik Harmoni, secepat kilat, sebuah tangan kekar sudah berada di leher Joni. Tangan kekar itu mencengkram erat leher Joni dan seketika tubuh Joni terdorong ke arah tembok kamar hotel tersebut masih dengan tangan kekar milik Dewa yang perlahan mulai menghambat indera pernapasan pria itu. "Le ... paskan ... aku," pinta Joni dengan suara terbata-bata. Dewa hanya tersenyum remeh mendengar permintaan yang terlontar dari mulut Joni. "Kau minta aku lepaskan? hah, apa kau melakukan hal yang sama pada gadis itu saat dia tak berdaya meminta ingin dilepaskan?" tanya balik Dewa masih dengan posisi yang sama dan warna kedua lensa mata Dewa semakin pekat. "Le ... paskan ... aku!" "Kau ingin aku lepaskan? apa itu yang kau inginkan?" tanya Dewa lagi. "I ... ya!" Senyum penuh arti mulai terukir pada bibir pria itu dan seketika, Dewa menekan lebih keras lagi leher pria itu dan mengangkat tubuh Joni, sampai kakinya tak menapak pada lantai kamar hotel tersebut. "Bagaimana rasanya? sakit?" tanya Dewa yang ingin tahu reaksi dari pria itu. "Uhuk uhuk uhuk uhuk!" Joni terbatuk-batuk karena aliran oksigen dalam tubuhnya semakin menipis dan kepalanya saat ini semakin terasa pusing. "Aku ... mohon! to ... long, lepaskan ... aku, Tuan!" Wajah Joni semakin memucat, kala Dewa semakin menekan leher pria itu. "Sakit yang kau rasakan masih belum seberapa, dibandingkan dengan rasa sakit yang gadis itu rasakan pada sekujur tubuhnya, apa kau tahu rasanya di gerayangi ratusan ekor semut di sekujur tubuhmu?" tanya Dewa sedikit melonggarkan cengkraman pada leher Joni, agar pria itu bisa sedikit bernapas. Dewa tak ingin membunuh pria tersebut, ia hanya ingin membuat Joni kapok karena telah salah berhadapan dengan orang yang berada di hadapannya saat ini. "Aku ... tidak tahu," sahut Joni dengan suara masih sedikit tersendat-sendat. "Karena kau tak tahu maka, aku akan memberitahu dirimu, seperti apa rasanya di gerayangi oleh ratusan ribu semut di tubuhmu," ancam Dewa yang langsung melempar tubuh Joni ke arah tembok di sebelah kirinya. Suara benturan antara tubuh Joni dan tembok tersebut sangat keras terdengar di telinga Dewa dan Harmoni. Gadis itu sedikit menoleh ke arah Joni yang sudah terkapar tak berdaya namun, tiba-tiba, pria itu bergerak-gerak tak enak diam seperti tengah menggaruk-garuk sekujur tubuhnya, padahal tak ada satu hewan pun yang menjalari tubuh Joni saat itu. "Nikmati kesakitan yang kau buat itu, Tuan tak berotak! rasakanlah, bagaimana, jika tubuhmu itu perlu di puaskan dan perlu bantuan untuk menghentikan rasa gatal tersebut," sorak Dewa karena ia sudah bisa memberikan pelajaran pada Joni. Dewa berbalik badan menghadap ke arah Harmoni dan gadis itu sudah dalam posisi meringkuk seperti bayi dengan kancing bajunya yang perlahan mulai dibuka satu demi satu. Dewa secepat kilat langsung menghampiri Harmoni dan menahan tangan gadis tersebut, agar tak melanjutkan kegiatannya yang menurutnya tak benar. "Hentikan!" Harmoni berbalik badan menatap ke arah Dewa, seketika senyum manis Harmoni terpancar begitu indah. "Aku yakin, kau pasti bisa menolongku," gumam Harmoni balik menggenggam telapak tangan Dewa yang memang sangat dingin dan suhu itu yang kini dibutuhkan oleh Harmoni. "Dingin!" gumam Harmoni membawa telapak tangan Dewa pada pipinya. Dewa terkejut dengan pergerakan Harmoni yang begitu tiba-tiba. Warna mata Dewa semakin pekat dan tubuh pria itu sepertinya ada aliran listrik yang menyengatnya saat tangan Harmoni membawa tangannya ke arah pipi gadis itu. Karena masih belum puas dengan rasa dingin dari telapak tangan Dewa, akhirnya gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk menggapai bagian tubuh Dewa yang lain. Saat ini, posisi Harmoni sudah dalam keadaan duduk beradab dengan Dewa dan tengah menatap ke arah pria itu. "Otakku menolak melakukan ini, tapi tubuhku yang sepertinya bergerak sendiri tanpa bisa aku tahan jadi, maafkan kelancangan tubuh ini," tutur Harmoni dengan suara lemahnya. Dewa hanya bisa diam memperhatikan setiap lekuk wajah Harmoni dan saat tatapan mata pria itu jatuh pada bagian lensa mata gadis tersebut, perasaan menahan sesuatu dalam diri Harmoni bisa dirasakan oleh Dewa dan Dewa tahu, perasaan apa itu. Harmoni secara tiba-tiba memeluk tubuh Dewa dan mendekap tubuh sedingin es tersebut begitu erat untuk menahan rasa panas dalam tubuhnya yang semakin lama, semakin bertambah. Tangan Dewa tak membalas pelukan Harmoni karena pria itu saat ini masih dalam keadaan syok berat. Dewa berusaha memundurkan tubuh Harmoni, agar gadis itu menjauh dari tubuhnya namun, nampaknya pelukan gadis itu malah semakin bertambah erat. "Panas! jangan pergi," ujar Harmoni dengan posisi tangan terkalung indah memeluk tubuh Dewa dan mendaratkan wajahnya pada ceruk leher Dewa. Warna senja dalam lensa mata Dewa semakin pekat dan perlahan kedua tangan pria itu membalas pelukan Harmoni. Saat Dewa membalas pelukan Harmoni, saat itu juga rasa dingin dapat benar-benar Harmoni rasakan dan suhu panas dalam dirinya cukup ternetralisir oleh suhu tubuh Dewa yang sedingin es. "Bisa lepaskan aku?" tanya Dewa pada Harmoni dengan suara lembutnya, agar gadis itu mau melepaskan pelukannya. Bukannya menjawab, gadis itu hanya menggelengkan kepalanya, pertanda, jika ia tak ingin melepaskan pelukannya dari tubuh Dewa. Sepertinya memang tak ada cara lain, selain membawa gadis itu ke rumahnya untuk meredakan ramuan yang masuk dalam tubuh Harmoni. "Apa kau mau sembuh?" tanya Dewa ingin memastikan. Harmoni hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaan Dewa padanya. "Kau mau ikut ke rumahku?" tanya Dewa lagi karena ia tak ingin sembarangan membawa Harmoni ke rumah tersebut. Dewa tak ingin disalahkan oleh gadis itu saat setelah Harmoni sembuh dari pengaruh ramuan yang diberikan oleh Joni. Perlahan wajah Harmoni sedikit mundur untuk menatap wajah Dewa. "Untuk apa kita ke sana?" tanya Harmoni dengan suara yang yang semakin melemah dan tatapan mata gadis itu semakin sayu. "Aku ingin menyembuhkanmu," sahut Dewa dengan tangan yang masih melingkar di tubuh Harmoni. Harmoni masih diam tak menanggapi perkataan Dewa. Gadis itu masih terfokus dengan warna lensa mata pria tersebut. "Warna lensa matamu berubah," tutur Harmoni pada pria itu. "Dan kau penyebab ini semua," jelas Dewa membuat otak gadis itu seketika berpikir cukup keras. Rasa bersalah menghinggapi hati Harmoni. Kenapa di saat seperti ini, dirinyalah yang membuat Dewa sakit. Harmoni mengira, jika warna lensa mata Dewa berubah, maka pria itu tengah dalam keadaan sakit. Harmoni menundukkan kepalanya sembari berkata pada Dewa, "Maafkan aku." Entah mengapa, hati Dewa merasa sangat bahagia mendengar penuturan tersebut dari mulut Harmoni. Dewa menyentuh dagu Harmoni dan menarik dagu itu cukup ke atas, agar ia dapat melihat wajah gadis tersebut. "Jadi bagaimana? apa kau mau ikut ke rumahku?" tanya Dewa lagi dan gadis itu mengangguk. "Eratkan pelukanmu karena aku akan menggendongmu," pinta Dewa dan gadis itu menuruti semua perkataan pria tersebut. Dewa perlahan mengangkat tubuh Harmoni masuk dalam gendongannya. Secara spontan, gadis itu menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Dewa dengan posisi tangan yang masih melingkar pada leher pria bermarga Abraham tersebut. Sebelum Dewa benar-benar keluar dari kamar itu, ia masih menatap ke arah Joni. "Nikmati rasa itu dan jangan pernah coba-coba melakukan hal yang tak pantas lagi," tutur Dewa memperingati Joni yang masih sibuk dengan rasa gatal di sekujur tubuhnya. Dewa akhirnya membawa Harmoni keluar dari ruangan tersebut dengan posisi ala bridal style. Gadis itu kali ini tak menampik, jika ia sangat membutuhkan suhu tak normal pada tubuh Dewa yang dapat menetralkan rasa panas, akibat ulah Joni dan ramuan cintanya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN